Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Pelajaran dari Runtuhnya Raksasa Tekstil Indonesia

Pelajaran dari Runtuhnya Raksasa Tekstil Indonesia

Pelajaran dari Runtuhnya Raksasa Tekstil Indonesia



Sukoharjo, 28 Februari 2025– Suara lirih lagu Kenangan Terindah mengiringi langkah 8.400 karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) keluar dari pabrik tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah, untuk terakhir kalinya. Setelah 59 tahun menjadi raksasa industri tekstil Asia Tenggara, perusahaan ini resmi menghentikan operasi mulai 1 Maret 2025, menyusul keputusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.  

“Ini seperti kehilangan keluarga,” ujar salah seorang karyawan yang enggan disebutkan namanya. Sejak pagi, suasana haru menyelimuti kompleks pabrik. Banyak pekerja berpelukan, berfoto bersama, dan menyanyikan lagu-lagu kenangan sebagai tanda perpisahan.  

Berdiri sejak 1966, Sritex pernah menjadi kebanggaan nasional. Perusahaan ini bertahan dari krisis moneter 1998 dan mengekspor produk ke puluhan negara. Namun, badai mulai datang pada 2022 ketika Sritex digugat penundaan utang oleh CV Prima Karya. Utang menumpuk hingga Rp29,8 triliun, dan upaya restrukturisasi gagal menyelamatkan nasib perusahaan.  

“Kami sudah berjuang, tapi kondisi ekonomi global dan tekanan utang terlalu berat,” ujar Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama Sritex, dalam pernyataan resmi. Pada Desember 2024, Mahkamah Agung menolak kasasi perusahaan, mempertegas status pailit yang tak terhindarkan.  

PHK massal ini bukan sekadar angka. Sebanyak 8.400 keluarga kini kehilangan mata pencaharian. “Saya sudah 20 tahun bekerja di sini. Mau mulai dari mana lagi?” keluh Sari, ibu dua anak yang menjadi operator mesin. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo menyatakan akan memfasilitasi pelatihan kerja, tetapi langkah konkret masih dinanti.  

Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Sukoharjo, Sumarno, mengakui dampak PHK ini akan berpengaruh besar pada perekonomian lokal. “Sritex bukan hanya pabrik, tapi bagian dari denyut nadi masyarakat Sukoharjo,” katanya.  

Kisah Sritex menjadi cermin rapuhnya industri tekstil nasional. Persaingan dengan produk impor murah, ketergantungan bahan baku luar negeri, dan beban utang menjadi kombinasi mematikan. LBH Surakarta mendesak pemerintah memperkuat perlindungan pekerja dan lingkungan pascatutupnya pabrik.  

“Ini akhir yang menyedihkan, tetapi kami berharap kisah Sritex menjadi pelajaran untuk membangun industri yang lebih berkelanjutan,” pungkas Welly Salam, mantan Direktur Keuangan Sritex.  

Sementara itu, di gerbang pabrik, bendera perusahaan masih berkibar setengah tiang. Sebuah plakat bertuliskan “Bersama Membangun Negeri” terpajang usang, mengingatkan pada masa keemasan yang kini tinggal kenangan. (Sri)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.

Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post