Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Latar Belakang Tema Antologi Puisi Jakarta Betawi 6: Ramadan di Betawi - Wahyu Toveng

Latar Belakang Tema Antologi Puisi Jakarta Betawi 6: Ramadan di Betawi - Wahyu Toveng

LATAR BELAKANG TEMA ANTOLOGI PUISI JAKARTA BETAWI 6



Assalamualaikum, 

Bismillahirrahmanirrahim, 

Tepat di malam Nisfu Sya'ban 13 Februari 2025, atau 15 Sya'ban 1446 Hijriah, setengah bulan menjelang Ramadan, Komunitas Literasi Betawi (KLB) kembali menggelar event Antologi Puisi Jakarta Betawi 6, yang mengangkat tema, "RAMADAN DI BETAWI: MENELUSURI EGALITARIANISME, TRADISI, DAN KESUCIAN DIRI."

Event antologi bersama ini terbuka untuk semua penulis puisi, baik pesyair ataupun bukan pesyair dapat berpartisipasi mengirimkan karya puisinya, sebelum nantinya dikurasi oleh tim kurator untuk dapat dibukukan, dalam hal ini tentunya aspek kualitas dan kelayakan puisi yang termuat tetap diutamakan. 

Dan meski pada tema tersebutkan kata, "Ramadan di Betawi," tidak berarti yang dapat berpartisipasi hanya terbatas untuk sahabat-sahabat penulis yang beragama Islam saja ataupun hanya yang asli etnis Betawi saja, melainkan terbuka untuk semua agama dan semua etnis, suku daerah lain di Nusantara. 

Karena sejak awal Komunitas Literasi Betawi tidak pernah membatasi, bahwa yang dapat berpartisipasi dalam setiap eventnya hanya untuk penulis asli betawi saja, semua penulis puisi atau pesyair dari berbagai daerah hingga negeri tetangga dapat berpartisipasi. 

Hal tersebut bercermin dari sikap egaliter masyarakat Betawi yang secara natural menerima kedatangan masyarakat dari berbagai suku bangsa, budaya, agama, dan keyakinan, di tanah Jakarta yang mereka diami sejak dahulu saat masih bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga Tokubetsu Shi. Tanpa permusuhan dan ekskusifitas, masyarakat Betawi memberikan keleluasaan untuk mereka dapat hidup berdampingan dan bersama-sama membentuk wajah peradaban baru yang plural. 

Tetapi masyarakat Betawi yang berdialek menggunakan bahasa Betawi, bukan hanya mendiami di tanah Jakarta saja, mereka pun tersebar di wilayah sekitarnya seperti, Tangerang, Bekasi, Depok, hingga Bogor. Pada keempat wilayah tersebut, kosa kata tutur lisannya bercampur dengan bahasa Sunda, hal ini dikarenakan cikal bakal masyarakat Betawi dahulunya memang bagian dari masyarakat yang berada di wilayah kerajaan-kerajaan Sunda, seperti Salakanagara, Tarumanagara, Pajajaran, hingga Kesultanan Banten. 

"Ramadan di Betawi," adalah tema yang secara khusus mengangkat terkait tradisi dan kebiasaan apa saja yang dilakukan oleh masyarakat Betawi saat menyambut bulan suci Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Bagi umat Islam, Ramadan adalah bulan penuh berkah yang teramat istimewa dan bermakna, karena di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadar, malam saat pertama kalinya Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Malam Lailatul Qadar itu pula disebut malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada Ramadan pula umat Islam wajib menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, sebagai suatu cara menyucikan dan mendekatkan kepada Sang Pencipta, Allah SWT. 

Namun berkah Ramadan tidaklah hanya dirasakan oleh umat islam saja, melainkan ke seluruh alam semesta. Di Indonesia, berkah Ramadan dirasakan untuk seluruh umat, apapun agamanya. Para pengusaha dan produsen bahan pokok makanan atau makanan jadi, baik muslim atau non muslim dari jauh-jauh hari telah memikirkan dan menyiapkan ketersediaan stok berlebih untuk memenuhi kebutuhan pangan selama Ramadan. 

Begitu pula dengan pengusaha tekstil dan produsen pakaian, di setiap kehadiran Ramadan, mereka juga mendulang rezeki. Karena ujung dari Ramadan adalah Idul Fitri, mereka memanfaatkan tradisi "Berpakaian Baru di Hari Raya," yang telah lama berkembang di masyarakat, meskipun sesungguhnya tradisi tersebut tidak perlu dilakukan, sebab semestinya yang kembali suci dan baru sesuai fitrah adalah jiwa manusianya, bukan pakaian yang dikenakan. Namun tradisi itu menjadi celah peluang bisnis yang dilirik oleh para pengusaha tekstil dan produsen pakaian, tengok saja di akhir Ramadan, masyarakat malah membanjiri pasar-pasar dan pusat-pusat perbelanjaan. 

Jakarta sebagai "Tanah Betawi," tumbuh dengan kemajemukan dan keheterogenan masyarakatnya, hal itu dapat terwujud secara alamiah karena sikap terbukanya masyarakat Betawi terhadap akulturasi budaya oleh kehadiran berbagai suku bangsa berbeda dengan berbagai agama di tanah dan wilayah yang telah lama mereka diami. Masyarakat Betawi, tidak dapat dipungkiri adalah "pemilik asli" tanah jakarta, merekalah yang telah beratus tahun menjaga keseimbangan alam, tradisi, adat istiadat, budaya, sejak dahulu hingga saat ini. 

Simak saja di setiap perayaan Imlek untuk masyarakat Tionghoa, satu wilayah di Jakarta, tepatnya di Rawa Belong, selalu menjadi sentra penjualan Ikan Bandeng, sebagai salah satu ikon yang banyak dicari oleh masyarakat Tionghoa ketika merayakan Imlek. Rawa Belong adalah wilayah di mana masyarakat Betawi masih berusaha untuk melestarikan budaya dan tradisi Betawi lampau. 

Karena sikap egaliter dan permisif terhadap kemajemukan dari masyarakat Betawi, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral dapat dibangun pada lokasi berdekatan. Bahkan saat perayaan Natal atau hari besar umat Kristiani lainnya, jamaat Gereja Katedral dapat memarkirkan kendaraannya di halaman parkir Masjid istiqlal. 

Kini telah dibangun pula terowongan bawah tanah yang menghubungkan keduanya, dinamakan Terowongan Silaturahmi. Pernah pula saat umat Islam menggelar Aksi Bela Palestina di masjid Istiqlal yang memenuhi hingga jalanan di sekitarnya, mereka membukakan jalan dan memberi pengawalan kepada rombongan pengantin yang ingin melangsungkan pernikahan di Katedral. 

Kini ketika laju zaman semakin tidak terbendung, Jakarta berubah menjadi kota megapolitan, semakin sedikit orang yang memahami bagaimana asal mula kota ini. Masyarakat Betawi begitu ikhlas beratus tahun tanah dan air tempat mereka lahir, tumbuh berkembang dan beranak-pinak di ekploitasi sedemikian rupa. Rawa, kebun, dan hutan di masa lalu sudah berubah menjadi belantara beton pemusnah daerah resapan air. 

Adat istiadat, tradisi, dan budaya betawi lampau perlahan terkikis dan menghilang. Tanah Jakarta semakin menurun permukaannya, coba saja lihat di pesisir utara jakarta, air laut semakin lebih tinggi dari daratan, sehingga dibangunlah tanggul-tanggul yang secara berkala harus ditinggikan. Air laut juga telah meresap jauh ke daratan jakarta. 

Dalam sebuah diskusi, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyebutkan sudah sekitar 40 persen air laut meresap ke daratan. Hal itu disebabkan begitu masifnya pembangunan gedung-gedung yang sangat dahsyat mengeksploitasi air tanah dan menghilangkan daerah resapan air, sehingga menurunkan permukaan tanah Jakarta dari tahun ke tahun. Masyarakat Betawi semakin termarjinalkan perannya di kota ini. Semestinya Pemerintah menyampaikan terima kasih dan permintaan maaf terhadap masyarakat Betawi saat status Jakarta sebagai Ibu Kota dicabut. 

Wahyu Toveng

Admin

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.