Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Dari Layar ke Lembar - Sofyan RH. Zaid

Dari Layar ke Lembar - Sofyan RH. Zaid

Dari Layar ke Lembar: Swedia Kembali ke Buku Cetak, Setelah 15 Tahun Digital

Sofyan RH. Zaid


"Setiap buku adalah mimpi yang bisa kita pegang di tangan."

— Neil Gaiman


Selama 15 tahun, layar-layar bercahaya menjadi jendela ilmu bagi siswa di Swedia. Mereka menatap dunia lewat tablet, menggulir halaman pelajaran dengan ujung jari. Buku cetak? Nyaris menjadi kenangan, seperti pelajaran usang yang tersimpan di sudut rak sekolah. Namun, di tahun 2025, Swedia memutuskan sesuatu yang tak terduga: mereka kembali ke buku cetak—ke sentuhan kertas, ke pengalaman belajar yang lebih nyata. Rencana tersebut sudah mulai bergulir sejak tahun 2023.

Keputusan ini tak lahir dari nostalgia semata, melainkan dari keresahan yang perlahan merayap. Di ruang-ruang kelas yang sunyi dari suara halaman dibalik, para guru mulai merasakan ada yang hilang. Siswa-siswa yang dulunya tekun mendengarkan kini lebih mudah terdistraksi. Mata mereka sering lelah, pikiran terasa berat, dan layar yang seharusnya menjadi jendela justru berubah menjadi tembok penghalang.

Bukan hanya para guru yang menyadari itu. Orang tua pun mulai resah. Mereka mengeluhkan anaknya sering sakit kepala dan sulit tidur.

Penelitian pun membenarkan apa yang dirasakan banyak keluarga. Membaca dari layar ternyata mengurangi pemahaman dan daya ingat dibandingkan membaca dari buku cetak. Anne Mangen (2019) dari University of Stavanger, Norwegia, menemukan bahwa siswa yang membaca dari buku cetak cenderung lebih memahami teks kompleks dibandingkan mereka yang membaca dari layar. 

Penelitian lain yang dipublikasikan di Educational Research Review (Clinton, 2021) menunjukkan bahwa membaca dari buku fisik melibatkan lebih banyak indera, seperti sentuhan dan aroma kertas, yang dapat memperkaya pengalaman belajar secara keseluruhan.

Lebih dari itu, Swedia juga menyadari bahwa dunia digital, meski penuh janji kemudahan, juga memiliki sisi gelap. Laporan dari Swedish National Agency for Education (Skolverket, 2022) mengungkapkan bahwa semakin banyak siswa mengalami stres dan kecemasan akibat paparan layar yang berlebihan. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan rasa ingin tahu, malah merasa terbebani oleh dunia virtual yang tak pernah benar-benar berhenti.

Di sekolah-sekolah kecil di pinggiran kota, cerita-cerita tentang ketidaksetaraan digital juga menjadi alasan kuat untuk peralihan dari layar ke lembar. Tidak semua anak memiliki akses yang sama ke perangkat canggih dan internet cepat. Sekitar 10% rumah tangga di Swedia masih mengalami kesulitan dalam mengakses perangkat digital yang memadai untuk pembelajaran. Dalam ketidaksetaraan itu, buku cetak menjadi penyeimbang—mewujudkan kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk belajar dan bermimpi.

Maka, kembalinya Swedia ke buku cetak bukan hanya soal metode belajar. Ini adalah upaya untuk mengembalikan keseimbangan—untuk mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar tentang kecepatan atau kemudahan, tetapi tentang pengalaman yang langsung.

Namun, Swedia tidak menolak teknologi sepenuhnya. Mereka memilih jalan tengah, sebuah harmoni antara tradisi dan inovasi. Buku cetak akan menjadi pilar utama, sementara teknologi tetap hadir sebagai pelengkap—untuk riset, kolaborasi, dan eksplorasi dunia yang lebih luas.

Langkah Swedia ini menjadi alarm bagi kita: di tengah derasnya digitalisasi, kita perlu mengingat kembali nilai dari hal-hal sederhana—seperti sebuah buku, sebuah pena, yang tak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membangun rasa, pengalaman, dan juga kenangan.

Bekasi, 2 Februari 2025



Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.