Ketika Ibu Menjadi Duri bagi Anaknya - Sofyan RH. Zaid
Ketika Ibu
Menjadi Duri bagi Anaknya
oleh Sofyan RH. Zaid
“Seorang ibu membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk menjadikan
seorang pria dari anak laki-lakinya, dan wanita lain membuat anak tersebut
bodoh dalam dua puluh menit.”
-Robert Frost (1874-1963)
Buku ini berisi puisi-puisi yang dominan bertema religius dan dieditori oleh Ahmadun Yosi Herfanda. Buku puisi yang kian menguatkan hubungan-terang antara puisi dan agama. Di satu sisi, puisi menjadi -salah satu- media ekspresi pengalaman keagamaan penganutnya. Di lain sisi, banyak teks keagamaan -seperti kitab suci dan doa- yang bersifat puisi atau puitis. Melalui buku ini pula, Halimah menunjukkan bahwa puisi religius tak melulu soal ekspresi personal semisal kerinduan kepada Tuhan, tetapi juga merefleksikan kegelisahan sosial seperti empati terhadap kemanusiaan.
Halimah Munawir adalah penulis, pebisnis, dan pegiat seni dan budaya yang lahir di Cirebon, 18 Januari 1964. Buku puisinya yang telah terbit, Sehimpun Puisi Bilingual: Bayang Firdaus (Diomedia, 2021), serta novel; The Sinden (Gramedia, 2011), Sucinya Cinta Sungai Gangga (Gramedia, 2013), Sahabat Langit (Gramedia, 2014), Kidung Volendam (Gramedia, 2014), Padmi (Balai Pustaka, 2024), dan lainnya.
Dalam buku terbarunya ini, Halimah juga memasukkan beberapa puisi tentang ibu, salah
satunya adalah:
IBU
Ibu,
Madrasah ku,
Pohon pelindung
Duri penghalang masuk jurang
Jiwa pada batas titik nadir,
Engkau tersenyum di antara jeritan hati dan kepiluan diri.
Dalam kehampaan
Ibu,
Cintamu melebihi luas samudera
Mendera diri dalam kehausan
Perut bergelut dengan musik keroncong
Ibu,
Kala hidup bagai dalam lapisan es
Hati membeku,
Kau tetap melukis pelangi.
Duren Sawit, 2024
Sekilas barangkali tidak ada yang spesial dari puisi ini. Namun kalau kita
baca sekali lagi, ada satu larik yang cukup menyentak, yakni “Duri penghalang
masuk jurang.” Larik ini merupakan
metafor dari seorang ibu yang dibayangkan Halimah. Sebuah pengandaian yang unik
bagaimana sosok ibu dianggap sebagai ‘duri penghalang’.
Simbol ‘duri’ yang dipakai Halimah pada hakikatnya berdimensi pada dua hal; Pertama, bagaimana perjuangan dan pengorbanan seorang ibu hingga harus menjadi duri demi melindungi anaknya dari ‘jurang’. Sama seperti tanaman berduri yang melindungi dirinya dari ancaman luar, seorang ibu dengan segala cara menjaga anak-anaknya.
Kedua, mencerminkan kompleksitas hubungan ibu dan anak. Dalam proses tumbuh kembang, seorang anak seringkali melihat batasan atau larangan yang diberikan ibu sebagai bentuk pengekangan kebebasan. Namun, di balik semua itu, terdapat maksud yang mendalam, yakni melindungi anaknya dari ‘jurang’. Simbol ‘jurang’ di sini bisa berarti segala bentuk bahaya dalam hidup, baik yang berasal dari dalam diri atau bahaya dari luar.
Kita semua sadar bahwa hubungan ibu dan anak sebenarnya sangat rumit, sebab jarak ruang dan
waktu. Perbedaan generasi dan cara pandang di antaranya, terkadang menjadi sumber
perselisihan setiap harinya. Anak-anak cenderung
melihat larangan sebagai bentuk kontrol yang mengekang atau ‘duri’, sementara
ibu melihatnya sebagai bentuk kasih
sayang yang melindungi.
Halimah melalui larik ini mengingatkan kita bahwa cinta seorang ibu tidak hanya berupa kelembutan yang memeluk, tetapi juga ketegasan yang memperingatkan dan menegur. Seorang ibu -dengan segala misterinya- tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga berani menjadi sosok yang memberikan rasa sakit demi melindungi anaknya dari rasa sakit lain yang lebih dalam.
Hal itu sejalan dengan keyakinan seorang filsuf Perancis, Emmanuel Levinas (1905-1995) bahwa cinta sejati tidak selalu hadir dalam bentuk kelembutan. Terkadang cinta hadir melalui panggilan tanggung jawab yang keras dan tidak nyaman. Konsep yang kemudian seolah mengental dalam larik: “duri penghalang masuk jurang” tersebut. Di mana 'penghalang keselamatan -dari jurang- yang terbuat dari duri'.
Kita tahu, banyak anak di zaman sekarang yang
terjebak dalam “jurang” kehidupan, baik itu pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, perjudian, dan lainnya. Simbol ‘jurang’ yang dipakai
Halimah juga berarti kehancuran, kehilangan, kegagalan, dan lainnya. Hal itu terjadi, salah satunya
sebab seorang anak tidak mau mendengarkan nasihat
ibunya atau menolak
‘duri’ yang sejatinya
diletakkan untuk melindungi mereka
dari ‘jurang’ yang tak terlihat.Sementara itu, seorang ibu, dengan pengalamannya
telah melihat ada ‘jurang’ di depan mata yang menunggu dan siap menguntal
anaknya.
Itulah kenapa Erich Fromm (1900-1980) mendefiniskan ibu sebagai ‘makhluk paradoksal’ antara kasih sayang dan disiplin, kelembutan dan ketegasan, atau antara duri dan pelindung dalam simbol Halimah. Artinya, apa yang dilakukan ibu kepada anaknya melampaui pemahaman dangkal—cinta yang tidak hanya memanjakan, tetapi juga mendidik dan melindungi. Sayangnya, seorang anak baru memahami itu semua, saat sudah menjadi ibu, atau orang tua pada akhirnya.
Jauh sebelum itu, saat kita masih menjadi anak, kita selalu lupa pada diktum Sigmund Freud (1856-1939) yang dengan tegas menyatakan bahwa cinta murni hanya ditemukan pada diri seorang ibu yang mencintai anaknya. Sementara cinta seseorang pada orang lain –sehalus apapun susunan kata yang dipakai- maksudnya hanya satu: cinta birahi.
Bekasi, 26 Januari 2025