Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Ketika Ibu Menjadi Duri bagi Anaknya - Sofyan RH. Zaid

Ketika Ibu Menjadi Duri bagi Anaknya - Sofyan RH. Zaid

Ketika Ibu Menjadi Duri bagi Anaknya

oleh Sofyan RH. Zaid

 

Seorang ibu membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk menjadikan seorang pria dari anak laki-lakinya, dan wanita lain membuat anak tersebut bodoh dalam dua puluh menit.

-Robert Frost (1874-1963)

 Lazim, penyair menulis puisi berdasarkan tema terdekat dengan dirinya, seperti ‘ibu’. Gibran menyebut ‘ibu’ sebagai salah satu tema abadi dalam penciptaan puisi. Sosok ibu kerap menjadi sumber inspirasi puisi bagi anaknya, sebab hubungan biologis, tali emosi, serta peran praktisnya yang sentral sejak awal. Fakta tersebut juga terjadi pada Halimah Munawir dalam buku Sehimpun Puisi Bilingual: Titik Nadir (The Lowest Point), 2025.

Buku ini berisi puisi-puisi yang dominan bertema religius dan dieditori oleh Ahmadun Yosi Herfanda. Buku puisi yang kian menguatkan hubungan-terang antara puisi dan agama. Di satu sisi, puisi menjadi -salah satu- media ekspresi pengalaman keagamaan penganutnya. Di lain sisi, banyak teks keagamaan -seperti kitab suci dan doa- yang bersifat puisi atau puitis. Melalui buku ini pula, Halimah menunjukkan bahwa puisi religius tak melulu soal ekspresi personal semisal kerinduan kepada Tuhan, tetapi juga merefleksikan kegelisahan sosial seperti empati terhadap kemanusiaan.



Halimah Munawir adalah penulis, pebisnis, dan pegiat seni dan budaya yang lahir di Cirebon, 18 Januari 1964. Buku puisinya yang telah terbit, Sehimpun Puisi Bilingual: Bayang Firdaus (Diomedia, 2021), serta novel; The Sinden (Gramedia, 2011), Sucinya Cinta Sungai Gangga (Gramedia, 2013), Sahabat Langit (Gramedia, 2014), Kidung Volendam (Gramedia, 2014), Padmi (Balai Pustaka, 2024), dan lainnya.

Dalam buku terbarunya ini, Halimah juga memasukkan beberapa puisi tentang ibu, salah satunya adalah:

 

IBU

 

Ibu,

Madrasah ku, 

Pohon pelindung

Duri penghalang masuk jurang

 

Jiwa pada batas titik nadir,

Engkau tersenyum di antara jeritan hati dan kepiluan diri.

Dalam kehampaan 

 

Ibu,

Cintamu melebihi luas samudera

Mendera diri dalam kehausan

Perut bergelut dengan musik keroncong

 

Ibu,

Kala hidup bagai dalam lapisan es

Hati membeku,

Kau tetap melukis pelangi.

 

Duren Sawit, 2024

Sekilas barangkali tidak ada yang spesial dari puisi ini. Namun kalau kita baca sekali lagi, ada satu larik yang cukup menyentak, yakni “Duri penghalang masuk jurang.” Larik ini merupakan metafor dari seorang ibu yang dibayangkan Halimah. Sebuah pengandaian yang unik bagaimana sosok ibu dianggap sebagai ‘duri penghalang’.

Simbol ‘duri’ yang dipakai Halimah pada hakikatnya berdimensi pada dua hal; Pertama, bagaimana perjuangan dan pengorbanan seorang ibu hingga harus menjadi duri demi melindungi anaknya dari ‘jurang’. Sama seperti tanaman berduri yang melindungi dirinya dari ancaman luar, seorang ibu dengan segala cara menjaga anak-anaknya.

Kedua, mencerminkan kompleksitas hubungan ibu dan anak. Dalam proses tumbuh kembang, seorang anak seringkali melihat batasan atau larangan yang diberikan ibu sebagai bentuk pengekangan kebebasan. Namun, di balik semua itu, terdapat maksud yang mendalam, yakni melindungi anaknya dari jurang’. Simbol ‘jurang’ di sini bisa berarti segala bentuk bahaya dalam hidup, baik yang berasal dari dalam diri atau bahaya dari luar.

Kita semua sadar bahwa hubungan ibu dan anak sebenarnya sangat rumit, sebab jarak ruang dan waktu. Perbedaan generasi dan cara pandang di antaranya, terkadang menjadi sumber perselisihan setiap harinya. Anak-anak cenderung melihat larangan sebagai bentuk kontrol yang mengekang atau ‘duri’, sementara ibu melihatnya sebagai bentuk kasih sayang yang melindungi.

Halimah melalui larik ini mengingatkan kita bahwa cinta seorang ibu tidak hanya berupa kelembutan yang memeluk, tetapi juga ketegasan yang memperingatkan dan menegur. Seorang ibu -dengan segala misterinya- tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga berani menjadi sosok yang memberikan rasa sakit demi melindungi anaknya dari rasa sakit lain yang lebih dalam.

Hal itu sejalan dengan keyakinan seorang filsuf Perancis, Emmanuel Levinas (1905-1995) bahwa cinta sejati tidak selalu hadir dalam bentuk kelembutan. Terkadang cinta hadir melalui panggilan tanggung jawab yang keras dan tidak nyaman. Konsep yang kemudian seolah mengental dalam larik: duri penghalang masuk jurang” tersebut. Di mana 'penghalang keselamatan -dari jurang- yang terbuat dari duri'.

Kita tahu, banyak anak di zaman sekarang yang terjebak dalam “jurang” kehidupan, baik itu pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, perjudian, dan lainnya. Simbol ‘jurang’ yang dipakai Halimah juga berarti kehancuran, kehilangan, kegagalan, dan lainnya. Hal itu terjadi, salah satunya sebab seorang anak tidak mau mendengarkan nasihat ibunya atau menolak duri yang sejatinya diletakkan untuk melindungi mereka dari ‘jurang’ yang tak terlihat.Sementara itu, seorang ibu, dengan pengalamannya telah melihat ada ‘jurang’ di depan mata yang menunggu dan siap menguntal anaknya.

Itulah kenapa Erich Fromm (1900-1980) mendefiniskan ibu sebagai ‘makhluk paradoksal’ antara kasih sayang dan disiplin, kelembutan dan ketegasan, atau antara duri dan pelindung dalam simbol Halimah. Artinya, apa yang dilakukan ibu kepada anaknya melampaui pemahaman dangkal—cinta yang tidak hanya memanjakan, tetapi juga mendidik dan melindungi. Sayangnya, seorang anak baru memahami itu semua, saat sudah menjadi ibu, atau orang tua pada akhirnya.

Jauh sebelum itu, saat kita masih menjadi anak, kita selalu lupa pada diktum Sigmund Freud (1856-1939) yang dengan tegas menyatakan bahwa cinta murni hanya ditemukan  pada diri seorang ibu yang mencintai anaknya. Sementara cinta seseorang pada orang lain –sehalus apapun susunan kata yang dipakai- maksudnya hanya satu: cinta birahi.

Bekasi, 26 Januari 2025

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.