Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Hari Filsafat Sedunia di Paramadina; Untungnya Filsafat harus tetap Dilanjutkan – Khudori Husnan

Hari Filsafat Sedunia di Paramadina; Untungnya Filsafat harus tetap Dilanjutkan – Khudori Husnan

𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐅𝐢𝐥𝐬𝐚𝐟𝐚𝐭 𝐒𝐞𝐝𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐝𝐢 𝐏𝐚𝐫𝐚𝐦𝐚𝐝𝐢𝐧𝐚; 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠𝐧𝐲𝐚, 𝐅𝐢𝐥𝐬𝐚𝐟𝐚𝐭 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐓𝐞𝐭𝐚𝐩 𝐁𝐞𝐫𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧

oleh Khudori Husnan*




Memperingati Hari Filsafat Sedunia 2024, Paramadina Graduate School of Islamic Studies menyelenggarakan diskusi bertema "Filsafat Telah Mati? Membincang Ulang Peran Filsafat dalam Kanvas Peradaban Kontemporer," Sabtu, 7 Desember 2024 di ruang Sevilla, Gedung Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta.

Masing-masing narasumber yang terdiri dari Dr. M. Subhi-Ibhrahim (Direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies Paramadina University), Dr. Budhi Munawar-Rachman (Dosen STF Driyarkara, Jakarta) dan Dr. Luh Gede Saraswati Putri, S.S, M. (Dosen Filsafat Universitas Indonesia) memberikan paparan-paparan yang saling melengkapi satu sama lain.
Filsafat di Masa Disrupsi.

Luh Gede Saraswati Putri memulai paparannya dengan terlebih dulu mengapresiasi  pembacaan puisi dari penyair Sofyan RH. Zaid berjudul "Halaqoh Polosirih" dari buku Pagar Kenabian (2015), yang diiringi petikan gitar yang lembut dari Ivan. Kedua pemuda ini adalah peserta program Paramadina Graduate School of Islamic Studies. 

Menurut Saraswati, ranah puisi, atau katakanlah nalar puitis, menjadi domain yang sangat krusial dalam diskursus filsafat kontemporer terutama setelah bapak filsafat fenomenologi Edmund Husserl mendiagnosa adanya krisis ilmu pengetahuan di Eropa yang terlalu mengagung-agungkan ilmu pengetahuan; pokok yang dalam diskursus filsafat Barat kontemporer disebut saintisme.

Saintisme adalah sebuah sudut pandang yang meyakini betul bahwa sains merupakan barometer tunggal untuk, tidak saja menjelaskan keseluruhan fenomena yang terjadi dalam kehidupan, melainkan juga sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuan yang valid.    

Sikap terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan, demikian Saraswati, membuat "Ilmu pengetahuan modern  berjarak dengan makna hidup manusia. Objektivisme yang berlebih, yang mengabaikan aspek individual yang unik." Atas dasar inilah, masih menurut Saraswati, "Ilmu pengetahuan harus kembali pada Lebenswelt (penghayatan hidup sehari-hari individu)."
Krisis ilmu pengetahuan modern yang tak dibenahi dapat memicu berbagai krisis lain misalnya dalam wujud bencana ekologi hingga tragedi kemanusiaan memilukan seperti terjadi di Palestina. Krisis semakin parah karena berjejaring dengan semangat eksploitasi yang didenguskan sistem kapitalisme. 

Merujuk pada pemikiran filosof Etienne Balibar, Saraswati berpendapat "konflik atau peperangan yang ada tidak semata-mata perseteruan ideologis saja, tetapi ada intensi bahkan desain kapitalistik." Oleh sebab itu, ucap Saraswati, "kehidupan yang selaras dengan alam sebagai politik perlawanan yang juga menjegal kekuatan kapitalisme." 

Saraswati juga menyoroti perkembangan Artificial Intelligence (AI). Menurutnya "Teknologi AI melayani agenda kapitalisme global." Teknologi AI yang serba mencakup itu, dalam ulasan Saraswati, "dapat menyeragamkan isi pikiran kita, imajinasi visual kita, mengambilalih ruang kreatif kita." 

Pada konteks inilah peran filsafat menjadi sangat mendasar. "Filsafat," kata Saraswati, "dibutuhkan untuk mengevaluasi ancaman eksistensial oleh AI, yang dapat mendorong regulasi atau batasan-batasan AI." 

Dengan nada sedikit merendah Saraswati berpendapat "Filsafat tidak pernah menjadi total dan final. Ketidaklengkapan itu adalah caranya juga beradaptasi/menyikapi disrupsi yang ada."

Merestart Kognisi Manusia 
Pembahasan tentang teknologi semakin luas dan mendalam di tangan Dr. Budhi Munawar-Rachman yang menyoroti pokok soal bagaimana keterlibatan yang sangat intens manusia dengan teknologi berpeluang besar “merestart” struktur kognisi manusia. “Saat ini” kata Munawar-Rachman, “teknologi telah mengubah cara hidup manusia secara drastis.”

Di sela-sela pembahasannya, Munawar-Rachman menceritakan bagaimana ia di waktu luang dapat berlama-lama berasyik masyuk dengan teknologi AI baik untuk keperluan membantu memudahkan kerja-kerja akademik, maupun untuk sekadar ngobrol-ngobrol santai. 

Sebagai dosen filsafat, Munawar-Rachman menegaskan “filsafat berperan dalam memberikan kerangka untuk memahami dampak teknologi terhadap eksistensi manusia dan masyarakat, menganalisis isu-isu kritis seperti privasi data dan kecerdasan buatan, serta mengarahkan inovasi teknologi menuju tujuan yang lebih humanistik.”

Lebih jauh Munawar-Rachman menerangkan, “dalam konteks peradaban kontemporer, filsafat menjadi disiplin penting dalam menghadapi tantangan-tantangan kompleks di era modern, memberikan perspektif kritis untuk memahami dan mengarahkan perkembangan peradaban.”
Sementara Saraswati, seperti telah dijelaskan di awal, bertolak dari tradisi fenomenologi, Munawar-Rachman berangkat dari khazanah pemikiran filsafat eksistensialisme yang menekankan pentingnya kebebasan individu dalam pembentukan identitas. 

Menurut Munawar-Rachman, “pemahaman mengenai filsafat eksistensial dapat membantu kita mengkaji secara lebih mendalam bagaimana privasi dan identitas saling terkait.”

Dalam pembahasannya, Munawar-Rachman merekomendasikan suatu pendekatan baru yang memanfaatkan teknologi dapat memperluas sumber pengetahuan, meningkatkan kecepatan dan efisiensi analisis, serta menangani skala data yang lebih besar. Dengan adaptasi, kolaborasi lintas disiplin, dan perannya dalam etika teknologi, filsafat dapat tetap relevan dan berkembang di era digital ini.”

Posisi Munawar-Rachman menyiratkan kesan bahwa aktualitas filsafat di era digital akan terlihat manakala filsafat mempertahankan watak dasarnya sebagai ilmu kritis yang selalu menggonggong bak seekor anjing, mempertanyakan segala hal secara radikal. 
Kritisme filsafat dengan demikian dapat menjadi panduan untuk menyikapi berbagai capaian yang dihasilkan perkembangan teknologi sekaligus mengelolanya sehingga teknologi tidak bergerak secara ugal-ugalan. 

Kembali ke "Philosophia" 
Sebagai pembicara terakhir, Dr. M. Subhi-Ibhrahim, Direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies dan penekun filsfat perenialis yang kaffah, menggaris-bawahi perlunya menarik kembali filsafat ke kodratnya sebagai "philosophia," mencintai kebijaksanaan.

Seruan untuk mengembalikan filsafat ke posisi asalinya, dikemukakan karena filsafat, menurut Subhi-Ibhrahim, telah melenceng jauh dari marwah asalinya. Alih-alih mencitai kebijaksanaan, filsafat, terutama yang terartikulasikan pasca penutupan Akademia Platon hingga maklumat mendebarkan filosof Nietzsche tentang Tuhan telah mati, justru malah mengekspresikan sebuah sikap membenci kebijaksanaan.

Salah satu kekhasan paling mendasar dari filsafat sebagai philosophia terletak pada adanya pertautan khas antara pengetahuan dan dunia keseharian. Pengetahuan falsafi selalu terintegrasi dengan dimensi praktis dan kontekstual, yang dalam istilah teknis disebut sebagai "bios theoretikos" dan "bios politikos." 

Dalam pandangan Subhi Ibrahim, frasa itu tampaknya dimaknai sebagai “living philosophy.” Filsafat menjadi titik awal dan titik akhir dalam mengarungi semesta kehidupan yang selalu berdenyut dan tak bisa lepas dari partisipasi sang pemilik kehidupan.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, alih-alih menemui ajal sebagai jawaban dari pertanyaan tema diskusi "filsafat telah mati?" para pembicara, justru memperlihatkan kecenderungan untuk menghidupkan dan menghadirkan gaya baru berfilsafat sebagai disiplin ilmu yang selalu adaptif dengan kemajuan zaman, tanpa secuilpun kehilangan daya gedor krtisismenya.
Sebagai penutup, menyitir judul lagu lembut dan sopan milik Bernadya, “Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan,” maka filsafat juga akan tetap berjalan dan hidup dengan nafas kritisismenya.

*Esais, mahasiswa Pascasarjana Paramadina Graduate School of Islamic Studies 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.