Sebuah Perjumpaan Pemikiran dengan Tuan Zaid Zaidel Jamil - Sofyan RH. Zaid
Sebuah Perjumpaan Pemikiran dengan Tuan Zaid Zaidel Jamil
oleh Sofyan RH. Zaid
Di Lobby Lounge Hotel Millenium Sirih, Jakarta Pusat, saya berkesempatan bertemu dengan Tuan Zaid Zaidel Jamil, seorang pejabat, pengusaha, dan budayawan asal Sarawak, Malaysia. Beliau juga menulis puisi "walau tak seproduktif istri saya," ujarnya. Beliau sudah juga pernah baca puisi di acara-acara sastra internasional.
Pertemuan ini terjadi sebab mediasi Bu Ayu Yulia Johan. Konon perkenalan mereka bermula dari sebuah buku antologi puisi dan fotografi berjudul Bunga Bicara, yang diterbitkan komunitas Bunga Setaman tahun 2023.
Tuan Zaid sendiri sedang menghadiri acara di Universitas Trisakti dan meluangkan waktu untuk perjumpaan ini. Kami bercakap santai tentang banyak hal, terutama sastra. Ada beberapa percik pemikiran Tuan Zaid yang menarik.
Dalam pandangan Tuan Zaid, sains dan sastra seharusnya tidak dipisahkan. "Sains adalah alat untuk memahami dunia secara rasional, sementara sastra adalah medium untuk memahami emosi dan makna kehidupan,. Keduanya jangan dikotak-kotakkan agar sastra tidak mati," katanya. Ia percaya bahwa perkembangan teknologi yang luar biasa hari ini seharusnya juga menjadi inspirasi dalam karya sastra.
Tuan Zaid juga mengkritisi bahwa penghargaan sastra di Asia seringkali hanya berhenti pada seremoni. Setelahnya, pemenang jarang mendapatkan perhatian lebih lanjut, baik dalam bentuk bimbingan karier maupun promosi karya mereka. "Penghargaan bukan hanya tentang piala, tetapi bagaimana sastra bisa menjadi alat perubahan sosial yang lebih besar dalam jangka panjang," ujarnya. Ia mengusulkan agar penghargaan sastra juga melibatkan program tindak lanjut, seperti residensi penulis atau dukungan publikasi internasional.
Lebih lanjut, Tuan Zaid menekankan pentingnya aspek visual dalam buku, terutama buku sastra. Menurutnya, buku dengan desain yang estetis mampu menarik lebih banyak pembaca. "Isi buku penting, tapi daya tarik visual adalah gerbang pertama menuju pembaca," katanya. Di era digital ini, desain buku bahkan bisa menjadi salah satu cara untuk bersaing dengan media lain seperti film dan media sosial.
Beliau juga sempat menyinggung soal banyak mahasiswa yang memilih jurusan sastra bukan karena kecintaan terhadap sastra itu sendiri. "Beberapa hanya melihat sastra sebagai jalan mudah mendapatkan gelar," ungkapnya. Hal ini, menurutnya, menjadi tantangan besar bagi dunia akademik untuk membangkitkan kembali gairah dan kesadaran akan pentingnya sastra.
Terakhir, ini yang paling seru, dalam dunia sastra modern, Tuan Zaid menyoroti peran kritikus atau kurator yang seharusnya mulai memahami teknologi kecerdasan buatan (AI). "Kita dihadapkan pada karya yang dihasilkan oleh manusia dan mesin. Jika kurator tidak memahami AI, bagaimana mereka bisa mengevaluasi karya secara adil?" tanyanya. Ia menilai bahwa ini adalah langkah penting untuk menjaga keaslian dalam dunia literasi, terutama dalam antologi bersama yang melibatkan banyak penulis.
Selama sekitar satu jam itu, waktu terasa begitu cepat. Saya terkesan dengan cara pandang Tuan Zaid yang tidak hanya menyoroti persoalan klasik sastra, tetapi juga melihat ke arah masa depan. Percakapan kami mengingatkan saya bahwa sastra tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu terkait erat dengan perubahan zaman, teknologi, dan manusia yang terus berkembang.
Jakarta, 23 November 2024