Stop Minder! Yuk Nulis - Emi Suy
Stop Minder! Yuk Nulis
Emi Suy
KATA-kata bisa hilang, tapi tulisan tidak. Tulisan
adalah hasil perbuatan menulis. Sedangkan menulis adalah perbuatan. Pekerjaan
yang sedang berlangsung atau dikerjakan.
Sebelumnya saya akan berbagi kisah pengalaman
menerbitkan buku yang merupakan satu anugerah dalam hidup saya. Proses
menulis puisi merupakan perjalanan sunyi yang saya tempuh di tengah hiruk pikuk
dan problematika hidup keseharian. Ketika lelah, saya menemukan kedamaian dan
kesunyian yang indah. Ketika dalam keadaan sedih juga bahagia, saya ingin
meninggalkan jejak dalam puisi. Dengan menulis puisi saya seperti sedang
memberikan suplemen dan vitamin untuk jiwa, seperti menemukan oase di gurun pasir.
Menerbitkan buku puisi pertama rasanya tegang
sekali. Saya teringat ucapan penyair Sofyan RH. Zaid; "Prinsipnya
menerbitkan buku puisi punya dua akibat; hidup seribu tahun lagi atau mati
bunuh diri." Timbulah pertanyaan kekhawatiran dalam diri saya, bagaimana
nasib saya setelah buku ini terbit? Apakah buku ini akan mendapat respons
positif sebagai buku yang layak baca atau malah sebaliknya akan mengecewakan?
Cukup kuatkah saya dengan kritikan -terlebih pujian- yang akan muncul dari
pembaca?
Saya menenangkan diri dan berbisik pada sunyi:
Akhirnya saya mengawali kelahiran buku pertama ini dengan "Bismillah".
Saya pun sepakat dengan Seno Gumira Ajidarma bahwa
setiap kali orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur kalau toh ia
tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan
jiwanya sendiri. Menulis adalah bagian dari kehidupan, bagian dari perbuatan
membangun sebuah peradaban. Perbuatan menulis sama mulianya dengan perbuatan
mengajar atau berbagi ilmu. Apalagi tulisan yang bermanfaat, ia seperti amal
yang tiada putus.
Hasil karya tulisan tidak dibatasi waktu. Ibnu
Khaldun, Tan Malaka, Muhamad Iqbal dan ratusan tokoh besar dunia yang telah
wafat masih "mengajar" hingga saat ini. Warisan pemikirannya masih
sering didiskusikan di ruang kelas, di forum-forum diskusi dan berbagai acara
literasi.
Stop minder! Ayo biasakan menulis. Membiasakan
menulis adalah menuang ide, mengabadikan pemikiran kita dalam bentuk tulisan.
Apapun itu entah berupa puisi, cerpen, novel, esai, dan lain sebagainya.
Mengapa kita harus menulis? Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang ditelan masyarakat dan sejarah. "Kau, nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis,
suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian
hari.”
Manusia boleh memiliki kepandaian setinggi langit.
Boleh memiliki kemampuan tak terbatas. Namun jika tidak ditulis maka kepandaian
dan pengalaman tersebut akan hilang ditelan zaman. Itulah penggalan kalimat yang ditulis novelis legendaris Indonesia,
Pramoedya Ananta Toer pada novelnya berjudul “Rumah Kaca”. Ia tulis novel ini sekitar tahun 1980-an. Pada tahun pada tahun 1988,
novel ini sempat dilarang oleh pemerintahan Soeharto lantaran berisi sindiran
tajam soal pemerintahan diktator.
Jasad peraih gelar kehormatan Doctor of Humane
Letters dari Universitas Michigan tahun 1999 ini memang sudah tiada. Namun
hingga saat ini novel-novelnya Pramoedya masih sangat dinikmati, tidak hanya
oleh orang Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional. Begitu dahsyatnya
menulis.
Imam Al Ghazali pernah mengatakan, "Kalau kamu
bukan anak raja, dan kamu bukan anak seorang ulama besar, maka jadilah
penulis". Hampir senada dengan itu Pramoedya Ananta Toer juga pernah
berucap, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia
akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ”Secara terpisah Sayyid Qutb, seorang ilmuwan yang juga sastrawan dan
pemikir dari Mesir pernah mengungkapkan bahwa, “Peluru hanya bisa menembus satu
kepala, tetapi tulisan bisa menembus jutaan kepala.” Ini sejalan dengan pepatah lama seorang filsuf Perancis Descartes,
yakni Cogito ergo sum dimana artinya aku berpikir maka aku ada.
Maksudnya kalimat ini membuktikan bahwa
satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri.
Seseorang tidak akan eksis tanpa berpikir. Hasil pemikirannya akan lenyap dalam
sejarah jika tidak tulis dan dipublikasikan. Karena itulah menulis adalah
rangkaian dari proses berpikir. Menulis juga bagian dari menunjukkan eksistensi
kita sebagai manusia.
Perbedaan manusia dengan binatang yang diciptakan
Tuhan Yang Maha Esa adalah bahwa Tuhan telah memberikan anugerah yang sangat
dahsyat yakni otak. Dengan ciptaan-Nya ini. Dengan terdiri dari miliyaran
sel-sel, otak membuat manusia berpikir dan ‘menciptakan sesuatu’. Hasil
ciptaannya itulah yang berhasil membangun sebuah peradaban.
Saya merasa yakin setiap manusia diciptakan
memiliki kemampuan untuk menulis. Pertanyaannya, hanya saja kemampuan tersebut
dipakai atau tidak. Itu pertanyaan yang mendasar. Sebab kita harus akui, hampir
setiap umat manusia yang hidup di jaman modern saat ini sejak usia dini sudah
diajarkan bagaimana cara menulis. Begitu juga dalam keseharian kita tidak
pernah lepas dari kegiatan menulis.
Entah itu menulis surat, memo, menulis pesan di
perangkat komunikasi atau sekedar untuk mengupdate status di media sosial.
Menulis itu sebenarnya tidak sulit karena sudah menjadi kegiatan rutin
keseharian kita. Namun hal tersebut belum menjadi sebuah kebiasaan.
Kita juga patut bersyukur memiliki kemampuan
menulis. Berkat kemampuan menulis, hingga saat ini kita dapat mengenal tokoh
tokoh masa lampau. Seperti kita mengenal seperti pendiri Republik Indonesia Ir
Soekarno, Mohammad Hatta, KH Agus Salim dan Ki Hajar Dewantara. Atau kalau kita
mau mundur lebih jauh lagi ada nama seperti Socrates, Plato, Albert Einstein
dan Ibnu Sina. Mungkin kita semua tidak memiliki hubungan dan tidak pernah
mengenal langsung para tokoh-tokoh tersebut. Tetapi kita bisa mengenal dan
mengetahuinya lewat karya-karya yang diwariskan, salah satunya melalui tulisan-tulisan
mereka.
Boleh jadi mereka terpisah jarak beberapa generasi
dengan kita saat ini dan mereka pun telah meninggal puluhan, ratusan bahkan
ribuan tahun yang lalu. Namun satu hal yang tetap abadi adalah karya-karya
mereka, yang telah memberikan warisan pemikiran bagi generasi selanjutnya. Mereka
tetap dikenang, bahkan pemikiran-pemikiran yang mereka wariskan menjadi topik
diskusi serta perbincangan yang akhirnya mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran
baru sebagai penyempurnaan dari yang telah ada sebelumnya.
Para tokoh diatas seakan-akan mereka hidup abadi
dan kekal sepanjang zaman karena mereka menulis. Bayangkan apa yang akan
terjadi seandainya mereka tidak pernah menulis dan mewariskan pemikiran mereka?
Mungkin kita tidak akan pernah mengenal mereka, dan nasibnya mungkin sama
seperti sebagian besar orang-orang yang lainnya. Hilang ditelan perputaran
zaman dan tergilas tanpa bekas oleh roda kehidupan.
Hartawan dikenal sebab kedermawanannya. Profesor
atau ilmuwan peneliti dikenang sebab ilmu pengetahuan yang telah di patenkannya
mengefisiensi salah satu aspek penting dalam kehidupan ini menuju masyarakat
tercerahkan. Pahlawan dikenang sebab perjuangannya melawan penjajah guna
merebut kemerdekaan. Pemimpin dikenang sebab gaya dan perubahan kepemimpinan
yang dihasilkannya. Lalu, bagaimana dengan kita yang bukan siapa-siapa? Bukan
orang kaya? Bukan juga profesor? Bahkan bukan pahlawan? Lantas apa yang perlu
dilakukan agar tetap terkenang oleh generasi berikutnya? "Kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka
menulislah.” (Imam Ghazali).
“Semua penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang
akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti” (Ali bin Abi Thalib). Kita akan di kenang setelah wafat, manakala membuat
perubahan dalam bentuk apapun yang akan selalu di kenang oleh manusia di zaman
itu dan SELANJUTNYA.
Desember 2019
Bahan Sharing Session pada Acara Diskusi Stop Minder,
Yuk Nulis, Diselenggarakan Komunitas Perempuan Puisi,
di Bogor, 01/12/2019