Seputar “Kukusan” dan Nasib Puisi - Emi Suy
Seputar “Kukusan” dan
Nasib Puisi
Emi Suy
PUISI memiliki nasibnya sendiri, dan nasibnya kadang tak terprediksi. Bahkan
perjalanan nasibnya sampai dapat mengubah nasib penulisnya, sedikitnya nasib perjalanan
kepenyairan si penyair itu. “Kukusan” adalah sebuah contoh dari hal
tersebut.
Puisi yang saya tulis pada tahun 2021 tersebut bukanlah sebuah puisi
yang terbit dari ambisi besar, seperti mendedahkan masalah politik demi
perubahan sosial berskala bangsa misalnya. Ada mungkin yang menyebut “Kukusan”
sebagai puisi domestik, atau ndeso. Bila memang ada yang demikian, saya
tak hendak menyanggah. Apalagi meledak marah-marah.
Nyatanya, dari judulnya saja, “Kukusan”, meruap sudah aroma ndeso.
Bahan dasar benda berbentuk kerucut tersebut adalah bambu. Jenis bambu yang dagingnya dan terutama kulitnya liat. Jenis bambu yang
di tanah Sunda disebut awi tali ini hanya tumbuh, umumnya, di desa-desa
pegunungan. Orang yang menjadikannya kukusan, dengan meraut dan menganyamnya,
seperti orang yang membuatnya menjadi caping, adalah orang (yang lahir dan
bermukim di) desa. Kukusan memang
tak seperti monumen, misalnya. Lokasinya bukan di ranah publik, melainkan di
ranah domestik.
Namun, apa mungkin ada monumen tanpa kukusan? Apa mungkin ada laku
monumental tanpa benda domestik dan ndeso itu? Saya tidak tahu. Saya hanya merasa kami, saya
dan saudara-saudara, merasa akrab benar dengan kukusan. Dengan itulah, dengan
benda berbentuk kerucut berbahan bambu yang dianyam wong ndeso itu, setiap hari
ibu kami antara lain mengubah beras menjadi nasi. Dengan nasi yang dimasak ibu
kami, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun, kami pun
bertumbuh. Bertumbuh sebagai individu-individu dan sekaligus anggota keluarga,
bagian dari kampung, bagian dari desa, bagian dari lingkungan-lingkungan lain
lagi, yang sebagiannya lebih besar dari itu.
Dalam proses pertumbuhan ini, saya, mungkin juga saudara-saudara saya,
melihat dan merasakan betapa dekat ibu dengan kukusan. Kadang ibu tampak
memperlakukan kukusan bukan sebagai benda, tapi mahluk yang berjiwa, yang
bertabiat, sehingga kadang tampak pulalah bahwa yang menanak nasi itu ibu
bekerja sama dengan kukusan. Jadi, entah bagaimana proses persisnya,
menyembullah “Kukusan”, sebuah puisi yang terdiri dari tiga bait, dengan setiap bait terdiri dari tiga baris,
yang bait pertamanya seperti ini:
“di kukusan bambu, menghitam
dibakar bara dan doa, begitu tenang
ibu menanak usia kami, hingga matang”
Puisi yang bait pertamanya demikian itu barangkali lebih sebagai
manifestasi bauran cinta, rasa hormat, rasa terima kasih, dan rasa kagum saya
akan ibu kami, juga dengan derajat berbeda akan kukusan. Namun, itu hanyalah
tafsir saya atas “Kukusan”. Meskipun memang saya yang menulis puisi sembilan
baris dengan baris-baris yang panjangnya tidak sama itu, tetaplah tafsir saya
atasnya hanyalah salah satu tafsir. Hal ini tentu tak mengharamkan hadirnya tafsir-tafsir para pembaca lain.
Meskipun demikian, saya berani menyatakan bahwa masyarakat, suku bangsa,
bangsa, dan bahkan negara mustahil ada tanpa keluarga. Sementara keluarga
mustahil pula tumbuh sejahtera tanpa rumah. Charles Toto, chef asal Papua yang
jawara dalam hal masakan hutan, berkata bahwa setiap arsitektur selalu
dirancang dengan mulai dari merancang dapur. Adapun jantung dapur di mana pun
adalah memasak bahan mentah menjadi makanan (pokok) matang.
Jika memang demikian, kabur atau tak jelaslah batas antara ranah publik
dan ranah domestik. Kedua ranah itu lebih saling merasuki, saling melengkapi. Namun,
terlepas dari itu, puisi itu barangkali juga sebagai kukusan, sebagai teks yang
terbuka, teks yang memiliki banyak celah untuk dimasuki, yang karenanya menjadi
menyediakan banyak kemungkinan bagi terjalinnya berbagai koneksi. Barangkali
karena itulah “Kukusan” kemudian sampai ke tangan Ananda Sukarlan.
Kebanyakan orang Indonesia yang mengenal Ananda mengenalnya lebih
sebagai seorang yang berkecimpung di panggung musik klasik sebagai pianis.
Sebagai pianis musik klasik, Ananda memang layak dikata laris. Larisnya bukan saja di Indonesia, negara di
mana ia lahir pada 10 Juni 1968, melainkan dunia. Dalam setahun, ia sering
berkeliling untuk memenuhi undangan konser di berbagai negara, terutama di
Eropa dan Amerika Utara. Kepada Tempo.co, pada 2 September 2012, Ananda yang ketika itu bermukim
di Spanyol mengaku bahwa konser-konser keliling dunia itu membuatnya merasa lelah.
Ia menjadi berpikir untuk pensiun dini sebagai pianis. “Ingin di belakang layar
saja, jadi komponis, bukan pianis di depan panggung,” kata Ananda di kantornya,
Rabu, 30 Agustus 2012.
Keinginan “pensiun” itu sebetulnya bukan hal baru. Keinginan Ananda ---
yang lulus dengan predikat summa cum lauda pada 1993 dari Royal Conservatory of
Den Haag Belanda --- untuk bekerja sebagai komponis atau di belakang layar
sudah menyeruak sejak tahun 2005. Hal ini dapat dikata wajar mengingat bahwa
dalam setahun ia sedikitnya konser sebagai pianis sebanyak 50 kali.
"Lama-lama kreativitas menurun, enggak ada waktu untuk eksplorasi hal
baru," ujarnya
Bagi seorang
Ananda, meningkatkan kreativitas dan mengeksplorasi hal baru memang merupakan
keutamaan. Pengutamaan kedua hal yang saling menopang tersebut agaknya datang
dari pandangannya mengenai musik, yang bukan permainan teknis canggih belaka,
melainkan pertama-tama dan terutama merupakan praksis dari humanisasi. Dan
humanisme penerima gelar kesatriaan tertinggi Italia "Cavaliere Ordine
della Stella d'Italia" ini lebih sebagai humanisme religius, bukan jenis
humanisme yang berandil pada kolonialisme abad ke-17. Kecenderungan ini sudah
mulai kian tampak ketika ia menuntut ilmu musik di Royal Conservatory of Den
Haag.
Ketika itu, Ananda kian terhubung dengan Phillis Wheatley. Puisi-puisi
penyair Afrika-Amerika pertama itu yang terutama menghubungkan mereka. Juni
Jordan menulis bahwa Phillis lebih dari seorang penyair perempuan
Afrika-Amerika pertama. Ia pun seorang yang sampai akhir hayatanya dalam usia
31 tahun, pada 5 Desember 1784, terus memperjuangkan kebebasan serta kesetaraan
ras dan gender terutama dengan menulis puisi dan surat
untuk orang-orang yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang bertalian dengan
yang terus diperjuangkannya itu.
Ia datang ke Amerika bukan karena kehendaknya. Pada usia tujuh tahun,
dari kampung tempatnya lahir pada 18 Mei 1753, di Gambia, Afrika barat, ia
diculik. Para penculiknya membawanya dengan paksa ke Schooner Phillis. Kapal
pengangkut budak tersebut membawanya dan para budak lainnya mengarungi
transatlantik, sebuah pelayaran yang bagi mereka yang tetiba dijadikan budak
berarti pelayaran berbulan-bulan dengan makan dan minum yang sangat tidak
memadai, tanpa kamar mandi dan tempat buang air, penyiksaan semaunya yang bisa
disebut rutin, bahkan pembunuhan dan dibuang ke laut. Budak perempuan masih
ditambah dengan pelecehan seksual dan pemerkosaan. Namun ketika Schooner
Phillis berlabuh di dermaga Boston, Massachusetts, pada Juli 1761, ia masih
hidup meskipun dengan tubuh kurus digerogoti asma. Dan para penculiknya
berkeras mencuci otaknya, menghapus sejarahnya, termasuk menghapus nama dari
orang tuanya. Dan lagi kemudian, di tempat pelelangan budak, yang masih dalam
lingkungan dermaga Boston, yang ketika itu masih merupakan koloni Inggris, agen
budak menjajakannya. Ia dipaksa berdiri dalam udara panas terik, dengan tubuh kurus
hampir telanjang, dan lehernya digantungi tulisan “Phillis for Sale”.
Johan Wheatley yang sudah memiliki beberapa budak membelinya. Ia dipekerjakan untuk membantu
segala macam pekerjaan istri Johan. Sang istri mengajarinya bahasa Inggris
lebih untuk memungkinkan ia bekerja maksimal. Dalam tempo hanya delapan belas
bulan, ia sudah lancar bahasa majikannya. Majikan perempuan itu pun memberinya
alkitab. Pagina demi pagina Injil dilahapnya. Dan ia menjadi kecanduan membaca.
Diberilah oleh majikan perempuan bacaan klasik Yunani dan Latin serta sastra
Inggris yang biasa mereka baca, yang berarti sastra Inggris putih. Pasokan
bacaan seperti karya-karya Ovid, Virgil, Terence, dan Homer menjadikan batinnya
bergolak. Ia, yang sudah diberi nama baru menjadi Phillis Wheatley, menjadi
gelisah ingin mengungkapkan pergolakan batinnya. Maka, seperti ditulis Jordan,
“Pada usia 14 tahun, Philis sudah menerbitkan puisi pertamanya, “To the
University of Cambridge”.” Puisi ini bukan pantun singkat atau syair remaja
yang acak-acakan, tetapi tiga puluh dua baris” yang koheren. Dan ini “memberi
tahu orang-orang itu untuk apa dan sementara, menurut aturan perilaku Kristen
mereka sendiri yang ketat. Dalam puisi itulah Phillis menggambarkan keajaiban
puisi hitamnya sendiri di Amerika.”
Puisi seperti itu tentulah menimpakan beban tambahan ke bahu Phillis.
Sastra Amerika abad ke-18 adalah dunia maskulin-putih. Phillis akan disambut
kaum maskulin-putih jika menulis karya-karya yang mengukuhkan konstruksi
ideologi tersebut. Namun Phillis tak sudi memunggungi hidupnya sendiri dan
hidup kaumnya. Berbagai reaksi negatif terhadap karyanya malah menjadikan kian
bersemangat. Perjuangannya tentulah tak selalu lancar. Ada kala Phillis merasa
terjegal. Ketika demikian, seperti dalam puisi On Virtue”, ia (seperti)
mengingatkan dirinya sendiri:
“Hei, jiwaku, jangan tenggelam dalam
keputusasaan,
Kebajikan ada di dekatmu, dan dengan tangan
yang lembut
Sekarang akan memelukmu, melayang di atas
kepalamu.”
Pada usia yang masih remaja juga, Phillis mengkodisikan dirinya untuk
dapat terus menulis puisi-puisi yang menyoalkan perbudakan dan berbagai akibat
buruknya. Salah satunya adalah salah satu puisinya yang masyhur “On Being
Brought from Afrika to America”. Puisi delapan baris ini jauh dari puisi merah
jambu. Kedua baris akhirnya seperti ini:
“...
Remember, Christians, Negroes, black is Cain
May be refin’d, and join the angelic train.”
Komposisi tersebut ditampilkan (kembali) pada 14 November 2022, bersama
Pasuan Suara Hati Suci, di Nusa Dua, Bali, dalam pertemuan G20 dengan United
Nations Global Compact (UNGC) dan Sanda Ojiambo, Asisten SekJen UNGC yang baru.
Untuk menyanyikan karyanya yang berdasarkan puisi sang pemula perpusian hitam
Amerika itu, Ananda mengundang Pepita Salim, salah satu solois lulusan New
England Conservatory di Boston yang pernah juga diundang Ananda saat pagelaran
perdana G20 Orchestra di Candi Borobudur, 12 September 2022.
Panti Asuhan Hati Suci pun sehaluan. Panti ini didirikan tahun 1914 oleh
Nyonya Lie Tjian Tjoen, istri seorang kapiten, beliau orang Indonesia keturunan
Tionghoa. Pada awalnya tujuannya adalah
untuk menampung anak-anak perempuan korban penjualan manusia dari Tiongkok,
tapi akhirnya berkembang menjadi panti asuhan putri. Meskipun demikian, menentang
perdagangan manusia dan perbudakan tetap menjadi prinsip Panti Asuhan Hati Suci
dan memandangnya sebagai salah satu upaya menegakkan hak asasi manusia. Dengan
puisi Phillis dan komposisi Ananda yang berdasarkannya jelaslah sejiwa.
Ketika mengetahui itu, kembali saya merunduk. Kembali bulu kuduk saya
serempak tegak seluruh. Ananda Sukarlan jelas bukan sembarang orang. Ia yang
satu-satunya orang Indonesia yang namanya tercatat dalam buku Outstanding
Musiians of the 20th Century itu telah berkenan membaca “Kukusan”. Ia
membacanya barangkali sebagaimana ia membaca puisi-puisi Phillis seperti “On
Being Brought from Africa to America”. Dan, seperti berdasarkan puisi Phillis
tersebut, berdasarkan “Kukusan” pun Ananda kemudian meniptakan karya musik.
Bagi saya, rasanya kurang pas bila dikata bahwa karya musik Ananda itu
sebagai alih wahana. Karya tersebut rasa-rasanya “Kukusan” yang lain, “Kukusan”
yang dibangun dengan tambahan alat ucap yang dipilih dan digunakan oleh seorang
maestro. Dalam memilih dan menggunakannya, sang maestro bekerja dengan dorongan
jiwanya. Jiwanya yang seluas lautan, atau malah bisa jadi seluas semesta.
Kukusan yang saya tulis pun menjadi beruntung benar. Ia menjadi puisi
dengan makna dan kemungkinan baru. Dan ini pun, barangkali, dapat menjadi
keberuntungan juga bagi sastra Indonesia, khususnya perpuisiannya. Daya dan
ruang artikulasinya menjadi bertambah. Dengan sendirinya begitu pula area KOMUNIKASINYA.