Menyelami Lautan Puisi Prof. Firdaus Syam - Emi Suy
Menyelami Lautan Puisi
Prof. Firdaus Syam
Emi Suy
SEBUAH kesempatan mentafakuri dan
mentadaburi
puisi-puisi Prof.
Firdaus Syam, adalah kebahagiaan tersendiri buat saya. Bait-bait puisinya tidak
hanya membuat saya tenggelam di kedalaman makna. Namun turut hanyut oleh
derasnya arus suasana batin penulisnya. Prof. Firdaus telah berhasil
mengungkapkan suara-suara batin, kegelisahannya dan memotret lanskap kehidupan lewat
puisi-puisi yang
dituliskannya. Bahkan puisi-puisi itu sebagai dunia lain baginya selain dunia
akademisi.
Puisi-puisi itu sebagai
ruang yang begitu luas tak terbatas untuk menyelami perasaan-perasaan cinta
seorang Prof. Firdaus kepada sang Maha, pada negara dan bangsa, pada budaya,
seni dan kearifan lokal, pada sesuatu yang berjasa dan berharga dalam hidupnya,
pada alam semesta, pada anak dan istri tercinta, pada sanak saudara keluarga
yang dicintainya, mahasiswanya, dan kepada makhluk ciptaan-Nya,
tentang patriotisme, tentang romantisme sebagai akademisi.
Saya menemukan
kepiawaiannya meniupkan ruh dalam larik-larik puisinya yang lugas dan jelas
dalam diksi-diksi yang mudah dipahami. Juga esensi lain semacam sejuk embun
atau oase di padang pasir, saja-sajak yang ia tulis tak lepas dari
kesehariannya sebagai pendidik. Salut kepada Prof. Firdaus Syam di tengah
kesibukannya yang padat produktif
menulis puisi-puisi
sebuah upaya memuliakan kehidupan, menjaga keseimbangan dalam hidup. "Hidup puisi.
Puisi memuliakan kehidupan."
Puisi ialah milik semua
orang. Menulis puisi ialah salah satu upaya memeluk diri sendiri. Syukur-syukur
dapat memeluk atau paling tidak dapat menyentuh ruang batin orang-orang yang
membacanya serta mendengarkannya. Puisi itu
sendiri sebagai ruang sunyi, yaitu ruang yang sarat dengan perenungan dan
permenungan. Puisi sebagai cermin, sebagai mozaik, sebagai instrument, sebagai puzzle,
sebagai alarm, sebagai embun, sebagai sari pati kehidupan, sebagai jembatan,
sebagai jalan sunyi, sebagai arus deras yang menghanyutkan. Puisi sebagai apa
yang kita pikirkan.
Puisi adalah bentuk
seni yang telah ada selama berabad-abad. Bahwa puisi begitu penting dalam kehidupan
ini. Puisi dapat meningkatkan empati dan pengertian terhadap orang lain. Puisi
memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan pikiran kita, mempunyai kelebihan
sebagai media untuk mengekspresikan diri dengan cara yang sehat
dan katarsis.
Kalau saja semua guru
dan dosen di Indonesia menulis sajak alangkah indahnya. Saya teringat Seno
Gumira Ajidarma yang mengatakan bahwa, "Setiap kali ada orang Indonesia
menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil
menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya
sendiri. Puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai kepada
akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang
masih hidup".
Bahwa sejatinya puisi
juga sebagai penjaga peradaban dan harus masuk ke dalam semua ruang kehidupan.
Puisi adalah penggugah batin untuk semua lapisan masyarakat. Puisi dapat disuarakan
dibacakan di depan anak-anak pemulung di antara timbunan sampah, anak-anak
nelayan miskin di pesisir, di pinggir jalan ngamen untuk penggalangan
dana, di festival sastra nasional maupun internasional, di coffee shop dan kafe-kafe, di
alun-alun berbaur dengan masyarakat, di gedung-gedung kantor pemerintahan yang
megah, di gedung-gedung kesenian dan kebudayaan yang berkelas, di depan hadirin
rapat para petinggi bisnis dan pemerintahan, di hotel berbintang yang elit,
bahkan di ballroom dengan konser piano klasik yang eksklusif.
Ya, puisi milik semua
lapisan masyarakat, maka sampaikanlah ke semua ruang kehidupan. Menggugah rasa
kemanusiaan lewat puisi, karena puisi juga potret sekaligus lukisan kehidupan.
Sebab dengan puisi dapat menyentuh hati pembacanya, karena saya
meyakini bahwa puisi adalah penjaga peradaban, kemanusiaan, serta hati nurani.
Akhirul kata, semua
puisi Prof. Firdaus Syam ini patut diberikan apresiasi dan layak mendapat
tempat tersendiri di hati. Semoga turut memberikan warna dalam perkembangan
dunia sastra Indonesia. Yang fana itu usia, puisi abadi. Kata-kata bisa
hilang,
tapi tulisan tidak.
Saya ingin memberikan
sebuah apresiasi untuk Prof Firdaus Syam berupa satu puisi persembahan.
KEPADA PROF
FIRDAUS SYAM
di luar sana
hari-hari terbuat dari
kegaduhan
yang teramat bising,
di kepalamu tumbuh
pasar
yang riuhnya jadi jalan
rahasia
ke arah dada,
bukan sebagai tempat
menampung panik dan
kecemasan --
bukan pula tempat
pulang
menidurkan kesedihan
engkau bertahan
dari perasaan-perasaan
yang meradang
menempuh kelelahan
panjang
demi mencerdaskan
anak-anak bangsa
untuk masa depan negeri
biarkan orang-orang itu
menjadi tuhan
di etalase nya
sendiri-sendiri
tetaplah jadi cahaya
di tengah gelap
menyergap
hidup terbuat dari
genggaman
atas
kerinduan-kerinduan
dari waktu ke waktu
hingga musim-musim
berganti
: semua tumbuh tua
sunyi
bukanlah sepi (atau
kesepian)
atau kesendirian,
sunyi adalah inti -- ruang batin --
bercakap-cakap dengan
diri
dengan bayangan
sendiri,
berbincang menyapa
semesta,
lebih dekat mendengar
suara-suara alam.
kau tempuh jalan sunyi
sebab tanpa sunyi,
kita tak punya ruang-waktu
untuk bercermin,
kita tak punya
ruang-waktu
untuk mengenali diri,
kita kehilangan
ruang-waktu
untuk mendengarkan
dan merasakan aliran
napas sendiri
di mana orang-orang
dari hari ke hari
semakin jauh
dengan dirinya sendiri
merasa terasing.
2023
Selamat menempuh jalan sunyi bernama puisi, PROF.