Pola dan Titik Temu - Sofyan RH. Zaid
Pola dan Titik Temu
(Catatan Kurator buku Algoritma Kesunyian, Sehimpun Puisi Terbaik Riri Satria & Emi Suy)
Sofyan RH. Zaid & Nunung Noor El-Niel
“Setiap orang membutuhkan tempat di mana mereka dapat pergi untuk merenung sejenak. Kesunyian itu penting; Ini satu-satunya saat Anda dapat mendengar bisikan kebenaran.”
― Glenn Beck
Nyaris menelan masa setengah tahun naskah buku ini kami kerjakan dengan santuy di sela-sela kesibukan sehari-hari. Puisi-puisi dalam buku ini diseleksi dari semua buku puisi tunggal Riri Satria dan Emi Suy yang pernah diterbitkan.
Puisi Riri ditambang dari Jendela (2016), Siluet, Senja, dan Jingga (2019), dan Metaverse (2022). Sementara itu, puisi-puisi Emi Suy dariTirakat Padam Api (2011), Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020), dan Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022).
Setelah proses seleksi selesai dan terkumpul puisi-puisi terbaik dari keduanya, kami kaget saat membacanya kembali! Kenapa? Sebab secara mengejutkan (untuk tidak memakai kata ‘kebetulan’ yang kata Rumi, ia tidak ada di dunia) ada pola dan titik temu di antara keduanya, yakni kesunyian. Baik pada puisi Riri atau Emi, banyak ditemukan diksi sunyi, walau dalam dimensi yang berbeda di antara keduanya.
Sebagaimana kita tahu, kata sunyi akan berbeda dimensinya apabila digunakan oleh penyair yang tinggal di kampung dengan penyair yang tinggal di kota sebagai manusia urban. Bagi yang tinggal di kampung, sunyi bisa sebagai pengalaman atau justru kebosanan. Sementara itu, sunyi bagi yang tinggal di kota bisa berarti sebagai pengalaman atau malah harapan. Dengan kata lain, sunyi di kampung begitu melimpah, sementara sunyi di kota telah menjadi langka, mungkin juga mahal.
Walaupun Riri dan Emi bisa dibilang sebagai manusia urban sebab tinggal di kota sejak lama, ternyata juga ada perbedaan dimensi dalam penggunaan kata sunyi dalam puisi-puisinya. Mari kita ambil contoh salah satu puisi mereka yang paling mewakili:
Riri Satria
JALAN SUNYI SEORANG PEREMPUAN
Menjelang tengah malam sehabis gerimis
perempuan itu menelusuri lorong sunyi
Hanya angin menemaninya di jalanan basah
menyibak nakal rambutnya yang panjang
menebar rasa dingin di sekujur tubuhnya
warna-warni lampu jalan
dentuman suara musik
gelak tawa orang pinggir jalan
kepulan asap rokok
(perempuan itu seketika dipeluk
dan diperkosa sunyi
tak kuasa meronta melepaskan diri)
Tak ada yang tahu hatinya
Tangis tentang hidup yang tak adil!
kebenaran yang dibungkam!
kezaliman meraja-lela!
Dan orang munafik bebas tertawa!
Apakah dewi keadilan
Telah berselingkuh dengan bandit jalanan?
Apakah dewi cinta juga telah mendua
dengan tikus malam?
Dengan mata terpejam dia bertanya
benarkah cinta dan keadilan
selalu ada di jalan sunyi?
(Jakarta, 19 Desember 2015/2022)
Emi Suy
PENJAHIT LUKA
seorang perempuan menjahit luka tubuhnya
di bilik renta
menyatukan serpihan kenangan yang pernah retak
sendiri ditemani rindu
pelan-pelan jemarinya merangkai sunyi
di antara potongan-potongan kain perca
malam adalah ujung jarum
yang tiba-tiba menusuk ujung telunjuk
berdarah dan perih tak membuatnya berhenti
meski senyap telah ditelan gelap
matanya yang layu belum tampak sayu
berkali-kali menggulung benang
yang terlepas dari skoci
ia sabar menyimpan warna-warna ingatan
dalam sebuah laci
matanya menatap dekat lubang jarum
memasukkan ujung benang dalam lubang menjadikannya sempurna sepotong baju
membalut tubuhnya yang sedikit keriput
bahagia pasti tiba dalam pelukan doa
“perempuan mesti bisa menjahit
setidaknya menjahit lukanya sendiri,”
bisik ibu.
Dari dua puisi tersebut, kita bisa memetakan persamaan dan perbedaannya antara puisi Riri “Jalan Sunyi Seorang Perempuan” dan “Penjahit Luka” Emi.
Pertama, puisi tersebut sama-sama mengisahkan soal perempuan. Perbedaannya, di puisi Riri, perempuan sebagai seseorang, entah itu teman, kekasih, perempuan pekerja malam, atau sebagainya. Sementara itu, di puisi Emi, perempuan secara spesifik sebagai ibu yang bisa menjahit.
Kedua, puisi tersebut sama-sama penuh suasana. Perbedaannya, Riri secara tersurat mengangkat suasana perkotaan, sedang Emi secara tersirat mengangkat suasana perkampungan dengan sosok ibu dan di mana kami tahu, ibunya memang tinggal di kampung.
Ketiga, puisi sama-sama mengusung renungan. Perbedaannya, Riri merefleksikan sunyi ‘lebih keluar’ yang dibenturkan dengan dimensi sosial. Sementara itu, Emi merefleksikan sunyi ‘lebih ke dalam’ yang dibenturkan dengan dimensi eksistensial.
Keempat, puisi tersebut sama-sama memakai diksi sunyi. Perbedaannya, Riri menjadikan sunyi sebagai subjek dan objek secara bergantian. Sementara itu, Emi menjadikan sunyi sebagai objek semata secara konsisten.
Demikianlah pola dan titik temu. Itulah kenapa juga, akhirnya buku ini diberi judul Algoritma Kesunyian. Alasan lainnya, kedua kata tersebut sekaligus juga mencerminkan brand masing-masing. Algoritma bagi Riri yang kita kenal begitu akrab dengan dunia IT dan digital. Kesunyian bagi Emi yang selama ini kita tahu begitu dikenal sebagai ‘penyair sunyi’ dengan trilogi buku puisinya.
Namun, sebenarnya algoritma dan kesunyian di antara keduanya bisa berkelindan saling meminjam dan bertukar tempat kapan saja. Berdasarkan alasan itulah juga, kenapa kemudian dalam penyusunannya, masing-masing puisi antara Riri dan Emi tidak dibuat terpisah dengan bab, tetapi dibuat selang-seling seolah saling bersahut-sahutan.
Dengan mengucap:“Puji Tuhan: Alhamdulillah!” buku ini kelar dan selamat menikmati. Semoga kerja kecil ini membawa manfaat yang besar! Bagaimana pun kesunyian memang perlu ditulis bukan diteriakkan, sebab kata WisÅ‚awa Szymborska:
“Saat aku mengucapkan kata Masa Depan, suku kata pertama sudah menjadi milik masa lalu. Saat aku mengucapkan kata Sunyi, sebenarnya aku telah menghancurkannya!”
Jakarta, 28 April 2023