Riri Satria Muda di Mata Ibunda - Sofyan RH. Zaid
Riri Satria Muda di Mata Ibunda
Sofyan RH. Zaid
Salah satu agenda komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) di Sumatera Barat, -selain menghadiri acara Temu Penyair Asia Tenggara II di Padangpanjang, Temu Wicara Tiga Perempuan Penyair dan Silaturrahmi Puisi Jam Gadang di Bukittinggi-, adalah berkunjung ke Ibunda Riri Satria selaku ketua JSM, di kota Padang (04/12/2022).
Agenda ini dilakukan sesaat sebelum kami (Riri Satria, Nunung Noor Elniel, Emi Suy, Rissa Churria, Gambuh R Basedo, Dhe Sundayana Perbangsa, Erna WInrasih Wiyono, Andi Jusiman Dessirua, dan saya) sebagai full team JSM bertolak ke Bandara.
Di rumah yang berjarak 30 menit ke Bandara Internasional Minangkabau, tepatnya di Air Tawar tersebut, kami disambut begitu hangat oleh Ibunda beserta sebagian keluarganya.
"Kita makan sedikit nasi saja ya di sini, perbanyak lauk saja, sebab Mami katanya sudah menyiapkan Bubur Kacang Ijo di rumah, " warning Bang Riri di RM Pauh Piaman yang disambut tawa oleh kami sebelum sampai rumah.
Di rumah Ibundanya, Hj. Rohida Yetti kelahiran tahun 1942 tersebut, Bang Riri memperkenalkan kami satu persatu, terutama yang berkunjung untuk pertama kalinya. Perempuan berjilbab yang berusia 80 tahun lebih tersebut masih terlihat cantik dan sehat dengan wajah yang selalu berhias senyum, terutama saat bertutur.
Sambil menikmati Bubur Kacang Ijo (atau Bubur Kacang Padi istilah di Padang) dan aneka hidangan, Ibunda Bang Riri juga menyuguhkan kenangan.
"Riri ini waktu TK sangat pemalu, alias bukan anak yang berani," tuturnya yang disambut senyum-senyum oleh kami. Sementara Bang Riri seperti mati kutu di samping ibundanya. Dia tak berkutik. Benar kata, John F Kennedy, bahwa sehebat-hebatnya orang, dia bukan siapa-siapa di hadapan ibunya.
"Dia mulai terlihat berani itu saat sudah SMP," lanjutnya.
"Saat SMP, apa Bang Riri jadi nakal, Bu?" Tanya saya.
"Iya, dia nakal. Dia banyak di luar rumah bersama teman-temannya, sekalinya pulang, biasanya bawa rombongan."
"Hahahha," kami sambut tawa.
"Dibanding adiknya, Riki yang perlente dan tertutup, Riri ini lebih merakyat dan banyak teman. Riri ini sejak muda memang suka berorganisasi," kata Ibunda.
"Iya, saya dulu aktif di Osis, dan sempat menjadi ketua pelaksana beberapa kegiatan," Bang Riri menimpali.
"Selain itu," sambung Ibunda, "yang membuat kami aneh adalah dia ini suka puisi. Dia selalu tampil baca puisi di acara sekolahnya,"
Bang Riri terlihat senyum-senyum. Kemudian dia menunjuk ke pojok, di mana piala-piala berdiri.
"Selain puisi, saya juga menulis esai. Itu piala-piala saya pernah juara lomba penulisan esai tingkat nasional saat SMA, baik yang diadakan LIPI atau Majalah Kartini. Saya juga pernah juara esai soal komputer tingkat internasional di Jepang saat jadi mahasiswa."
Obrolan terus berlanjut dan bergulir sebagaimana air. Berdasarkan paparan Ibunda, saya jadi tahu bahwa Bang Riri sejak muda memang suka organisasi, banyak teman, atau 'merakyat' dalam istilah ibunda, dan menyukai puisi serta esai. Suatu informasi unik yang saya tahu, bahwa Riri Satria yang sekarang telah dimulai sejak dia muda.
Sebenarnya, masih banyak hal yang ingin saya tanya pada Ibunda, tetapi waktu kian mendekat pada jam boarding pesawat. Akhirnya, kami pamit untuk jalan ke Bandara.
Di mobil, sesaat sebelum berangkat dan Bang Riri masih ngobrol dengan maminya di beranda, Mbak Nunung sebagai ketua rombongan berkata pada kami:
"Hei, ternyata, khas Uda yang tersenyum sepanjang ngomong itu, menurun dari maminya ya..."
"Iya, ya bener...," sambut kami.
Dengan berat hati dan perut, di bawah gerimis, Toyota Hiace yang membawa kami melaju ke arah Bandara dan kantuk pun mulai garang menyerang sebab kekenyangan.