Petualangan di Jakarta - Shenaeliandra Permana
Petualangan di Jakarta
Shenaeliandra
Permana
Di suatu pagi yang
cerah, Tima akhirnya sampai di sebuah terminal bus. Ia berencana untuk memberi
kejutan kepada sahabat penanya, Haliza. Sebenarnya ia belum pernah bertemu
dengan Haliza secara langsung, tetapi Tima percaya bahwa ia pasti bisa bertemu
dengannya. Tima pertama kali mendapat surat dari Haliza saat ia masih bangku
SMP. Haliza adalah anak kota yang tinggal di Jakarta, dia sering kali
menuliskan tentang asyiknya tinggal di Jakarta. Dan dari situlah Tima
termotivasi untuk datang menjumpai Haliza dan menikmati kota Jakarta.
Ini pertama
kalinya Tima datang ke Jakarta, dan karena itulah ia mengalami banyak masalah.
Dia tersesat di sebuah tempat yang ramai dan sesak. Kemudian ia bertemu dengan
seseorang yang menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. Siang harinya Tima
tidak sengaja merusak sesuatu yang membuatnya harus membayar benda yang rusak
itu. Setelah itu, tas Tima dicuri oleh sekelompok anak kecil, membuatnya harus
berlari mengejarnya agar mendapatkan tasnya kembali.
Hari yang begitu
melelahkan, Tima tidak pernah selelah ini sebelumnya. Dan lagi ia belum
menemukan jalan yang tepat menuju alamat rumah sahabatnya itu. Ia pun duduk di
bangku taman untuk istirahat. Lalu datanglah seorang pria tua yang juga duduk
di sebelahnya.
“Permisi Nak, apa
kamu baru pertama kali ke Jakarta ini?” tanya si pria itu.
“Eh, iya Pak, saya
dari Sindanglaut,” ujar Tima dengan gugup.
“Sindanglaut ya,
... Memang Nak mau pergi ke mana?” pria itu bertanya lagi.
“Saya mau pergi ke
rumah sahabat saya yang ada di sini,” jawab Tima sambil menunjukkan alamat
rumah Haliza.
Setelah
membacanya, pria itu diam tertegun. Lalu tersenyum kepada Tima.
“Kamu tinggal
mengikuti jalan itu, nanti ada papan yang bertuliskan alamat yang kamu tulis
itu.” Pria itu mengatakannya sambil tangannya menunjuk ke arah timur.
“Benarkah demikian
itu Pak? Kalau begitu saya permisi ya Pak. Terima kasih banyak atas bantuan
bapak.” Tima pun dengan semangat segera bangun dari tempat ia duduk. Tapi
sebelum Tima pergi, pria tua itu menyarankan untuk membawa bunga. Tima pun
mengangguk iya dan pergi meninggalkan pria itu dengan senyum.
Tima benar-benar
senang hari ini, ia tidak sabar ingin bertemu dengan Haliza dan menceritakan
semua yang terjadi padanya. Dengan membawa seikat bunga, ia pun menikmati
petualangannya di Jakarta.
Saat ia tersesat
tadi, ia tidak sadar bahwa dirinya sedang berada di tengah keramaian di Pekan
Raya Jakarta (PRJ). Di sana ia sangat menikmati makanan khas kota ini, yaitu
Kerak Telor. Lalu melihat berbagai acara kesenian yang menghibur mata. Dan juga
Tima mempelajari berbagai hal unik tentang Jakarta.
Setelah Tima
berhasil keluar dari keramaian PRJ, ia salah naik bus dan tersesat di suatu
tempat. Ketika ia bertanya kepada seseorang berambut pirang, Tima tidak
mengerti apa yang orang itu katakan. Untung saja ada seorang pemandu wisata
yang sedang bertugas. Tima pun belajar bahasa baru dari orang asing itu.
Pemandu wisata pun memandu Tima ke sebuah tempat yang disebut Monumen Nasional.
Di sana terdapat sejarah pejuang Indonesia yang berusaha untuk mendapatkan
kemerdekaan republik Indonesia. Tima pun belajar banyak dari monumen itu.
Setelah itu Tima
pun diberi petunjuk oleh pemandu itu ke jalan alamat Haliza yang benar. Di
perjalanan ia tidak sengaja menabrak seseorang sehingga barang yang ia bawa pun
jatuh dan pecah. Tima harus mengganti benda tersebut dengan harga mahal karena
benda itu sangat langka. Benda itu
adalah salah satu dari alat musik tradisional Betawi. Namun Tima tidak
dimarahi, justru ia diajari cara memainkan alat itu. Sungguh mengagumkan.
Pada siang hari
yang sangat panas, ketika Tima ingin membeli minum, ada sekelompok anak-anak
yang mengepungnya lalu mengambil tasnya. Anak-anak itu kabur membawa tas
tersebut, Tima pun mengejar mereka. Berlari saat teriknya matahari sangat
melelahkan, untungnya anak-anak itu menyerah dan mengembalikan tasnya, lalu
mereka menunjukkan sesuatu kepada Tima. Sebuah pemandangan yang menyedihkan
karena anak-anak ini harus tinggal di tempat yang kotor dan penuh dengan
penyakit. Tima merasa kasihan kepada mereka, akhirnya dia mengajak semua
anak-anak itu untuk makan di sebuah warung makan. Mereka terlihat sangat
menikmatinya, dan itu membuat Tima merasa senang juga.
Tanpa Tima sadari
akhirnya ia sampai di alamat rumah Haliza, ia melihat tulisan yang ada di papan
pagar itu lalu menyamakannya dengan yang ada di tulisan.
“Ini alamatnya,”
kata Tima dengan bangga.
Tapi, ada yang
membuat hatinya menjadi resah. Tima melihat sekeliling tempat itu, banyak
sekali makam. Tima berpikir kalau Haliza tinggal bersama keluarganya di sini
untuk menjaga tempat makam ini.
“Neng, cari apa
Neng?” tanya seseorang di belakangnya yang membuat Tima kaget.
“Eh, maaf ya Neng.
Kaget ya? Saya Rian, penjaga tempat makam ini, ada yang bisa saya bantu?” tanya
pria muda itu kepada Tima.
“Saya mau bertemu
dengan Haliza, apa dia ada?” mata Tima pun terbinar-binar ketika menanyakannya.
“Oh, si manis, ada
kok. Mari ikut saya!” Tima pun mengikuti Rian menuju tempat Haliza berada.
Rian pun berhenti
di depan sebuah makam, Tima pun melihat makam itu juga. Betapa mengejutkannya
Tima ketika ia tahu bahwa makam itu adalah makam sahabat penanya. Air mata pun
jatuh membasahi pipinya. Kini Tima mengerti kenapa pria itu menyarankannya
membeli bunga, yang ternyata bunga itu untuk Haliza. Tima terus menangis meratapi
kesedihannya. Sesuatu yang buruk telah ia lakukan terhadap Haliza.
Ia menyesal karena
membalas surat terakhir Haliza dengan cara yang lain.
“Hai
Tima, apa kabar? Aku senang masih dapat membalas suratnya, aku harap aku dapat
bertemu denganmu. Lalu kita dapat menceritakan segalanya. Aku janji kalau kamu
membalas suratnya, aku akan bercerita lebih banyak lagi tentang Jakarta. Aku harap kamu membalas
surat ini secepat mungkin, salam Haliza.”
“Padahal, hiks ...
Aku ... Hiks, ingin menceritakan petualanganku ... Maafkan aku, Haliza.” Tima
pun berharap ucapannya itu terdengar oleh Haliza.