Misi Rahasia - Lu’lu Silmiyya
Misi Rahasia
Lu’lu Silmiyya
Matahari mulai menampakkan dirinya. Langit yang tadinya
berwarna hitam berubah menjadi biru. Udara segar pagi hari pun terasa
sejuk. Banyak orang yang sudah memulai aktivitasnya. Di Hotel
Indonesia, terdapat tiga gadis yang sedang menunggu di depan pintu masuk. Sebut saja, Carole,
Veronica, dan Sabrina. Mereka merupakan murid International Detective School (IDS) yang berada di Inggris. Hari ini mereka berencana untuk pergi ke
Museum Fatahillah yang terlerak di Jalan Taman
Fatahillah, Jakarta Barat. Untuk
transportasinya, mereka memesan taksi. Beberapa menit kemudian, taksi yang mereka pesan pun datang, beberapa menit dilalui dan sampai di
tempat tujuan mereka.
“Aku seperti pernah melihat bangunan ini, di
mana ya?” tanya Vero berhenti di depan Museum Fatahillah.
“Bukannya seperti Istana Amsterdam,” balas Calore.
“Ah iya, kau benar,” tanya Vero.
“Mau sampai kapan kalian berdiri di situ?” tanya Ina yang berada di depan mereka.
Mereka berdua pun segera berlari ke arah Ina dan masuk ke
Museum Fatahillah.
“Kalian sadar tidak, di depan tadi ada tulisan Gouvernours kantoor yang artinya Kantor Gubernur?” tanya Ina.
“Benarkah? Aku tidak menyadarinya,” ucap Vero.
“Iya, ada kok di depan. Mungkin karena ini siang hari jadi tidak begitu
kelihatan,” jawab Ina.
“Bangunannya terlihat masih bagus, meskipun kau pernah
bilang gedung ini sudah berdiri lumayan lama,” kata Vero.
“Sebenarnya bagunan ini sudah beberapa kali dibongkar,” Jawab Ina.
“Ina, kau tau lumayan banyak ya?” tanya Carole.
“Tentu saja, dia kan orang Indonesia,” balas Vero.
“Mau dengar ceritanya tidak?” tanya Ina semangat, soalnya
dia paling suka jika menceritakan tentang Indonesia.
“Mau!!” ucap Carole dan Vero dibarengi dengan antusias, mereka menyukai sejarah dari negara
lain.
“Pada awal mulanya, balai kota pertama di Batavia
dibangun pada tahun 1620 di tepi timur Kali Besar. Bangunan ini
hanya bertahan selama enam tahun sebelum akhirnya dibongkar demi menghadapi
serangan dari pasukan Sultan Agung pada tahun 1626.”
“Nah, setelah itu terjadi bagaimana bangunan ini ada
sampai sekarang?” tanya Vero.
“Nah, sebagai gantinya, dibangunlah kembali balai kota
tersebut atas perintah Gubernur-Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1627.
Lokasinya berada di daerah Nieuwe Markt, atau sekarang disebut Taman Fatahillah,” jawab Ina.
“Ina, biasanya kan setiap gedung punya sisi gelapnya
masing-masing tuh? Nah kasih tau dong!” pinta Vero.
“Kebiasaan baca novel genre misteri ya jadi begini deh,”
timpal Carole membuat Ina tertawa.
“Memangnya kau tidak, Carole? Ina kau juga suka novel
misteri kan? Malah kau lebih parah denganku, sampai di sekolah mendapat julukan
‘Tuan Putri
Misteri’ bahkan
ada juga yang bilang ‘Nona Maniak Misteri’,” tambah Vero.
“Terserah kau saja lah, Vero. Jadi kuceritakan tidak?”
tanya Vero dan diangguki mereka berdua.
“Pada zaman penjajahan Belanda, Museum Sejarah Jakarta adalah Balai Kota Batavia yang merupakan pusat aktivitas rakyat pada
abad ke 17-19. Selain itu bangunan ini tempat pelaksanaan hukuman mati dan
pembantaian massal. Tempat ini merupakan salah satu saksi bisu
dari pemerintahan yang brutal,” Setelah menyelesaikan kalimat terakhir, wajah Ina pun
berubah menjadi sedih.
“Ina, jangan menangis,” hibur Vero.
“Ina, tadi kau bilang hukuman mati kan? Berarti di sini
ada penjara bukan?” tanya Carole.
“Ya, tepatnya di bawah tanah,” Jawab Ina. Setelah itu mereka pun sepakat untuk datang ke penjara bawah tanah, yang
beberapa orang bilang itu angker.
“Udara di sini terasa aneh ya, walau aku mengerti
penyebabnya apa,” ucap Vero ketika sampai di penjara bawah tanah.
“Ya. Dahulu di sini diisi 500 tahanan setiap satu bui,
mereka tak diberikan makanan bahkan kadang disiksa dan akhirnya mereka pun mati,”
jelas Ina.
“Cerita yang sangat tragis, semoga arwah korban diterima oleh
Tuhan YME,” ucap Vero, lalu mereka bertiga
pun berdoa dengan kepercayaan masing-masing.
“Ina, luas bangunan ini berapa?” tanya Carole.
“Mungkin sekitar 1.300 meter persegi,” jawabnya.
“Terima kasih atas informasinya nona,” ucap seseorang.
Carole, Vero, dan Ina yang merasa familiar dengan suara itupun menoleh ke
sumber suara, “Runa!” ucap mereka kompak. Ya, sama seperti mereka Runa
merupakan siswi IDS, entah apa yang membuatnya datang ke sini.
“Kenapa kau datang ke sini?” tanya Carole.
“Ini,” ucap Runa sambil menunjukkan sebuah pesan di
ponselnya,
Ku tunggu jam 10 pagi di Gedung Arsip Nasional, tempat
kejahatan yang baru akan segera dimulai.
Tertanda,
Yoranda H. |
“Ini surat tantangan untuk kita. Kali ini aku pasti akan
menangkapnya. Runa, Sekarang pukul berapa?” tanya Ina.
“Pukul 09.30,” jawab Runa.
“Ayo, berangkat!” ajak Ina.
Mereka pun
langsung berangkat menuju Gedung Arsip Nasional. Untung saja jalanan tidak
macet, jadi mereka bisa sampai lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Setelah
berpuluh-puluh kilometer dilewati dan akhirnya mereka pun sampai di Gedung Arsip Nasional.
“Sepertinya acara sudah dimulai,” ucap Runa. Ia pun
menghela napas kesal, untung saja hanya terlambat 5 menit, ya--- meskipun lebih bagus kalau tepat waktu sih.
“Lihat! Ada garis polisi, sepertinya itu adalah tempat kejadiannya,” tunjuk Carole, mereka pun langsung menuju ke arah garis polisi.
“Apa yang kalian lakukan di sini? Tempat ini berbahaya! Kembalilah ke tempat evakuasi,” ucap Inspektur polisi yang mempunyai nametag bertuliskan Ridwan M.
“Boleh kami menyelidikinya? Kami ini detektif,” pinta
Carole.
“Kalau kalian mau bermain detektif silahkan saja, tapi
jangan di situasi seperti
ini. Sekalipun kalian memang detektif, mungkin kalian hanya detektif amatiran
saja. Jangan terlalu menghayal. Dasar bocah!” ucap Pak Ridwan.
Runa menghela nafas, mencoba mengendalikan emosinya lagi pula
tak ada gunanya jika ia marah-marah. Polisi itupun tak akan percaya juga, dan akhirnya ia
mengambil langkah tercepat yang ada, “Pak, kami dari IDS. Boleh kami memeriksa
daerah TKP?” tanyanya. Dan seperti yang ia duga, polisi itu membolehkannya
memasuki area TKP.
“Apa yang terjadi di sini Pak?” tanya Ina.
“Salah satu dokumen penting hilang, dan kami menemukan
sebuah kode aneh. Mungkin kalian bisa memecahkannya.” ucap Pak Ridwan
memberikan kertas tersebut.
“Sepertinya ada seseorang yang melihat pelakunya, ia
ingin memberitahu polisi, tapi Yoranda menyadarinya. Jadi sebelum dia kabur,
dia membuat kode berharap ada yang menangkapnya,” jelas Carole.
“24, 1006, negara?” ucap Ina bingung. Otaknya pun
berpikir lebih keras dari biasanya, mencoba mencari tau arti kode tersebut.
“Ah! Vero, coba cek jarak dari sini ke stasiun terdekat
di map!” perintah Ina.
“Stasiun Duri 2,4 KM.” ucap Vero.
“Ketemu! Maaf, Vero tadi stasiun apa?” tanya Ina lagi,
sepertinya dia habis menemukan petunjuk kedua.
“Duri 2,4 KM,” terangnya lagi.
“Semuanya sudah terhubung. Semua misteri terpecahkan,”
ucap Ina senang.
“Bukannya itu dia?” kata Runa di depan pintu masuk
stasiun. Tanpa pikir panjang, mereka mengejarnya dan acara kejar-kejaran pun
tak terhentikan.
Pada akhirnya mereka berhasil mengambil dokumen itu,
namun sayangnya Yoranda kabur menggunakan bom asap. Beberapa hari kemudian
mereka harus kembali ke IDS.