Khayalan Aiden Untuk Jakarta - Daiva Putri A.
Khayalan
Aiden Untuk Jakarta
Daiva Putri A.
WUSH!
Tiba-tiba ada kilatan putih yang membuatku harus menutup mataku agar tidak
kesilauan dan muncul seorang laki-laki berdiri di hadapanku. Ia memakai sarung
batik yang diselempangkan di lehernya dan peci hitam di atas kepalanya.
“Siapa kamu?” tanyaku kepada orang yang berdiri di hadapanku dengan
tubuh yang besar dan tegap itu.
“Elu enggak kenal gua?” ucap orang dihadapanku, namun aku
hanya
menjawab dengan gelengan kepala.
“Gua Si Pitung, siapa nama elu?”
“Aku Aiden.” aku menjawab. Orang dihadapanku ini tiba-tiba muncul di
kamarku saat aku sedang bermain playstation
di malam hari.
“Ayo ikut gua, Tong!” laki-laki itu menggenggam tanganku,
“Kau ingin membawaku kemana? Kau pasti penyihir!” ujarku kesal.
Laki-laki itu hanya tersenyum lalu menggeleng.
“Tidak, percaya sama gua. Gua bukan penyihir, gua enggak bakal menculik
elu, ayo ikut!” laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku, aku
ragu-ragu menyerahkan tanganku padanya hingga sudah berada di genggamannya.
Tiba-tiba sebuah portal berada di hadapan kami, laki-laki tersebut berjalan
memasukinya disusul olehku.
WUSH! Seketika di hadapan kami ada sebuah rumah yang tidak kukenal.
“Ini rumah gua, ayo masuk!” laki-laki itu mengajakku masuk ke rumahnya,
saat sudah berada di dalam laki-laki itu tiba-tiba berteriak.
“Assalamualaikum! Nyak, Babeh, aye
pulang!”
“Waalaikumsalam, eh Tong sama
siape?” seorang ibu berusia separuh abad
datang menghampiri kami.
“Ini temen Pitung, Enyak masak
ape?” tanya ibunya Pitung.
“Ini Enyak masakin nasi ulam, ayo
dimakan!” ibunya Pitung mengajak kami makan dan ia kembali ke dalam rumah.
“Elu belum pernah makan nasi ulamkan?” tanya Pitung yang kujawab dengan
gelengan kepala.
“Sekarang elu harus memakannya, ini enak.” Setelah Pitung berkata
seperti itu, tidak lama kemudian ibu Pitung kembali sembari membawa dua piring
dan memberikannya
kepada kami.
“Ayo dimakan!” pinta ibu Pitung
yang kujawab dengan anggukan.
“Ini
namanya nasi ulam basah karena memakai kuah yang gurih, ini ada daun kemangi ,
sambal, dan kacang yang udah ditumbuk. Rasanya enak dan dijamin bikin elu ketagihan.” Setelah
Pitung menjelaskannya ia langsung memakannya. Aku ragu-ragu memakan makanan itu,
namun setelah aku mencobanya, rasanya benar-benar enak dan aku pun melahap
dengan nikmat.
Selesai makan, Pitung menjelaskan sesuatu padaku.
“Elu itu sudah hidup di zaman yang enggak perlu melawan pake
senjata, sekarang elu tinggal belajar saja, tapi elu malah malas-malasan.” Aku
menundukkan kepalaku saat mendengarnya, karena kemajuan teknologi aku semakin
lupa akan kewajibanku sebagai pelajar yaitu belajar.
“Zaman gua ini adalah melawan penjajah, dan tugas elu
adalah menjaga tanah kite sampai titik darah penghabisan.”Aku menyimak dengan
seksama walau aku sepenuhnya tidak paham apa yang dimaksud dengan yang Pitung katakan,
hingga tiba-tiba suara tembakan terdengar dari luar rumah. Tidak lama disusul
oleh suara orang yang berteriak.
“PITUNG KELUARLAH! SEBELUM KAMI MENGHANCURKAN RUMAHMU !” teriakan dari
luar membuat kami keluar dari rumah dan melihat beberapa orang yang membawa
senjata.
Pitung langsung mengambil posisi kuda-kuda dan bersiap menyerang mereka.
Para serdadu belanda itu beranggotakan tujuh orang dengan badan yang kekar.
“Ayo, maju!”
ujar
Pitung dengan santai lalu berlari ke arah para serdadu tersebut, Pitung
mampu menghindar peluru yang ditembakkan oleh serdadu. Pitung mengeluarkan golok dari ikat pinggangnya dan
menikam beberapa anggota tubuh serdadu hingga empat serdadu jatuh tersungkur. Kini Pitung berhadapan dengan tiga serdadu
sisanya.
“Allahuakbar!” teriak Pitung yang langsung melompat ke arah pemimpin serdadu
tersebut, namun salah satu dari mereka melemparkan telur yang berbau amat busuk
ke arah Pitung, tidak lama serdadu yang memegang senapan menarik pelatuknya mengarah
Pitung. Tiga peluru yang terlihat berwarna emas melesat cepat mengenai tubuh
Pitung.
Tiba-tiba ada peluru yang
mengarah ke arahku, aku tidak bisa
bergerak seakan-akan menjadi kaku dan aku hanya bisa menutup mataku dan
terbangun di atas kasur empukku. Namun, kilatan putih yang sangat terang membuatku merenggang kesakitan karena kilatan putih itu
seakan-akan menusuk kulit.
Sekejap aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling dan melihat warna-warna yang
cerah bersatu padu dan membuatku sadar sudah berada di sebuah tempat yang
berbeda dari sebelumnya.
“Elu enggak apa-apa?” suara laki-laki membuatku mengerjapkan mata
berkali-kali hingga aku bisa melihat siapa sosok orang tersebut. Laki-laki
ini berpakaian tidak jauh berbeda dari Si Pitung yang kutemui, hanya saja
tubuhnya sedikit lebih gemuk dibanding Si Pitung.
“Aku tidak apa-apa, tapi siapa kau?” tanyaku penasaran. Laki-laki yang
tingginya tidak jauh berbeda dariku tersenyum lalu berkata.
“Aye Doel anak Betawi, elu sudah ketemu sama Pitung kan?” tanyanya, aku
pun mengangguk dan berkata.
“Tapi mengapa kita tidak menolongnya? Aku hampir saja menolongnya dari
para serdadu
itu!” aku sedikit berteriak ke arahnya karena kesal tidak bisa membantu Pitung.
“Kite engga bisa mengubah takdir, yang berlalu biarlah berlalu
dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran untuk di masa depan. Omong-omong,
siapa nama elu, Tong?” laki-laki itu bertanya dengan senyuman yang
ia pamerkan padaku.
“Aku Aiden.” jawabku singkat. Laki-laki itu tertawa lalu berkata.
“Aiden. Ayo ikut aye!” laki-laki yang bernama Doel itu berjalan
mendahuluiku.
“Bagaimana dengan Pitung? Apa dia akan baik-baik saja?” aku bertanya
dengan tidak sabaran, Doel pun berhenti melangkah dan menjawab pertanyaanku.
“Die meninggal setelah bertarung dengan para serdadu
itu Aiden, kite enggak bisa menolongnya karena sudah takdirnya untuk meninggal
di saat itu juga.” Doel menjawab dengan suara yang sedikit serak, auranya
menjadi suram.
“Maaf, aku sungguh tidak tahu hal itu.” aku menunduk dan merasa
bersalah.
“Engga apa-apa, itu hanyalah masa lalu, ayo!”
“Kita akan kemana?” tanyaku sambil berjalan beriringan dengannya.
“Ikut saja.” Doel menarik tanganku dengan cepat dan berlari di pinggir
jalan. Aku memperhatikan sekitar, terlihat asri. Doel
berhenti di sebuah kendaraan yang bernama oplet.
“Ayo masuk, mumpung lagi gratis.” Aku hanya menanggapinya dengan tertawa
ringan. Aku duduk di samping pengemudi dan oplet berwarna biru pun berjalan
menyusuri jalan Jakarta yang belum padat dengan kendaraan. Angin semilir
wajahku dengan lembut. Siapa sangka, Jakarta tempo dulu lebih asri dan
menyenangkan. Beberapa saat oplet memasuki pedesaan, di kanan maupun di kiri
terlihat persawahan yang asri. Cahaya terik tidak memudarkan semangat para
petani menanam padi. Tidak lupa dengan caping yang setia menemani petani dari
teriak matahari yang menyengat kulit.
“Kita akan kemana?” tanyaku pada Doel yang sedang mengemudi oplet biru
muda.
“Ke tempat di mana elu bisa ketemu sama Pitung.”
“Sungguh?! Bukankah katamu Pitung sudah…” aku sedikit ragu-ragu untuk
mengatakan kalau Pitung sudah meninggal dunia, tetapi Doel akan membawaku ke
Pitung. Belum kebingunganku selesai, Doel pun berkata dengan nada bercanda.
“Ya, kite ke makam Pitung. Elu pasti berpikir bahwa Pitung masih hidup
kan?” lalu Doel tertawa ringan, aku hanya tersenyum simpul lalu memandangi
pesawahan yang hijau. Selama perjalanan, aku hanya memandangi suasana di luar
jendela. Sesekali ada rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu gowok yang di
cat warna kuning kami lewati hingga kami berhenti di sebuah lapangan terbuka.
“Ayo turun!” ajak Doel sambil turun dari oplet yang disusul olehku.
“Di mana makamnya?” tanyaku sambil mengedarkan pandanganku
pada lapangan yang rumputnya sudah mulai menguning.
“Di sana.” Doel menunjuk di salah satu gedung yang hampir selesai
didirikan.
“Maksudmu di dalam gedung itu? Kau pasti bercanda.” ujarku sambil
menggelengkan kepala tidak percaya. Namun Doel tidak mendengarkan perkataanku,
ia berjalan mendahuluiku. Aku pun mempercepat langkahku sehingga kami berjalan
berdampingan. Hanya suara kicauan burung gereja dan gesekan antar daun dari
angin menemani setiap langkah kami hingga Doel tiba-tiba berhenti melangkah.
“Ada apa?” tanyaku pada Doel.
“Kite sudah sampai di makam Pitung, Aiden.” ujar Doel sambil menundukkan
kepalanya.
“Dimana? Tidak ada pemakaman di sini.”
“Ini makamnya Pitung, Aiden.” Doel menunjuki tanah rata berwarna coklat,
ada beberapa batu kali yang membentuk persegi panjang. Tidak ada papan nama
ataupun sebuah batu nisan. Hanya batu kali yang menghiasi makamnya dan pohon
bambu di sisi kanannya.
“Tetapi mengapa tidak ada batu nisan atau papan nama?” tanyaku
penasaran.
“Biar orang-orang tidak mengkeramatkan makamnya dan memberinya
sesembahan untuk menerima ilmu kekebalan Pitung.” Doel menjelaskan. Aku menatap
sedih ke arah makam Pitung, aku tidak bisa berbuat banyak untuk
menyelamatkannya, tetapi aku juga tidak bisa melawan takdir.
“Aiden.” tiba-tiba Doel memanggilku, sontak aku menoleh ke arahnya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Jangan membuat perjuangan Pitung sia-sia hanya karena elu bersedih
enggak bisa nolong Pitung. Lebih baik elu melanjutkan perjuangannya.” Doel menatap kosong ke arah makam Pitung.
“Dengan cara?” Doel menoleh ke arahku lalu tersenyum lembut.
“Elu pelajar bukan? Kewajiban seorang pelajar adalah belajar, buat orang
tua elu yang telah membesarkan elu dengan kasih sayang dan Pitung salah satu
pahlawan rakyat kecil bangga melihat elu berprestasi.” Aku menatap lekat wajah
Doel, Doel benar-benar menaruh harapan untukku. Aku pun mengangguk semangat,
keputusanku telah bulat. Aku akan berusaha belajar dan meraih prestasi agar kasih sayang orang tuaku dan perjuangan Pitung tidak
sia-sia.
“Doel, aku harus pulang. Aku takut terlambat untuk masuk sekolah.” aku
teringat bahwa aku akan masuk sekolah setelah liburan panjang. Doel pun langsung
tertawa ringan.
“Ayo, naik oplet nanti aye antar ke rumah.” Doel hendak melangkah pergi
namun aku menahannya.
“Tapi jangan membuat oplet itu berada di dalam kamarku.” ujarku
bercanda. Aku dan Doel tertawa lalu melangkah pergi menuju oplet biru muda.
Dalam hatiku aku bersumpah akan menjaga tanah airku dengan segenap hati dan
akan membanggakan Indonesia dengan prestasiku yang akan kuraih nantinya. Siapa
sangka, mungkin lima atau sepuluh tahun kemudian aku menjadi pemimpin Negara
ini.
* * * * *
Jakarta, 20 Mei 2019