Seni Seniman dan Masa Depan - Mochtar Lubis
Seni Seniman dan Masa Depanoleh Mochtar Lubis
KAWACA.COM | Sejak diterbitkannya buku laporan Club of Rome yang menyebutkan bahaya-bahaya akan habisnya sumber-sumber alam dan polusi terhadap lingkungan hidup yang sudah mulai terjadi di berbagai bagian dunia, maka ramailah orang mengintai hari depan, dan selama tahun-tahun terakhir telah berkembang suatu disiplin baru yang dinamakan 'futurologi” — pengkajian hari depan — dengan ahli-ahli pengkaji hari depan pula.
Sebagai dikatakan oleh Takdir Alisjahbana, selama ini pengkaji hari depas hanya memusatkan perhatian mereka pada masalah sumber alam, ekologi, kependudukan, perkembangan sosial dan politik, tetapi belum pernah ada yang mengkaji persoalan seni dan masa depan dan masalah nilai-nilai masa depan.
Karena itu patut sekali kita sambut baik prakarsa Takdir Alisjahbana dari Akademi Jakarta, yang mendapat dukungan penuh oleh Akademi Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta dan mendapat pula bantuan dan dukungan dari berbagai pejabat dan jawatan pemerintah, serta dan berbagai kaIangan di luar negeri, untuk menyelenggarakan di Indonesia sebuah konferensi internasional pertama mengenai seni dam hari depan dari tanggal 8 hingga 15 Juli 1978. Di antara masalah yang hendak dikaji dalam hubungannya dengan masa depan adalah Seni sebagai sebuah pengalaman dan pandangan masa depan, Identitas kebudayaan dan Masa Depan Seni, Men. cari nilai-nilai masa depan dan Seni masa depan, Seni Tradisionil dan Masa Depan, Seni Modern dan Seni Masa Depan.
Dalam brosur yang dikeluarkan oleh Panitia Indonesia, penyelenggara konperensi ini (yang bekerja sama dengan Federasi Sedunia Pengkajian Masa Depan yang berpusat di Roma), disebutkan bahwa tujuan utama konperensi pada tingkat pertama ini adalah untuk menghimpun seniman, para ahli teori seni, para pengkritik seni dan pemikir kemasyarakatan dan kebudayaan dari berbagai bagian dunia untuk melakukan pembicaraan permulaan, dan bersama-sama memikirkan situasi seni sekarang dan kemungkinan peran dan sumbangan seni untuk membentuk masyarakat dan kebudayaan yang sedang tumbuh sebagai akibat dari daya pengintegrasian dan penyamaan peradaban industri masa kita.
Kita harus mengakui, demikian brosur tersebut mengatakan, bahwa dalam perkembangan dunia modern sejak masa Renaisans, meskipun telah dilakukan banyak eksperimen, renovasi dan keberhasilan dalam konsep, gaya dan isi, peran dan makna seni dalam rangka totalitas masyarakat dan kebudayaan secara berangsur-angsur telah mengundurkan diri dari inti kehidupan sosial dan kebudayaan. Dalam banyak hal semi modern masa kita telah tiba pada jalan buntu komersialisme penuh dengan seks dan kekerasan, eksperimentalisme yang amarkitis, penyisihan diri yang esoterik, dan absurdisme bermain-main saja.
Selanjutnya dikatakan bahwa kita harus menyadari bahwa hari depan tidaklah semata terdiri dari fakta-fakta yang dapat dikaji melalui riset ilmiah yang positif, akan tetapi bari depan adalah sebuah impian, sebuah ambisi, yang masih harus dibentuk oleh imaginasi kita, intuisi kita dan daya cipta kita. Semua ini tak dapat disangkal adalah ciri-ciri sang seniman dan seninya.
Jika kita mengkaji kembali sumber seni dan nilai-nilainya (antara lain keterharuan, harmoni, sensualita, simetri:, perspektif, komposisi, struktur, warna, gerak, kasih dan keindahan, kebenaran, cahaya, daya cipta dan integritas), maka kita akan melihat, bahwa seni telah timbul, sebagai sesuatu yang pada permulaannya dirasakan oleh manusia diperlukan untuk menunjang kehidupannya sendiri. Pada permulaannya, seni timbul dari keperluan manusia pada 'sang kegaiban', dari naturinya untuk berkomunikasi dengan dan mengerahkan ”kekuatan-kekuatan sang gaib” untuk memenuhi keperluan-keperluan hidupnya. Ketika pemburu-pemburu di masa purba melukis binatang buruannya di dinding batu gua di Altamira (Spanyol) dan Lancaux (Prancis), dan orang Toala menstensil telapak tangan mereka di gua di Sulawesi Selatan, ini semua adalah untuk berkomunikasi secara demikian. Kemudian agama yang berkembang, baik Hindu, Budha:, Nasrani maupun Islam, maupun kepercayaan-kepercayaan kuno Mesir, Maya, Aztek, kemudian Shinto, dan sebagainya, semuanya telah mendorong pengucapan-pengucapan seni,
Jelaslah, bahwa dalam dunia kita kini, negara-negara berindustri maju ialah terenggut dari akar sumber-sumber seni dan nilai-nilai seninya (selain dari nilai-nilai yang telah saya sebut di atas, dapat pula ditambahkan bahwa mutu seni juga ikut ditentukan oleh mutu kegaiban yang mendorong ciptaannya itu, misteri dan inspirasinya, adanya keterharuan dan keperihan cipta kreatif), sedangkan masyarakat tradisionil, seakan telah membeku dalam seni tradisionilnya, di mana sang seniman seakan terkutuk hanya untuk melakukan ulangan belaka dari yang itu ke itu saja.
Tetapi kita melihat pula, bahwa dalam. masyarakat tradisionil ada juga seniman yarg berhasil menciptakan yang baru tanpa meninggalkan kerangka seni tradisionalnya, Saya teringat pada pemahat Bali almarhum Cokot, yang tiap ciptaannya adalah sesuatu yang baru dan lain dari yang telah diciptakannya, tetapi tetap berakar pada sumber-sumbernya yang adil.
Seni masa depan karenanya harus kembali pada sumber-sumber seni yang asli, yaitu pada kemanusiaannya, kembali pada nilai-nilainya yang membuat manusia memerlukan seni, dan seni bermakna bagi kehidupan manusia.
Seni memanusiakan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan berbagai organisasi dan lembaga masyarakat dan kekuasaan, seni harus mempunyai daya untuk membudayakan dan memanusiakan wajah kekuasaan, hingga kekuasaan tidak berwajah seekor harimau yang lapar dan ganas.
Sebagai dikatakan oleh Takdir Alisjahbana, selama ini pengkaji hari depas hanya memusatkan perhatian mereka pada masalah sumber alam, ekologi, kependudukan, perkembangan sosial dan politik, tetapi belum pernah ada yang mengkaji persoalan seni dan masa depan dan masalah nilai-nilai masa depan.
Karena itu patut sekali kita sambut baik prakarsa Takdir Alisjahbana dari Akademi Jakarta, yang mendapat dukungan penuh oleh Akademi Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta dan mendapat pula bantuan dan dukungan dari berbagai pejabat dan jawatan pemerintah, serta dan berbagai kaIangan di luar negeri, untuk menyelenggarakan di Indonesia sebuah konferensi internasional pertama mengenai seni dam hari depan dari tanggal 8 hingga 15 Juli 1978. Di antara masalah yang hendak dikaji dalam hubungannya dengan masa depan adalah Seni sebagai sebuah pengalaman dan pandangan masa depan, Identitas kebudayaan dan Masa Depan Seni, Men. cari nilai-nilai masa depan dan Seni masa depan, Seni Tradisionil dan Masa Depan, Seni Modern dan Seni Masa Depan.
Dalam brosur yang dikeluarkan oleh Panitia Indonesia, penyelenggara konperensi ini (yang bekerja sama dengan Federasi Sedunia Pengkajian Masa Depan yang berpusat di Roma), disebutkan bahwa tujuan utama konperensi pada tingkat pertama ini adalah untuk menghimpun seniman, para ahli teori seni, para pengkritik seni dan pemikir kemasyarakatan dan kebudayaan dari berbagai bagian dunia untuk melakukan pembicaraan permulaan, dan bersama-sama memikirkan situasi seni sekarang dan kemungkinan peran dan sumbangan seni untuk membentuk masyarakat dan kebudayaan yang sedang tumbuh sebagai akibat dari daya pengintegrasian dan penyamaan peradaban industri masa kita.
Kita harus mengakui, demikian brosur tersebut mengatakan, bahwa dalam perkembangan dunia modern sejak masa Renaisans, meskipun telah dilakukan banyak eksperimen, renovasi dan keberhasilan dalam konsep, gaya dan isi, peran dan makna seni dalam rangka totalitas masyarakat dan kebudayaan secara berangsur-angsur telah mengundurkan diri dari inti kehidupan sosial dan kebudayaan. Dalam banyak hal semi modern masa kita telah tiba pada jalan buntu komersialisme penuh dengan seks dan kekerasan, eksperimentalisme yang amarkitis, penyisihan diri yang esoterik, dan absurdisme bermain-main saja.
Selanjutnya dikatakan bahwa kita harus menyadari bahwa hari depan tidaklah semata terdiri dari fakta-fakta yang dapat dikaji melalui riset ilmiah yang positif, akan tetapi bari depan adalah sebuah impian, sebuah ambisi, yang masih harus dibentuk oleh imaginasi kita, intuisi kita dan daya cipta kita. Semua ini tak dapat disangkal adalah ciri-ciri sang seniman dan seninya.
Jika kita mengkaji kembali sumber seni dan nilai-nilainya (antara lain keterharuan, harmoni, sensualita, simetri:, perspektif, komposisi, struktur, warna, gerak, kasih dan keindahan, kebenaran, cahaya, daya cipta dan integritas), maka kita akan melihat, bahwa seni telah timbul, sebagai sesuatu yang pada permulaannya dirasakan oleh manusia diperlukan untuk menunjang kehidupannya sendiri. Pada permulaannya, seni timbul dari keperluan manusia pada 'sang kegaiban', dari naturinya untuk berkomunikasi dengan dan mengerahkan ”kekuatan-kekuatan sang gaib” untuk memenuhi keperluan-keperluan hidupnya. Ketika pemburu-pemburu di masa purba melukis binatang buruannya di dinding batu gua di Altamira (Spanyol) dan Lancaux (Prancis), dan orang Toala menstensil telapak tangan mereka di gua di Sulawesi Selatan, ini semua adalah untuk berkomunikasi secara demikian. Kemudian agama yang berkembang, baik Hindu, Budha:, Nasrani maupun Islam, maupun kepercayaan-kepercayaan kuno Mesir, Maya, Aztek, kemudian Shinto, dan sebagainya, semuanya telah mendorong pengucapan-pengucapan seni,
Jelaslah, bahwa dalam dunia kita kini, negara-negara berindustri maju ialah terenggut dari akar sumber-sumber seni dan nilai-nilai seninya (selain dari nilai-nilai yang telah saya sebut di atas, dapat pula ditambahkan bahwa mutu seni juga ikut ditentukan oleh mutu kegaiban yang mendorong ciptaannya itu, misteri dan inspirasinya, adanya keterharuan dan keperihan cipta kreatif), sedangkan masyarakat tradisionil, seakan telah membeku dalam seni tradisionilnya, di mana sang seniman seakan terkutuk hanya untuk melakukan ulangan belaka dari yang itu ke itu saja.
Tetapi kita melihat pula, bahwa dalam. masyarakat tradisionil ada juga seniman yarg berhasil menciptakan yang baru tanpa meninggalkan kerangka seni tradisionalnya, Saya teringat pada pemahat Bali almarhum Cokot, yang tiap ciptaannya adalah sesuatu yang baru dan lain dari yang telah diciptakannya, tetapi tetap berakar pada sumber-sumbernya yang adil.
Seni masa depan karenanya harus kembali pada sumber-sumber seni yang asli, yaitu pada kemanusiaannya, kembali pada nilai-nilainya yang membuat manusia memerlukan seni, dan seni bermakna bagi kehidupan manusia.
Seni memanusiakan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan berbagai organisasi dan lembaga masyarakat dan kekuasaan, seni harus mempunyai daya untuk membudayakan dan memanusiakan wajah kekuasaan, hingga kekuasaan tidak berwajah seekor harimau yang lapar dan ganas.