Sanu, Infinita-Kembar Novel Mistik-Falsafi Motinggo Busye - H. B. Jassin
Sanu, Infinita-Kembar Novel Mistik-Falsafi Motinggo BusyeH. B. Jassin
Cerita ini terjadi dalam tahun 1964--1965 ketika udara penuh dengan tempik sorak gegap gempita pihak komunis dan Lekra mengganyang orang-orang vang dianggap kontra-revolusioner, penganut-penganut humanisme universil dan Manifes Kebudayaan, dengan insinuasi-insinuasi dan fitnahan-fitnahan yang menimbulkan kegelisahan, ketakutan dan saling curiga dalam masyarakat, bahkan antara orang tua dan anak dan antara suami dan istri. Harian Rakyat. dengan ruangan kebudayaannya, Bintang Timur dengan ruangan Lentera yang dijenderali Pramoedya Ananta Toer, dengan gencar melontarkan tuduhan-tuduhan anti-revolusioner, anti—-Nasakom, antek kapitalis, agen CIA, pengkhianat bangsa, dan memuat nama-nama orang-orang yang harus diganyang dan dibabat, lengkap dengan alamat-alamatnya. Semuanya itu dengan maksud untuk mengintimidasi lawan-lawan demi mematangkan situasi perebutan kekuasan. Pihak kiri mengerahkan rapat-rapat raksasa untuk memperlihatkan kekuasaan, bahkan tidak segan-segan mengatur demonstrasi untuk mendatangi kedutaan-kedutaan dan dengan demikian merusak hubungan baik dengan negara-negara bersahabat. Bentrokan fisik pun tidak bisa dihindari seperti yang terjadi di Bandar Betsy.
Dalam keadaan teror mental semacam itu, macam-macam reaksi orang. Ada yang buru-buru masuk partai berkuasa, ada yang meluluhkan diri dalam massa dan tidak menjadi siapa-siapa, tanpa ideologi tanpa idealisme, dalam usaha melepaskan diri dari bencana dihancurkan sebagai unsur kontra-revolusioner. Ada yang melarikan diri ke luar kota, menyembunyikan diri mencari selamat, bahkan ada yang berusaha ke luar negeri: Ada yang berlatih bela diri, ada yang kembali kepada agama sebagai pegangan, jangan sampai panik oleh serangan dan fitnahan, mohon perlindungan Tuhan dan ada yang menuntut ilmu kebatinan untuk membuat dirinya kebal atau bisa menghilang. Inilah masanya ketika budayawan dan seniman yang tidak mau berpolitik, diseret ke tengah gelanggang politik. Maka sebagian mereka ikut berpolitik atau menjadi bulan-bulanan politik. Konsternasi jiwa seniman pada masa itu terlukis dengan baik dalam novel ini.
Sanu adalah seniman yang memilih mistik untuk melepaskan diri dari cengkraman politik. Sebagai pelukis dan pengarang ia kehilangan ruang gerak. Lukisan-lukisannya yang rada abstrak dituduh lukisan borjuis dan karangannya yang sudah naik pers setselnya dilebur, karena namanya dimuat dalam surat kabar kiri sebagai seorang yang anti-revolusioner. Penerbit ketakutan untuk mencetaknya. Tawaran seorang diplomat untuk mengirimnya ke negeri Paman Sam, ditolaknya dengan tegas: di antara dua adikuasa ja memilih jadi nasionalis.
Sanu menuntut ilmu kebatinan, khususnya ilmu untuk menghilangkan diri, hingga selamat dari sergapan musuh. Sanu akan hijrah ke luar atmosfir, menurut istilahnya sendiri. Dalam dirinya Sanu menemukan dua kesadaran yang senantiasa bertentangan, yaitu suara aku-ego dan suara Aku—Tuhan dan itulah yang merupakan dua infinita Sanu, dua hakikat dalam satu jasad. Dengan bicara tentang pengalaman empiris menembus atmosfir dan stratosfir, untuk bertemu Tuhan, adanya diri ganda manusia, nampak pencarian jati diri dalam hubungannya dengan lingkungan, Tuhan dan alam semesta. Sanu merenung dan mencari jawaban atas segala apakah penguasa, apakah massa, apakah kebenaran, apakah moral, apakah fungsi ruang dan waktu, apakah hakekat Ada, Gerak, Situasi. Ia mendalami kebatinan, lengkap dengan peristilahan-peristilahannya. Ja berspekulasi mengenai planet-planet di angkasa dan harmoni dalam semesta. Cahaya menyinari Muhammad. Dan Cahaya inilah awal mula penciptaan Allah. Dan banyak lagi spekulasi-spekulasi mistik dalam menjalani tingkat-tingkat ilmul yagin, ainul yagin untuk sampa! kepada haggul yagin. Sanu telah menimba ilmu pengetahuan dari filosof-filosof dan pemimpin-pemimpin rohani seperti Aristoteles, Plato, Sokrates, Descartes, Pascal, Bergson, Kant, Emerson, Buddha, Kong Fu Tse, Lao Tse, Al—Hallaj, Yesus, Muhammad, Nietzsche, Machiavelli, Karl Marx, Hegel, Caesar, Jefferson, Lincoln.
Sebagaimana Danarto sampai kepada Adam Makrifat, demikian pula Sanu sampai kepada Manusia Total '' Manusia yang menjaga keseimbangan antara diri pertama dan diri kedua. Seluruh manifestasi diri . pertama adalah infinita-ego, yang lawannya adalah infinita-kreatif. Karena itu, diri kedua infinita-kembar itu, dengan kreativitasnya, menjadikan dia dinamis. Dan dinamis kreatif hanya ada pada pemilik status perimbangan, yaitu Manusia Total.” (ns hal. 5). “Boleh jadi pengalaman-pengalaman irrasional yang dialami Sanu menimbulkan senyum sinis pada pembaca yang tidak mempunyai atau kehilangan indra keenamnya, tapi apabila kita memperhatikan gejala-gejala ajaib yang terjadi sekitar kita, maka apa yang dialami Sanu pada dirinya, bukanlah hal-hal yang aneh bahkan mustahil. Membaca cerita ini kita seperti masuk ke dunia mimpi yang mencekam mengasyikan, di mana kepala adalah kaki, kiri adalah ka"nan, atas adalah bawah, timur adalah barat, dunia sungsang sumbalit di mana kita mencari jalan dengan rasio di tengah kebalauan yang mokal-mokal. Kita bertemu pikiran-pikiran dan pemandangan-pemandangan yang membedah kenyataan untuk sampai kepada kebenaran-kebenaran hakiki.
Ilmu psikologi, khususnya psikiatri, mempunyai nama-nama untuk gejala-gejala yang dialami Sunu, seperti halusinasi, paranoia, schizophrenia, delirium, dan sebagainya, semuanya merupakan penyakit-penyakit kejiwaan yang tidak ada hubungannya dengan alam gaib. Hanya karena saraf tidak berfungsi dengan baik, maka bermacam dengar-dengaran, lihat-lihatan dan cium-ciuman bisa terjadi, yang sebenarnya objeknya tidak ada. Tapi di samping psikologi dan psikiatri telah berkembang pula ilmu yang disebut parapsikologi yang menyelidiki gejala-gejala luar indrawi, bukan sebagai gejala-gejala penyakit, tapi sungguh-sungguh berasal dari kemampuan pengindraan yang sangkin halusnya bisa berhubungan dengan dunia gaib di luar diri. Nama lain ialah spiritualisme, tapi perbedaan antara keduanya ialah bahwa parapsikologi mencoba dengan cara ilmiah menganalisa gejala-gejala luar indrawi, sedangkan spiritualisme menerima dunia gaib begitu saja.
Maka dalam membaca pengalaman Sanu yang diceritakan oleh Busye ini, kita terbentur pada pertanyaan, apakah Sanu sedang mengalami proses panggilan, ataukah ia memang sedang menghayati proses perwalar. yang sampai kepada hakikat kebenaran yang pal.ag akhir? Apapun asal usulnya pengalaman Sanu, sebagaimana Busye menceritakannya. sungguh sangat. menarik, karena diceritakan dengan cara yang sangat masuk akal, seolah-olah dialami oleh pengarangnya sendiri. Kelebihan pengarang dari pemak4j bahasa biasa ialah bahwa pengarang dapat mengungkapkan gerak batin yang paling halus dan paling dalam, berupa perasaan dan pikiran yang menyertai gerak fisik yang paling kecil dan paling halus, dalam kata-kata. Dan pengarang di sini membuktikan kemampuan itu. Ia melukiskan pengalaman orang bermeditasi untuk mendapat kekuatan menembus alam atmosfir dan stratosfir, menguak perbatasan hidup dan mati, menjalin pengalaman nyata dan pengalaman rohani, di mana alam nyata dan alam barzakh berbaur, pengarang hidup dalam kesemestaan, bukan sebagai pasien jiwa, tapi sebagai manusia pilihan. Tanggapan mistik dan peristilahan mistik dikuasai dengan cekaman yang kuat, bahkan ditambah dengan konsep dan peristilahan fisika dan metafisika mutakhir (ns hal. 31—32). ”
Roman Motinggo Busye yang kita hadapi 1ru mencapai dimensi kedalaman yang belum pernah kita saksikan dalam roman-romannya terdahulu. Satu buku yang memerlukan kesadaran total untuk memahaminya.