H.B. Jassin Suka Juga Membaca Buku Porno untuk Menambah Perbendaharaan Kata
H.B. Jassin Suka Juga Membaca Buku Porno untuk Menambah Perbendaharaan Kata
“Paus Sastra Indonesia”, H.B. Jassin mengungkapkan, ketika mulai belajar bahasa Prancis, ia sering mengasyiki buku-buku porno yang sebenarnya larangan untuknya ketika itu. Tetapi, hal itu dilakukannya untuk menambah perbendaharaan kata-katanya. “Dari buku-buku itu saya banyak memperoleh perbendaharaan kata-kata yang selama itu belum saya temui,” katanya. Saya selalu mencari cara sendiri supaya lekas menangkap pelajaran atau hal-hal yang baru saya temui, tuturnya lebih lanjut.
Dikatakan, kita mesti aktif mencari sendiri sehingga dalam kuliah, misalnya, kita akan lebih banyak tahu dari dosen atau guru kita.
Jassin yang berbicara dalam rangka Pekan Buku, Sabtu kemarin di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, mengatakan, kegemarannya membaca memang sudah tertanam sejak kecil. Di kelas tiga HIS ia sering mendapatkan pujian dari guru-gurunya karena gaya membacanya yang mengasyikkan. “Sering pula saya dipanggil ke kelas lain yang lebih tinggi dari saya untuk membaca, dan guru selalu mengatakan begitulah membaca yang baik setiap saya selesai membaca di muka kelas.”
“Sebagai manusia saya memang senang dipuji. Saudara juga akan senang kalau dipuji karena keberhasilan Saudara,” katanya kepada hadirin yang memenuhi ruangan ceramahnya.
Ayahnya Banyak Membantu
Dalam ceramahnya yang banyak dihadiri murid-murid sekolah dan undangan lainnya itu, Jassin mengatakan, dalam mengakrabkan hubungannya dengan buku, ayahnya banyak sekali menolong menumbuhkan minat baca di dalam dirinya.
Ayahnya mempunyai perpustakaan kecil yang banyak diisi buku-buku berbahasa Belanda, Inggris, dan bahasa-bahasa asing lainnya. Tetapi, buku-buku dalam bahasa Melayu tidak terdapat dalam perpustakaan itu.
“Satu hal yang banyak menolong saya adalah bahwa Ayah sering menyuruh saya meminjam buku-buku perpustakaan HIS. Dari situ, banyak buku yang saya juga turut baca. Seperti buku-bukunya Alexander Dumas, Jules Verne,” katanya.
Jassin tertarik pada buku-buku itu karena di dalamnya ada gambar-gambar yang membuka banyak fantasinya yang ketika itu sudah duduk di kelas empat HIS. Seperti juga anak-anak lain sebayanya, Jassin banyak mengembangkan fantasi dan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh dalam film atau buku yang dilihat.
“Hingga sekarang tokoh “Kapten Nemo” dalam cerita “2.000 mil di bawah permukaan laut” karangan Jules Verne masih tetap hidup dalam kenangan saya. Begitu juga tokoh dalam buku The Three Musketeers, seperti Aramis. Hingga sekarang masih hidup dalam ingatan saya,” ceritanya.
Ketika itu, ia membaca buku apa saja. Mulai buku-buku sastra dari pengarang-pengarang terkenal sampai buku-buku yang sebenarnya belum boleh dibacanya yang terdapat diperpustakaan ayahnya. “Saya juga mengasyiki buku-buku tentang kehidupan Paris yang banyak gambar telanjangnya. Dari sini banyak kata-kata istimewa saya temukan,” katanya.
Ayahnya juga berlangganan surat-surat kabar dari Betawi. Jassin berkenalan lebih lanjut dengan bahasa Melayu melalui dua orang temannya yang tinggal di rumahnya. Ia mulai membaca buku-buku, seperti Rose van Batavia atau Melati van Agam yang kesemuanya merupakan buku-buku percintaan yang ketika itu sangat sesuai dengan jiwa Jassin yang masih remaja.
Dari kedua kawannya itu, Jassin kemudian mulai mengenal pula buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka, seperti buku Salah Asuhan atau Siti Nurbaya. Jassin ketika itu sudah duduk di kelas tujuh HIS. Bacaannya juga mulai terpilih.
Jassin mulai menyenangi buku-buku kesusastraan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh guru kepala sekolahnya (orang Belanda) yang juga senang pada kesusastraan. “Dia sering membawakan cerita Saijah dan Adinda yang sangat menarik,” kata Jassin.
Menurutnya, ia juga senang membaca sajak. Di sebuah pesta yang pernah diadakan, ia pernah membawakan sajak sepanjang lima halaman yang dihafalnya di luar kepala.
Sikapnya sebagai Kritikus
Dalam melancarkan kritik-kritik terhadap seorang pengarang, Jassin kelihatan sekali melancarkannya dengan tidak secara frontal. Tidak kenes. Hal ini menurutnya memang merupakan suatu sikap pribadinya.
“Dalam mengkritik seorang pengarang, saya selalu berusaha agar orang yang saya kritik tidak sampai sakit hati. Kalau saya mengkritik secara keras, secara frontal, saya malu ketemu orangnya. Sekalipun saya bisa menerangkan lebih lanjut tentang kritik itu, tetapi saya malu,” katanya lagi.
Menyinggung mengenai dirinya dan buku, Jassin mengemukakan bahwa dahulu di kelas III HBS, anak-anak sekolah sudah diharuskan membaca selesai 24 buku dalam bahasa Belanda. Dan masing-masing 3 buah buku dalam bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Semuanya kemudian dibuatkan resensinya, lalu dibicarakan untuk menempuh ujian akhir.
Sejak kelas tiga itu, anak-anak sudah dibiasakan untuk membicarakan resensi-resensi buku.
Jassin dalam ceramahnya itu, mengungkapkan, ia adalah orang yang selalu ingin tahu segala hal. Ia pernah tertarik dan lantas terjun ke bidang jurnalistik dalam koran yang dipimpin oleh Adinegoro. Jassin sendiri dididik dalam bidang kewartawanan oleh Matu Mona.
Sikap selalu ingin membuka horison pikirannya itu juga yang telah menyebabkan ia mempelajari sastra Jawa Kuno. “Sebelumnya, kalau saya dengar klenang-klenong gamelan Jawa, saya matikan radio. Tetapi, lantas saya ingin tahu, apa sih isi kandungan sastra Jawa itu. Setelah belajar, ternyata pandangan saya jauh berbeda. Saya jadi penggemar wayang kulit.”
Tidak hanya itu, Jassin acapkali sebagai manusia biasa, mempunyai keinginan yang lumrah. Atau ketika ia pernah menanyakan tentang dirinya kepada seorang tukang ramal di Senen, tukang ramal itu mengatakan bahwa dirinya mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan tokoh Bratasena. Jassin tertawa ketika mengucapkan ini.
Keingintahuan yang terus-menerus tumbuh yang menyebabkan ia juga mempelajari ajaran-ajaran tarekat yang ada di Jakarta. Ia juga mempelajari cara-cara memanggil roh orang-orang yang sudah mati. Ia juga pernah main jailangkung.
Hal ini juga banyak pengaruhnya yang menjadi sebab-musabab ia menerjemahkan Alquran. Ia ketika itu pernah dicaci maki sebagai orang yang anti-Tuhan dan anti-Nabi.
“Tetapi, dalam diri saya timbul perlawanan, apakah benar demikian. Lantas timbul tekad saya untuk mendalami ajaran Islam langsung dari samudranya, yaitu Alquran. Dan kemudian saya menerjemahkannya. Saya sadar terjemahan saya bukan terjemahan yang final karena Alquran tidak pernah final,” katanya.
Sikap lain yang menarik dari Jassin yang dikemukakan dalam ceramahnya itu adalah ia tidak pernah lari dari suatu kesusahan atau kesedihan. “Saya selalu menghadapinya. Karena jika saya lari, ketakutan atau kesedihan itu akan mengejar-ngejar kita. Ternyata apa yang saya lakukan ini berguna sekali untuk mempelajari filsafat.”
Menurutnya, manusia itu pendek ingatan. Untuk menyambung ingatan-ingatan itu perlu dibuat catatan atau dokumentasi-dokumentasi yang kemudian disimpan. Jassin melakukan itu. Ini akan berguna untuk merangkaikan ingatan kita kembali dan tidak lepas hubungannya dengan pembentukan pribadi kita. Data atau kritik-kritik orang lain tentang kita yang kita simpan dengan baik, sangat berguna untuk membentuk kepribadian kita. (Anonim)
Sumber:
Surat kabar Angkatan Bersenjata, Th. VIII, No. 4504, Jakarta, Senen, 23 Mei 1977: 1.dan dimuat dalam buku Memoar H.B..Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia, Editor: Oyon Sofyan, Bogor: Cakrawala Budaya, 2022
Catatan:
Dalam buku tersebut, banyak tulisan seputar H.B. Jassin yang sangat menarik dan tidak kita ketahui sebelumnya. Buku bisa dipesan melalui: https://wa.me/6285921684703