H.B. Jassin: Diperlukan Karya Sastra Futuristik untuk Mengimbangi Kemajuan Teknologi
H.B. Jassin: Diperlukan Karya Sastra Futuristik untuk Mengimbangi Kemajuan Teknologi
Pada dasarnya semua sastra itu kontekstual. Karena seniman yang menciptakan sastra tanpa melihat konteksnya, tidak mungkin dapat membayangkan garis mana yang akan menjadi sasaran sastranya.
H.B. Jassin melihat timbulnya
polemik tentang perlunya sastra kontekstual baru-baru ini, sedikit banyak
karena menjamurnya karya-karya sastra yang memupuskan garis hubungannya dengan
masyarakat.
“Belakangan ini banyak
sekali sastra yang menitikberatkan pada masalah keagamaan, bersifat sastra
sufi, yang arahnya vertikal. Munculnya karya kontekstual ini tidak dengan
begitu saja, namun lebih bertitik berat pada suatu aksi. Sebetulnya hal seperti
ini sudah ada, seperti karya sastra yang berlatar belakang realisme sosialis,” katanya.
Bila sastra hanya
sebagai ajang pencurahan ketersendirian manusia, kekalutan dan perjuangan yang
berlawanan dengan realisme yang ada, menurut Jassin peranan sastra tak
lagi ada. “Mestinya sastra yang konsekuentif yang ditampilkan,” tuturnya.
Sebagai seorang kritikus
sastra, H.B. Jassin menerima kembali
sastra kontekstual republik ini. “Meskipun di dalam karya sastra kontekstual tampak
warna kerakyatan, tidak mengarah pada komunitis. Karena bila menuju komunitis,
akibatnya akan berbenturan dengan falsafah bangsa ini, yakni Pancasila, meskipun
belum semua pasal Pancasila dilaksanakan dengn baik,” ujarnya lagi.
Selama ini, tambahnya,
karya sastra kontekstual yang bersifat analisis kejiwaan dan ciri lain dari
pertumbuhan manusia, semakin bertebaran. Ia menegaskan sastra kontekstual yang
berhubungan dengan pembangunan bila diungkapkan akan lebih baik. Tidak hanya sastra
yang vertikal. namun juga sastra yang horizontal. Bangsa ini, menurut H.B.
Jassin, membutuhkan informasi kemasyarakatan di dalam negara
pembangunan melalui karya sastra.
Antara sastra bersifat vertikal dan horizontal, manakah
yang paling dominan di dunia sastra Indonesia? Menurut Jassin, dua-duanya. Cuma yang satu kedengaran karena bersuara,
yang lain hadir tapi tidak bersuara. Cuma sekarang dengan kesadaran kita,
diusahakan agar kesemuanya hadir bersama-sama.
Penjaga taman di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin ini lebih jauh
menuturkan, karya sastra yang awalnya tidak bisa diterima, akan mencari
jalannya sendiri hingga dikenal oleh khalayak. Seperti Dr.Zhivago karya Boris Pasternak yang mulanya dilarang di Uni
Soviet kini mendapat pemutihan.
Arah sastra yang
dijanjikan Indonesia selama pergolakan
gelombang teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia dewasa ini, diartikan oleh H.B.
Jassin sebagai suatu awal
akan terciptanya sastra futuristis.
“Kita lihat misalnya,
karya Putu Wijaya, tidak ada perspektif jarak ruang, jarak waktu, dan jarak
tempat. Sekaligus stimulan. Namun, dia pandai menyemplungkan pembaca ke dalam
situasi yang stimulan. Dan kestimulanan ini, saya lihat, adalah pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan dan komunikasi. Rangsangan-rangsangan untuk rasio
yang serba cepat datangnya. Dan kita sebagai seniman tidak bisa lagi melihatnya
sebagai step by step. Memang yang
ideal itu, setiap saat, setiap waktu bisa diungkapkan secara penuh. Namun, ini
menuntut kematangan penggarapannya, dan perlu intensitas yang lebih tinggi. Nah,
kita mengarah ke sana,” katanya.
Gambaran kemajuan
teknologi ini, seharusnya digarap juga oleh para satrawan kita. H.B. Jassin melihat bahwa karya science fiction masih kurang berkembang
di sini. “Nah, bagaimana sastrawan kita menanggapi hal ini dengan membuat karya
sastra futuristis. Kita ini
sebetulnya masih nol dalam perkembangan teknologi, namun bagaimana caranya
mengejar ketinggalan itu. Kalau di luar negeri karya-karya futuristis sudah
menjamur,” kilahnya.
“Kalau dulu cuma ada
Jules Verne dengan 20.000 Mil di Bawah
Laut, atau Mark Twain dengan perjalanan-perjalanannya ke alam khayali,
kenapa sekarang tidak diciptakan karya sastra yang mengungkap kemungkinan
transplantasi otak dan segala teknologi baru di mayapada? Dari pada sering
bertutur masalah sejuta matahari…,” katanya.
Tiap karya besar,
menurut Jassin, selalu mencari jalan sendiri bila terbentur
kekuasaan-kekuasaan yang menghambat jalannya atau malah menghentikannya,” jelas
Jassin. Hal tersebut dapat dilihat, misalnya, penerbitan buku Max Havelaar karya Multatuli yang
terhambat di negeri Belanda atau yang lainnya. (Lukas
AP)
Sumber: Kedaulatan Rakyat, Th. 42, No. 279, Yogyakarta, Minggu, 12
Juli 1987: 5,
dalam Memoar H.B. Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia, editor Oyon
Sofyan, Jakarta: Cakrawala Budaya, 2022