Seekor Kodok - Lazuardi Anwar
Seekor KodokOleh Lazuardi Anwar
”Aku menangis”, bisiknya.
”Aku selalu menangis sekarang. Betapa rapuh tampuk air mata ini”, ulangnya, sebagai menghempaskan perasaan. Namun kaki kecilnya sebelah depan berusaha terus menghapus kelopak matanya, tetapi biji mata itu tidak pernah mau kering dari basah.
”Apakah karena aku terlalu banyak membaca sandiwara sekarang?” ucapnya lagi.
Suara bertanya itu agak tertahan, tetapi jelas terdengar. Panas dingin membungkus tangannya yang mengeriput. Betapa sejuk angin masuk ke ruang itu. Tetapi panasnya kalau angin mengalihkan sasarannya. Matahari sudah lama muncul, tetapi tidak bertenaga lagi menguasai ruang itu. Ruang sempit, tetapi matahari semakin mengecil, tidak mampu lagi memperagakan wajah yang asli. Semua berubah dalam kepura-puraan. Segan menunjukkan yang sebenarnya. Angin setiap sebentar memutar kemudi. Semua ragu-ragu.
”Aku tidak mampu lagi menonton sandiwara itu”, biji matanya semakin merah, terus membersit air dari pelupuk yang polos tanpa bulu.
”Aku bangsa kodok, memang”, katanya lagi. "Bangsa yang dikatakan hidup dalam dua jenis alam. Di darat dan di air, panas dan dingin. Tetapi aku tidak tahan hidup di dua kutub itu, Tetapi akulah bangsa yang selalu diburu. Di dalam air dikejar-kejar oleh bangsa Badau, kalau di darat tidak hanya oleh Ular, terlalu banyak tangan lain yang mengincar kehidupan kami. Ke mana pun melompat, diintip dengan ketat”
"Terlalu banyak memang air mata ini keluar. Tetapi apa yang hendak kuperbuat. Semua hidup sendiri-sendiri, semua sudah tidak punya sikap. Kalau ada yang bersikap dan berprinsip, dinilai suatu keganjilan. Aneh? Hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri. Begitu pun aku berusaha punya sikap. Walau sikap seekor kodok. Walau aku sendiri tidak mengerti tentang sikap dan prinsip. Karena sikapku dan prinsipku hanya mampu untuk diriku sendiri saja”.
”Aku angsa kodok memang”, ulangnya sekali lagi. Dengan pengucapan yang tegas dan pasti serta jelas pula didengar mantapnya. Dengan perlahan wajahnya mulai berubah, bernyala-nyala. Seolah puas dengan apa yang telah dilepaskannya. Walau untuk dirinya sendiri. Kaki kecilnya sebelah depan masih belum berhenti menghapus biji matanya. Tipis sudah pinggir kelopak mata itu. Tetapi dia tidak peduli, terus menghapusnya dengan kemampuan yang ada.
"Berbahagialah mereka yang tidak punya sikap. Tidak punya prinsip. Malah ada yang menyindir, mencemooh, menyakitkan hati: Berapa harga prinsip itu kalau dibeli di shopping centre? Seolah mereka tidak tahu, bahwa di pusat perbelanjaan hanya ada harga kodok perkilogram. Aku menangis mendengar kebodohanku sendiri. Sampai sekarang aku masih harus menangis membaca sandiwara-sandiwara itu.
Berpura-pura untuk mengelabui”, desisnya. Sebuah lubang kecil, menghadap ke pinggir parit, cahaya redup sayup tiba di sana. Tetapi paling aman menurut perhitungannya, dia agak bebas kalau mau bergerak. Walau dia tidak banyak bergerak akhir-akhir ini, cukup menanti di rongga lubang itu, hanya sekadar menjulurkan ujung lidah kalau kebetulan nyamuk atau belalang lewat dan singgah di situ. Lubang persembunyiannya itu bangunan kukuh, berlatar belakang dinding tembok. Dia tidak merasa sangsi sedikit pun kalau ada yang mengintip dari belakang. Kalau memang bernasib buruk, serangan itu akan datang dari samping atau dari muka. Seekor Badan kecil pernah terlompat ke lubang itu, tetapi dengan melototkan mata merahnya itu, hewan lawannya itu ngeri juga barangkali, lari terpelanting masuk ke parit kembali.
"Ngeri juga,” bisiknya.
"Bagaimana kalau dikasi tahu kepada induknya, bapaknya atau neneknya bahwa aku berada di tempat ini. Apakah mereka tidak berusaha mengejar aku sampai ke lubang ini, karena tempat ini dekat sekali dengan parit”, dia diam sejenak.
"Kalau datang juga, mau tidak mau harus bergulat terlebih dahulu dengan maut. Menurut kemampuanku, tentu sebagai bangsa kodok yang tidak pernah aman kehidupannya”, katanya lagi dalam perasaan ngeri.
Dalam kesendiriannya itu, dia lebih banyak mengkaji diri. Bahwa hidup dan kehidupan tidak lebih dari sebuah sandiwara yang sedang dipentaskan. Mungkin yang lain sedang melihat aku bermain di atas pentas. Walau baik menurut aku belum tentu baik dan dapat diterima oleh yang lain. Karena penilaian itu terlalu relatif,
"Aku mengatakan diriku paling bersikap dan berprinsip, tetapi mampukah aku menentukan diriku sendiri. Karena hidup selalu saling ketergantungan dengan yang lain?”
"Apakah karena aku sudah terlalu tua sekarang, terlalu banyak membaca sandiwara-sandiwara itu, sehingga kacamataku tidak mampu menembus apa yang sedang dimainkan? Sehingga aku memuntal cepat ke diri, dan selalu pula dilintasi oleh kejenuhan. Aku bangsa kodok memang. Begitu pun aku tidak ingin disamakan dengan kodok-kodok yang lain. Aku tetap berusaha untuk bersikap dan berprinsip, walau tidak punya harga sama sekali”.
Terlepas bungkal-bungkal yang telah menyenak jantungnya. Wajahnya yang menjerongos ke depan itu puas dan pasrah. Kaki kecilnya tidak lagi bergerak menghapus matanya, hanya penyangga jongkoknya. Di pinggir mata tanpa bulu itu terlihat bercak-bercak putih, lecet. Matanya yang merah itu mulai redup, walau belum berhenti binarnya. Air tidak lagi membersit dari mata itu, hanya bekas tumpukan bening yang menggumpal.
Angin dan panas belum berubah, silih berganti datangnya. Matahari juga masih seperti tadi, semakin mengecil tidak mampu merobek-robek remang-remang lubang pertapaannya. Dia dalam kesendirian terus mengkaji sandiwara-sandiwara yang dimainkan di atas panggung. Dia terus membaca, tekun sekali dia membaca permainan-permainan yang dipentaskan. Saat-saat kesendirian yang dipalut sepi itu, suara selosoh yang merebahkan daun rumput, tumbuhan kecil di dekat lubang persembunyian kodok itu. Sebuah kepala yang berbadan panjang menjulurkan lidah bercabang menjenguk ke dalam lubang itu. Kemudian terdengar sebuah jerit parau, suara tua dan diam. Tubuh panjang yang menjalar itu meneruskan perjalanannya, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Seekor kodok telah bersemayam di perutnya, bergerak-gerak menendang-nendang dinding perut itu.