Puisi-Puisi Pilihan M. Nasruddin Anshoriy Ch
Puisi-Puisi Pilihan M. Nasruddin Anshoriy Ch
PRASASTI
Sebuah prasasti telah berdiri
Dan seratus panah beracun dilepaskan
Maka hutan ini menyala
Kita tak tahu dimana kita berada
Hanya anjing menyalak dimana-mana
Seorang ibu menggendong bayi
Tertembak di jantungnya
Dan anjing menyalak dimana-mana
Hutan sudah terbakar, Saudaraku
Dan kita terkepung api
Maka diam berarti bunuh diri
Anjing sudah menyalak dimana-mana
Juga di seluruh rimba ini
Kita tak mungkin terus berlari
Sebab duri berada disana-sini
Darah sudah mengental, Saudaraku
Maka prasasti harus berdiri
8.2.1989
DOA DEWA RUCI
maka kutinggalkan engkau
hutan-hutan yang lebat berkabut
ketika kelelawar menyapu malam
kutinggalkan engkau sendiri
kutinggali sekarung duri
kucari embun abadi
sendiri di alam sendiri
kudengar suara senapan
dan darah menetes dari kain sarung
selusin bayi terkapar
dan kalian tertawa-tawa melihatnya
di rimba ini aku semakin benci
di rimba ini tak ada kata hau
Jakarta, 7.2.1989.
PESTA KAUM LAPAR
ternyata kita belum mati
rubuh berkali-kali
pertempuran tak kunjung henti
inilah pesta kaum lapar
melempar-lempar batu
satu terbunuh
seribu membunuh
sebab nasi adalah birokrasi
dan mati adalah nyali
maka berdansalah kaum lapar
berguling-guling di dingin malam
bergerilya di kegelapan
dan rembulan mengintip diam-diam
sebab berani berarti subversi
8.2.1989
PRASASTI
Sebuah prasasti telah berdiri
Dan seratus panah beracun dilepaskan
Maka hutan ini menyala
Kita tak tahu dimana kita berada
Hanya anjing menyalak dimana-mana
Seorang ibu menggendong bayi
Tertembak di jantungnya
Dan anjing menyalak dimana-mana
Hutan sudah terbakar, Saudaraku
Dan kita terkepung api
Maka diam berarti bunuh diri
Anjing sudah menyalak dimana-mana
Juga di seluruh rimba ini
Kita tak mungkin terus berlari
Sebab duri berada disana-sini
Darah sudah mengental, Saudaraku
Maka prasasti harus berdiri
8.2.1989
DOA DEWA RUCI
maka kutinggalkan engkau
hutan-hutan yang lebat berkabut
ketika kelelawar menyapu malam
kutinggalkan engkau sendiri
kutinggali sekarung duri
kucari embun abadi
sendiri di alam sendiri
kudengar suara senapan
dan darah menetes dari kain sarung
selusin bayi terkapar
dan kalian tertawa-tawa melihatnya
di rimba ini aku semakin benci
di rimba ini tak ada kata hau
Jakarta, 7.2.1989.
PESTA KAUM LAPAR
ternyata kita belum mati
rubuh berkali-kali
pertempuran tak kunjung henti
inilah pesta kaum lapar
melempar-lempar batu
satu terbunuh
seribu membunuh
sebab nasi adalah birokrasi
dan mati adalah nyali
maka berdansalah kaum lapar
berguling-guling di dingin malam
bergerilya di kegelapan
dan rembulan mengintip diam-diam
sebab berani berarti subversi
8.2.1989
KEPADA ANAKKU
engkau lahir dari pori-pori waktu
ketika ibumu memecahkan periuk dan
bapakmu menguburkan seratus mayat
tapi engkau tetap lahir dan bersiul
meski matamu persis matahari tegak
mengintai malam menelan rembulan
ibumu selalu membaca surat yusuf
surat lugman surat mariam ketika
kau meringkuk lelap di balut perut
sementara bapakmu tak henti-hentinya
belajar silat dan bernyanyi-nyanyi
kini kau sudah jadi kakek-kakek me
nimang-nimang nenek-nenek, anakku
1989
KALIAN MASIH BELUM
Coba katakan apa yang kalian mau
bersandar di dinding waktu sambil
menghitung-hitung kekalahan atau
kelaparan yang tak habis-habisnya
sedang Matahari telah lama lewat
Kalian masih belum. Kalian semua
Masih ada yang hendak aku katakan
rumput-rumput yang kalian cabut
serta udara yang kita hirup bersama
sama sebelum papan catur kita
bentangkan dan bidak-bidak mulai
bertarung sepanjang malam.
Kalian masih juga belum, ternyata!
Kalau tak kuat kenapa diangkat
andai tak hebat kenapa bersilat dan
ternyata kalian hanya mau berdebat
Padahal dunia itu sudah lama aku
tinggalkan dan dinding itu sudah
lama pula aku robohkan tapi kalian
tetap saja belum.
1989
Keterangan:
Puisi-puisi ini pernah dimuat Majalah Sastra Horison, No IV Tahun 1989