Puisi Indonesia Mutakhir: Tantangan atas Kecenderungannya - Slamet Sukirnanto
Puisi Indonesia Mutakhir: Tantangan atas Kecenderungannya
oleh Slamet Sukirnanto
“Penyair, kayu pertama di tumpukan pembakaran
Penyair /abu landasan di tumpukan reruntuhan
Penyair paling setia mengajak sekali waktu untuk bersikap."
Ramadhan KH.
Sepanjang pengamatan saya yang mungkin sangat terbatas: tingkat perkembangan puisi Indonesia mutakhir ditandai oleh beberapa gejala yang menarik. Gejala yang saya maksud adalah adanya tanda-tanda yang makin kuat bahwa puisi-puisi yang lahir dewasa ini adalah buah dari proses kerja-sastra kreatif yang lebih mantap dan matang, baik dari segi kedalaman spiritual maupun bentuk-bentuk pengucapan kepenyairannya, wawasan estetika dan cara memandang dunia serta menafsirkan kehidupan di sekeliling kita, baik yang nampak atau yang misteri, dan yang tidak kurang menariknya adalah adanya suasana dinamik dari pergulatan yang penuh tantangan dari sejumlah penyair baru yang serius yang kini sedang go public — menawarkan saham-sahamnya dalam bentuk karya puisi kepada masyarakat sastra, peminat puisi dan kehidupan perpuisian kita dewasa ini. Saya menyaksikan pergulatan yang dramatik ini dengan hati terbuka, sambil mengamati dan belajar cara penyair baru menemukan serta sampai pada jati-diri kepenyairannya, bentuk-bentuk pengucapan dan bahasa kepenyairannya. Demikian pula tentang apa yang diberikan kepada kita sekarang.
Kecenderungan pertama, puisi kita dewasa ini lebih mencari kedalaman spiritual dan religius. Kecenderungan puisi yang bernafas keagamaan, yang sebenarnya sudah lama ada dalam kehidupan sastra kita, sekarang ini menemukan dinamika dan tenaga yang baru, wawasan dan pengucapan yang baru, semangat dan nafas yang lebih segar.
Kecenderungan ini merupakan arus kuat yang menjalar, dan dominan kehadirannya. Sehubungan dengan ini, penyair Abdul Hadi WM dalam ulasannya tentang “Sastra Profetik, Kreativitas dan Pengembangannya”, (dimuat dalam harian PELITA, 15 April 1987) menyatakan bahwa sejak tahun 70-an puisi kita tidak lagi ditandai oleh hiruk pikuk. Puisi tetap bagian dari sastra. Bukan bagian yang lain. Puisi yang bernafas keagamaan bukanlah sekedar sebuah model pengucapan puisi, tetapi lahir oleh sebab-sebab yang lebih mendalam. Sebab-sebab yang mendorong munculnya kesadaran mencari kedalaman nafas keagamaan, suatu perjalanan rohani, perjalanan spiritual, pengembaraan ke wilayah transendental. Apakah ini yang dinamakan kesadaran yang bangkit?atau suatu tahap pencerahan seperti yang sering ditandaskan oleh Abdul Hadi WM dalam berbagai kesempatan.
Kita coba menengok ke belakang: S. Takdir Alisyahbana yang kita kenal sebagai juru bicara terbaik dan pembela yang paling gigih tentang lahirnya puisi baru, telah menunjukkan beberapa tanda-tanda atau corak puisi baru. Dalam uraian yang berseri di majalah Pujangga Baru kemudian dibukukan dalam buku Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (Penerbit Dian Rakyat, Jakarta 1969), ia menyebut sepuluh tanda-tanda, seperti yang dikemukakan dalam bab-bab pembicaraannya: 1. Jiwa Bernyanyi, 2. Iramg Baru, 3. Bahasa baru, 4. Sajak dan isinya, 5. Pemandangan alam yang baru, 6. Lagu cinta birahi, 7. Sajak kebangsaan, 8. Sajak kerabat, 9. Sajak masyarakat, 10. Sajak agama.
Ternyata bahwa puisi yang bernafas keagamaan telah menjadi salah satu tonggak kebangkitan puisi baru Indonesia sekitar tahun 30-n. Dari sekian banyak nama-nama penyair menulis puisi bernafas keagamaan adalah Amir Hamzah, A. Hasymy, Or. Mandank, Rifai Ali, Samadi, Karim Halim dan lain-lain. Tetapi dari sekian nama-nama penyair yang karya-karyanya kita kenal, ter-nyata mungkin hanya Amir Hamzah saja yang meninggalkan kesan pada kita.
Memasuki masa Jepang dan Angkatan 45, puisi-puisi bernafas keagamaan telah ditulis (diantara beberapa puisinya) oleh Anas Makruf, Usmar Ismail dan yang paling mengesankan adalah beberapa puisi Chairil Anwar. Selepas ini tokoh yang tidak dapat kita lupakan adalah Bahrum Rangkuti. Sebagaimana Buya Hamka, Bahrum Rangkuti di samping sastrawan adalah tokoh Islam yang terkemuka di negeri kita. Bahrum Rangkutilah yang memulai usaha baru dalam meniupkan angin segar perpuisian kita yang bernafas keagamaan. Dan dalam hal ini karya-karyanya lebih mempertahankan nilai sastranya. Tokoh inilah, saya kira yang pertama kali memperkenalkan puisi-puisi Mohammad Igbal dalam kehidupan sastra kita: dengan menerjemahkan Asrar-I Khudi (Rahasia-Rahasia Pribadi) yang sangat terkenal itu. Usaha-usaha pengenalan melalui penerjemahan telah dilanjutkan dengan penuh kesadaran oleh penyair Abdul Hadi WM akhir-akhir ini. Wilayah penerjemahannya lebih luas lagi dengan sumber-sumber yang lebih kaya dan beragam. Meskipun kelebihan Bahrum Rangkuti tidak hanya menguasai puisi-puisi Igbal yang berbahasa Inggris: tetapi juga da:“i bahasa aslinya, yakni bahasa Urdu. Dan beliau atas jasa M. Natsir, telah berkesempatan bermukim di Pakistan (negeri asal penyair Igbal) untuk masa yang cukup aman.
Dengan kehadiran Bahrum Rangkuti, yang pada zamannya menjadi juru bicara tentang kebudayaan sastra keagamaan di berbagai forum sastra Indonesia, di kemudian hari, sekitar tahun 65 dan 60-an, muncullah beberapa penyair baru yang membawakan nada dasar kepenyairan yang bernafas agama. Di antara yang cukup dikenal adalah Saribi Afn, Muhammad Diponegoro, Armaya dan lain-lain. Saribi Afn telah menyumbangkan karya puisinya yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Gema Lembah Cahaya (PT Pembangunan Jakarta, Ka). Di kalangan penyair yang membawakan nafas tenan yang karyanya sangat bagus adalah penyair Suparwata Wiraatmadja dengan buku kumpulan puisinya Kidung Keramahan (Penerbit Gunun Mulia, Jakarta 1963). Demikian pula Rendra dengan beberapa buku kumpulan puisinya yang lama.
Kecenderungan ini, makin lama tambah subur dalam kehidupan sastra kita. Pada periode tahun 70-an dan 80-an, gejala ini lebih menderas lagi dan bahkan menjadi kesadaran yang lebih mendalam di antara tenaga-tenaga kreatif kita dalam kehidupan kepenyairan zaman ini. Taufig Ismail, Budiman S. Hartojo, Abdul Hadi WM, Ajip Rosidi, Sutardji Calzoum Bachri, Mohammad Diponegoro, dan juga Kuntowijoyo, Hamid Jabbar, Arifin C. Noer, Husni Djamaludin, Abrar Yusra, Ikranegara dan lain-lain telah menggarap puisi bernafas keagamaan lebih kreatif, segar, dan menyadari akan pentingnya kedalaman masalah dalam mencari dan menemukannya. Di tengah-tengah iklim sastra profetik yang juga menggarap karya prosa seperti Danarto, M. Fudoli, Wildan Yatim, Djamil Suherman, Alwan Tafsiri, Mohammad Ali, Ali Audah, Chairul Harun, AA Navis dan lain-lain.
Seperti kita ketahui semangat ini, juga dibarengi dengan sema-ngat. mendedah karya-karya sastra lama: karya-karya Hamzah Fansuri atau Raja Ali Haji mendapat perhatian yang istimewa, dibaca dan dibicarakan dengan penglihatan yang baru. Karyakarya sastra religius dari Timur mulai diterjemahkan dengan penuh minat. Karya-karya Rumi, Igbal, Umar Kayam, Gibran dan lain-lain dipelajari dengan sungguh-sungguh. Juga puisi/sastra Parsi klasik tidak terlewatkan untuk dikaji.
Di sini nampak betapa para sastrawan berusaha menjawab gejolak zamannya, dengan mencari kedalaman di tengah-tengah kedangkalan kehidupan modern saat ini. Suatu keadaan yang terus ditandai oleh watak keduniawian, serba kebendaan, dan keranjingan pada pragmatisme yang terus mengganas yang mewarnai tingkah laku manusia sekarang. Kemajuan-kemajuan keadaan yang pada mulanya sangat kita impikan dan harapkan realisasinya: namun, dampaknya membawa kita kepada suasana yang mencemaskan. Banyaknya perubahan nilai-nilai yang me-ngejutkan dan mencengangkan bagi mereka yang berakal sehat.Inilah mungkin sebab lain, yang mendorong para penyair untuk mengembara ke alam rohani dan yang bersifat transendental itu.
Kecenderungan kedua, adalah nampaknya masih sebagai gagasan suatu relevansi sebuah puisi dalam masyarakat. Seperti yang dikenal dengan teks dan konteksnya, yang oleh beberapa kawan di Jawa Tengah diketengahkan gagasan kontekstual itu Memang gagasan ini belum terasa menjadi arus gerakan yang menjadi. Namun, di sana-sini ada juga penyair yang mencobanya.
Di dalam kehidupan sastra kita, sejak mulanya telah banyak gagasan atau ide tentang seni dan sastra. Kita ingat gagasan Sutan Syahrir pada tahun 30-an tentang relevansi sastra untuk mendidik rakyat yang diperkuat gagasan ini oleh S. Takdir Alisyabana, Kemudian gagasan tentang Humanisme Universal yang mewarnai semangat sastra Angkatan 45. Yang kemudian dikoreksi oleh Angkatan Baru tahun 50-an dengan juru bicaranya Ajip Rosidi dengan makalah "Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia Kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia" (dalam buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?, Bhratara, Jakarta, 1964). Demikian pula tentang gagasan seni dan sastra untuk mengabdi politik yang menjadi dasar pemikiran golongan Lekra tempo hari. Yang telah mendapat perlawanan yang keras oleh para sastrawan manifestan.
Seperti yang kita amati kecenderungan gagasan tentang kontekstual itu, hendak mengajak berpikir kearah perjuangan kemasyarakatan, keadilan atau yang secara umum dinamakan perjuangan kemanusiaan (humanitas). Karya sastra diharapkan menemukan relevansinya (teks dan konteks). Pemrakarsa gagasan ini, memandang seolah-olah karya-karya puisi dan sastra kita selama ini tidak kontekstul, tidak mempunyai relevansi dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat secara aktual (teks dan konteksnya). Orang hendak melupakan karya puisi-puisi Taufig Ismail, Rendra, Leon Agusta, Sutardji, Yudhistira, Adri Darmadji dan lain-lain. Untuk ini saya pernah mengulas dalam “Sekitar pemikiran dan permasalahan sosial dalam puisi Indonesia mutakhir” (majalah Horison, No. 9/ th. XXIII, September 1988) yang pada mulanya saya sampaikan dalam suatau ceramah didepan mahasiswa-mahasiswa FISIP UI tahun 1977.
Kecenderungan ketiga adalah adanya keinginan yang keras untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan pengucapan dan bahasa perpuisian dengan menggali sumbernya yang kaya dari khazanah daerah. Sejak Sutardji mengumumkan Kredo-nya dan kembali pada mantra, yangpada dasarnya adalah suatu usaha untuk menumbuhkan wawasan baru, bentuk-bentuk pengucapan baru dan cita rasa estetika baru yang cocok dengan semangat zaman sekarang ini. Banyak pe-nyair tergerak ke arah usaha-usaha pembaharuan, baik melalui penggalian sumber-sumber kreativitas yang bersumber dari daerah maupun yang klasik de-ngan penglihatan baru dan cahaya yang baru. Di samping itu, Goenawan Muhamad, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Yatman dan lain-lain dalam karya puisinya menunjukkan perubahan-perubahan pengucapan-pengucapan, dan bentuk-bentuk bahasa puisi yang terus berubah. Sehingga menimbulkan kesan yangkuatbahwa tahun 70-an dan 80-an ditandai adanya upaya orang membangun estetika baru dalam perpuisian Indonesia. Perhatian saja pada kumpulan puisi pada Sutardji dalam buku Kapak, perbandingan buku Goenawan Muhamad antara kumpulan buku puisi Parikesit dengan Interlude, Sapardi antara bukunya Dukamu Abadi dengan Perahu Kertas dan lain-lain.
Mengenai ini kita coba menengok ke belakang: upaya-upaya memperbaharui pengucapan puisi, wawasan estetika telah bermula dari awal lahirnya puisi baru Indonesia seperti yang nampak pada karya-karya puisi Rustam Effendi, Yamin, Sanusi Pane, Tatengkeng dan menemukan puncaknya pada Amir Hamzah. Kecenderungan kebangkitan baru ini telah ditunjukkan dengan baik oleh S. Takdir Alisyahbana sebagai juru bicara yang paling terpandang pada zamannya. Silahkan kaji buku Takdir Kebangkitan Puisi Baru Indonesia.
Kemudian Chairil Anwar muncul dengan wawasannya yang baru yang menyuarakan jiwa dan semangat Angkatan 45. Generasi ini telah mendobrak bentuk pengucapan dan estetika perpuisian masa Pujangga Baru. Juru bicara terbaik Angkatan 45 adalah HB Jassin dengan esainya “Angkatan '45" dimuat dalam majalah Seni. Tahun 50-an dan 60-an generasi Angkatan Baru juga menerangkan perbedaannya dengan generasi sebelumnya. Ajip Rosidi menyatakan adanya kecenderungan dan orientasi sastra yang berbeda antara Angkatan 45 dengan angkatan sesudahnya melalui pembicaraan yang telah saya kemukakan di atas. Kemudian Hariyadi S. Hartowardojo terlibat perdebatan yang sengit tentang puisi dengan kelomok Yogyakarta yang melahirkan penyair-penyair seperti Kirdjomuljo, Mansur Samin, Subagio Sastrowardojo, WS Rendra, Hartojo Andangdjaja dan lain-lain.
Namun yang lebih mendasar adalah apa yang diketengahkan oleh penyair Subagio Sastrowardojo dalam makalahnya Situasi Sastera Puisi Sesudah Tahun '45 yang diucapkan di depan forum Pekan Kesenian Mahasiswa di Yogyakarta. Subagio mencoba mendobrak arus epigonisme. Ia berkata: “Sesudah hampir sepuluh tahun Chairil Anwar meninggal, kita kini berdiri di tengah arus epigonisme”.
Pada saat ini memang terasa persajakan Indonesia dikuasai oleh Chairil Anwar, Sitor dan Toto Sudarto Bachtiar. Subagio menandaskan bahwa pengulangan tema dan ekspresi tidak bersemangat lagi. Hanya hasil rutin saja. Keadaan ini dirumuskan dalam dua kemungkinan sebab: pertama, dewasa ini tidak ada pemikiran-pemikiran yang berani yang mendobrak kebiasaan-kebiasaan yang sudah beku, kedua, kita sudah mencapai taraf di mana kita sudah bisa membayangkan diri dengan secepatnya sebagai suatu bangsa. Cita yang sadar tak sadar kita dukung telah menemukan ekspresinya yang uniform dalam puisi. Dalam kesempatan inilah dia menguraikan pendiriannya tentang puisi dan bagaimana seharusnya perkembangan puisi yang akan datang.
Apabila kita membaca puisi-puisinya dari Simponi hingga yang sekarang, terasa bahawa ia sangat konsekwen. Setelah itu kehidupan sastra kita diwarnai oleh pergulatan yang keras antara kaum manifestan dengan golongan Lekra dalam pertengkaran mengenai gagasan sastra.
Kecenderungan keempat adalah makin kuatnya suara para penyair sekarang di tengah-tengah ketegangan dalam menegakkan jati-diri kepenyairannya, menghadapi situasi zamannya yang mengalami berbagai perubahan yang mendasar dengan segala akibatnya, dan keinginannya yang kuat untuk menemukan bahasa puisinya sendiri, dalam tingkat perkembangan puisi yang lebih dari 60 tahun telah menunjukkan kemantapannya dan kedalamannya.
Situasi sekarang menunjukkan kedinamikannya dan pergulatan para penyair mutakhir (penyair muda) yang didukung banyaknya bahan yang melimpah, sarana-sarana kegiatan dan luasnya penerbitan. Banyak kecenderungan yang mewarnai pui si-puisi dan kepenyairan sebelumnya, menemukan cahaya baru dan kegairahan baru. Baik dalam ide atau gagasan, nafas perpuisian, penglihatan terhadap dunia dan alam kehidupan nyata dan yang rohani mendapat penggarapan yang serius. Namun, pergulatan itu sering mencemaskan. Pergulatan untuk mewujudkan pengucapan yang jernih dan terang.
Para penyair periode 80-an menghadapi situasi dan tantangan yang lebih berat seperti yang dikatakan penyair Saini KM dalam kata pengantar buku kumpulan puisi Azep Zamzam Noor yang berjudul Aku Kini Doa (diterbitkan Kelompok Sepuluh, Bandung, 1986), sbb:
“Bentrokan antara nilai dan antara tata nilai membawa dampak yang luas dan dalam bagi mereka yang peka. Bayangkanlah bagaimana seorang anak desa tiba-tiba berada di tengah kota metropolitan.”
"di dalam suatu peristiwa bentrokan nilai, mereka yang peka mengalami kebingungan, kegelisahan, tertekan, muak, risih dan perasaan semacamnya. Ia tidak dapat menerima tata nilai baru yang dihadapinya, akan tetapi ia pun mulai meragukan tata nilai lama yang dibawa dari tempat asalnya. Ia merasa terasing, ia mengalami alienasi.”
Jawaban atas situasi kejiwaan yang demikian bany ak kece-nderungan para penyair sekarang berbicara lebih arif seperti yang nampak dalam puisi Azep Zamzam Noor yang berjudul Aku Lini Doa:
Berbaringlah di sini dan lupakan dunia
Sela debu. Tapi aku tersenyum menyembur udara
Bersama kupu-kupu. Aku kini doa
Tolong jangan kotori bajuku dengan kata-kata:
Lupakan wajahku dan galilah kuburmu untuk
bianglala
Dalam situasi diatas seperti yang diungkapkan Saini KM tadi, nampaknya bagi Saoni Farid Maulana mengalami ketegangan yang lebih berat. Kedua orang penyair ini telah menunjukkan sikap kepenyairan yang jelas dalam menghadapi tantangan zamannya. Namun, pergulatan untuk mewujudkan bentuk pengucapan dan cara menangkap dimensi dan nuansa kehidupan berbeda dalam kadarnya. Coba kita simak sajak Krematorium Matahari (dalam buku Para Penziarah, penerbit Angkasa Bandung, 1987, hal. 71).
Mendengar lalat, berzikir di darah sapi
Di pasar, kucing mengorek tong sampah yang terguling
Tak ada tulang ayam selain bau manusia yang pergi
Dan aku terluka oleh lipstik di bibirmu!
Di berikut perjalanan. Jauh di keheningan hutan
Aku mendengar batu pecah di dasar kali. Di dasar
Hatiku, mengapa Dia yang selalu kutempuh? O, beton
Dan baja di kota, menandai status dan kehormatan!
Dan aku terluka oleh lipstik di bibirmu
Mekar dalam meja kantor-kantor. Dalam kertas perjanjian
Menyeru TV bernyanyi. Menguatkan bau manusia yang pergi
Kau perabukan di tabung hair-spray tanpa doa dan tuhan!
Saya jadi teringat pada acara Penyair Muda Di Depan Forum Tahun 1976 yang juga diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, yang telah memunculkan bebe-rapa penyair Jakarta, Yudistira, Adri Darmadji, Jos Sarhadi, Syarifudin Ach dan lain-lain. Kita melihat gaya pengucapan yang lugas dan tidak mau memberat dalam menjawab dunia sekelingnya, sebutlah umpamanya yang lain mengesankan dari puisi Yudistira, Biarin, Sajak Dolanan Anak-Anak, Sajak Kembang Plastik atau puisi Adri Darmadji Woko Truk, Di Lorong-Lorong dan Potret.
Beberapa tahun yang lalu, kita telah kehilangan penyair muda yang penuh bakat, penyair Kriapur telah meninggalkan kita, tapi warisan puisi-puisinya yang ditulis dalam waktu yang singkat itu, telah mengisi perbendaharaan puisi kita sekarang. Dengan kedalaman spiritual, gaya pengucapan puisi yang matang dan kreatif, banyak puisi-puisinya menimbulkan kesan yang mendalam pada kita. Baik puisi yang membayangkan maut maupun puisinya yang lain. Puisi-puisi surealistis, imajiner dan penuh nuansa yang menjadi ciri puisi yang menjadi. Demikian pula tidak bisa kita lewatkan karya-karya D. Zawawi Imron santri Madura itu. Memberikan warna dan keragaman bentuk, model dan bahasa pengucapan yang segar Zawawi telah mendapat sorotan yang baik dari penyair Subagio Sastrowardojo. Kecenderungan puisi dari dua penyair ini adalah bagian dari proses panjang yang telah dirintis penyair sebelumnya. Namun, mereka tidak kehilangan kepribadiannya dan visinya yang menandai semangat kepenyairan sekarang ini.
Dalam berkas antologi Forum Dialog Penyair Jakarta, tampak arus kuat dari kecenderungan puisi yang bernafas keagamaan seperti puisi-puisi penyair Puji Santosa, E. Edy Effendi, Ahmad Nurullah, M. Nasruddin Anshoriy CH, dan Remmy Novaris DM atau Jamal D. Rahman.
Puisi Afrizal Malna menunjukkan tanda-tanda ke arah perenungan dan meditasi dalam menghadapi situasi lingkungan. Puisi-puisinya lebih tenang dan mengendap (Kontemplatif) meskipun di sana sini bahasa pengucapannya tidak sejernih yang ada dalam puisinya yang terkumpul dalam buku Abad Yang Berlari (diterbitkan oleh Lembaga Penerbit Altermed Yayasan Lingkaran Merah Putih, 1984). Gagasan keterlibatan terhadap yang tertindas, masalah keadilan dan Humanitas itu, yang kuat dalam bukunya terdahulu. Dalam sajak yang sekarang ini pergumulannya, lebih dalam, suasana dan sikap jiwa yang tenang dan mantap. Yang menarik dari Afrizal adalah sikap kepenyairannya. Ia berangkat dari satu titik tolak pendirian yang diyakininya. Pengucapannya lebih terasa longgar dan bebas dalam bentuk yang kita lihat dari puisi itu.
Demikian pula penyair Soeparwan G. Parikesit, yang kaya dengan gagasan sosial dan humanitas, ia menunjukkan sikap yang tegas dan tangguh dalam menilai dan menafsirkan alam dan lingkungannya. Ia sedang bergulat dalam mencari bentuk pengucapan. Namun, mungkin pandangan saya keliru. Mungkin, ia telah sampai pada pengucapan estetikanya yang cocok untuk zaman seperti sekarang ini. Yang menarik: coba bandingkan puisi Rakyat dengan puisi Rakyat karya Hartojo Andangdjaja. Baik nada dasar maupun gagasannya. Dan pemahamannya tentang Rakyat, masalahnya bukan sekadar perbedaan semantik. Dalam sajaknya Diam, kita dapat mengenal gaya kepenyairannya, seperti dua bait sajaknya yang kita turunkan di sini:
dari negeri mana asalnya diam
katakan alamatnya
kan kuberikan bintang lencana kelas satu
ku kalungkan kembang pita biru
diammu diamnya batu diamnya sungai
dari segala telaga yang diam
diam menjajah negeri asalnya suara
menjadikan datang segala bencana
(bait 1 dan 2)
Mengenai puisi-puisi bernafas keagamaan yang ditulis oleh penyair-penyair yang saya ketengahkan di atas tadi, saya melihat betapa kayanya mereka menggali sumber-sumber penciptaannya. Terasa puisinya dilatarbelakangi pengetahuan agama yang cukup dan mendalam. Namun, yang tidak terasa pada saya adalah suasana yang segar dan menggugah. Namun, lagi-lagi saya tidak berani menetapkan nilai tertentu, seperti halnya adanya kelaziman puisi-puisi kita yang berhasil. Bahasa puisi sekarang sedang dibangun. Itulah yang kita nantikan dengan penuh kegairahan. Zaman pencerahan seperti yang dikatakan Abdul Hadi WM, kelak akan diperkaya oleh puisi penyair-penyair ini.
Penyair Wahyu Prasetya, Remmy Novaris DM, HS Djurtatap, menemukan kebebasan kreatif dengan bentuk pengucapan puisi yang mengandung janji. Mereka menemukan bentuk pengucapan yang menunjukkan ciri kepribadian kepenyairannya. Mereka telah membangun dan menata gaya persajakannya dalam suatu pigura, di mana pikiran, angan-angan, impian dan kegelisahannya dan tantangannya bergumul di dalamnya. Suasana yang demikian juga mewarnai karyakarya puisi penyair Nanang R. Supriyatin, Neno Kinanti, Ayid Suyitno PS. Masalah kesunyian, keterasingan, kegelisahan dan impian-impian serta harapan-harapan telah menjadi pokok-pokok yang digeluti dengan visi dan sikap yang lain, yang saya kira akan membedakan corak kepenyairan sekarang. Mereka berdiri dalam arus kepenyairan yang kecenderungannya seperti yang nampak dalam puisipuisi yang dihasilkan oleh para pendahulunya. Namun, semangat mencari estetika baru, menandai dinamika kepenyairannya. Dalam situasi kita yang seka-rang ini, sambil menutup sketsa pembicaraan ini, saya berharap adanya sebuah majalah khusus tentang puisi, sebagai media sastra puisi yang perlu untuk menunjang perkembangan perpuisian kita dewasa ini. Semoga.
Jakarta, 7 November 1980