orde batu: “Penak Jamanku tho?” - Dwi Pranoto
orde batu: “Penak Jamanku tho?”*
Oleh Dwi Pranoto
KAWACA.COM | Tentu saja, orde batu, buku antologi puisi tunggal
ke-5 Ali Ibnu Anwar, tidak ada hubungannya dengan Soeharto. Dari 34 puisi dalam
orde batu tak satupun yang
didedikasikan – baik sebagai bakti maupun kecaman – kepada rezim pemerintahan
Orde Baru. “Penak Jamanku tho?” pada
judul di atas tidak berasosiasi dengan Soeharto; potret Soeharto yang tersenyum
sambil melambaikan tangan seperti gambar di pantat bak-bak truk atau di
stiker-stiker. Tanpa Soeharto, “Penak Jamanku Tho?” adalah ungkapan
sentimentil yang berkaitan dengan nostalgia, kerinduan pada masa lalu yang
membayangi kekecewaan terhadap masa kini.
orde batu
setebal 78 halaman + 6 halaman untuk halaman persembahan, daftar isi, kutipan
UU Hak Cipta, keterangan penerbitan, dan judul buku. Bersampul depan merah
menyala dengan tulisan nama pengarang dan judul berwarna putih yang mengapit
gambar gerbang, semak, dan batu berwarna hitam, orde batu berisi 34 puisi Ali Ibnu Anwar dengan 10 gambar ilustrasi
karya Arief Enpe dan disertai dengan riwayat karya, biodata kreatif penyair,
dan biodata kreatif Ilustrator. Pada sampul belakang, juga berwarna merah
menyala, berisi kutipan “bait” ketiga puisi “orde batu,2” dengan barkod di
pojok kanan bawah dan logo penerbit BUKUINTI di pojok kiri bawah (logo penerbit
ini juga tertera di pojok kanan atas sampul depan) menyebelah tiga logo medsos
akun penerbit.
Kata
bait dalam “. . . berisi kutipan
“bait” ketiga . . .” pada alinea di atas sengaja ditulis dalam dua tanda kutip.
Saya ragu: apakah unit yang terdiri dari sejumlah kalimat yang menjadi bagian
dari puisi dalam hampir semua puisi dalam orde
batu dapat disebut “bait”? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring
definisi “bait” kurang lebih adalah satu kesatuan dalam puisi yang terdiri atas
beberapa baris. Puisi-puisi Ali Ibnu Anwar yang dimuat dalam orde batu hampir semuanya lebih tersusun
dari kalimat daripada baris. Meskipun barangkali beberapa kalimatnya rumpang,
namun susunan kata-kata dalam puisi-puisi tersebut lebih menyerupai kalimat
daripada baris. Apalagi jika kemudian kata “bait” kita cari pengertiannya dalam
bahasa Inggris seperti “strophe” atau
yang lebih umum dan dipakai secara lebih luas “stanza” yang lebih kurang berarti satu kesatuan atau unit dalam
puisi yang berisi sejumlah baris yang diikat dalam suatu konvensi metrum:
sistem ritme dan rima tertentu. Bait dalam puisi-puisi Ali Ibnu Anwar bukan
unit yang menerapkan konvensi metrum tertentu atau tak terikat pada guru lagu,
guru wilangan, dan guru gatra. Apakah dengan demikian puisi-puisi Ali Ibnu
Anwar adalah puisi bebas? Tidak juga. Puisi bebas lebih tersusun dari unit-unit
yang berisi baris-baris, sementara unit dalam puisi-puisi Ali Ibnu Anwar berisi
kalimat-kalimat. Namun demikian kita juga tidak dapat menyebut puisi-puisi
tersebut sebagai tulisan bebas atau prosa. Meskipun unit dalam puisi-puisinya
lebih menyerupai paragraf dari pada bait, tapi penyusunan kata-katanya
mempunyai kualitas puitik seperti padatnya penggunaan majas yang
mengindikasikan upaya memantik dampak sensibilitas, dan penggunaan rima –
terutama rima dalam – (meskipun bukan rima baku). Puisi-puisi Ali Ibnu Anwar
bisa kita sebut sebagai puisi yang ditulis dalam bentuk prosa: puisi
prosa.
Puisi
prosa mempunyai sejarah panjang yang merentang, paling tidak, hingga pada akhir
abad ke tujuhbelas. Meskipun istilah puisi (sajak) prosa secara eksplisit baru
digunakan oleh Charles Baudelaire dalam kata pengantar Paris Spleen yang terbit tahun 1869, tapi bentuk puisi prosa atau
sajak prosa sebenarnya sudah ada sebelum Revolusi Prancis. Tahun 1699 The Adventures of Telemachus karya Fenelon,
Uskup Agung Cambray, terbit secara anonim. The Adventures of Telemachus disebut oleh penulisnya sendiri sebagai
“epik” prosa; istilah yang pada masa itu cukup ganjil, karena epik yang merupakan
jenis sastra yang memperhatikan konvensi metrum puitik dibaurkan dengan prosa
yang merupakan jenis tulisan yang lebih menggunakan modus percakapan
sehari-hari. Fenelon bukan dengan tidak sengaja menggunakan bentuk “puisi
prosa” untuk menulis karya didaktiknya tersebut. Bentuk “puisi prosa” dipilih
oleh Fenelon agar The Adventures of
Telemachus, melalui tokoh Mentor, mengajarkan keutamaan-keutamaan humanisme
dapat menjangkau kalangan pembaca luas dengan penggunaan cakapan sehari-hari,
disamping menegur Raja Louis XIV Prancis yang rezim otokratiknya menyengsarakan
kaum tani dengan pajak dan perang yang mengakibatkan wabah kelaparan. Bentuk
puisi-prosa bukan saja merupakan respon dari bentuk puisi yang terikat dalam
kaidah-kaidah metrum sebagai bentuk yang kuno. The Adventures of Telemachus seperti membuka gerbang awal untuk
gagasan partisipasi publik dalam politik melalui penggunaan cakapan
sehari-harinya yang cair-mengalir dan rekah fajar untuk abad Pencerahan dengan
pengajaran-pengajaran nilai-nilai humanismenya melalui petualangan Telemachus,
putra Ulysses, untuk menemukan kebajikan-kebajikan kuno dengan dipandu oleh
Mentor.
Namun
demikian, puisi prosa baru sungguh-sungguh dianggap sebagai pemberontakan
terhadap konvensi metrum tradisional dan mempunyai pengaruh luas sebagai bentuk
sastra modern setelah Charles Baudelaire menerbitkan karya puisi prosa Paris Spleen. Dalam suratnya kepada
Arsene Houssaye yang mengiringi belasan manuskrip puisinya yang diserahkan
kepada editor La Presse itu,
Baudelaire menulis “Siapa diantara kita
yang tidak impikan, dalam masa-masa yang menggairahkannya, keajaiban
puisi-prosa, musikal tanpa ritme dan rima, cukup lentur dan cukup menggemuruh
untuk diadaptasikan pada gerakan-gerakan liris jiwa, pada gelombang-gelombang
lamunan, pada putaran-putaran dan palingan-palingan yang dibawa kesadaran?(1)”.
Berbeda, bahkan bertentangan, dengan The
Adventures of Telemachus, bahkan dengan Gaspard
of the Night-nya (1842) Aloysius Bertrand yang diakui Baudelaire sebagai
inspirasinya untuk menulis puisi-prosanya, Paris
Spleen bukanlah petualangan atau perjalanan ke masa lalu untuk mencari
kebajikan humanisme atau hikmah keindahan. Paris
Spleen mencebur ke dalam hiruk-pikuk perkotaan, mengekspresikan perasaan
dan pemikiran yang dibentuk oleh menggegasnya perpindahan kolosal orang-orang
dari wilayah-wilayah agraris ke kota-kota industrial yang mengakibatkan
disintegrasi sosial yang luas.
Lantas,
bagaimana karya puisi-prosa Ali Ibnu Anwar dalam orde batu?
Puisi-prosa,
pertama-tama adalah pemberontakan estetik terhadap konvensi metrum tradisional
dan perlawanan simbolik terhadap elit yang memposisikan orang-orang jamak
sekedar latar belakang dalam panggung politik. Selanjutnya, puisi-prosa
disamping masih sebagai pemberontakan estetik juga sebagai pernyataan simbolik
yang tegas akan posisi dan ekspresi politik orang-orang jamak setelah revolusi
industri di mana gagasan individualisme yang dilahirkannya menjadi pondasi
sistem demokrasi. Puisi-prosa, dalam bingkai gagasan individualisme kemudian
berkembang menjadi blank verse (puisi
yang terikat pada sistem ritme metrum tapi berima bebas) dan libre verse (puisi bebas).
Puisi-prosa
hampir tidak dibicarakan dan tidak dibicarakan secara layak dalam sejarah
kesusastraan Indonesia – dalam satu tulisan pendek yang dimuat dalam Mata Puisi dinyatakan dengan ngawur
bahwa prosa tidak berbeda dan tidak dipisahkan dari puisi(2) –.
Namun, puisi bebas, boleh dikatakan sebagai anak kandung dari puisi-prosa, yang
dalam perhitungan kasar muncul pada tahun 1930an mendapatkan perhatian yang
sangat besar. Sebagaimana puisi-prosa, puisi bebas yang muncul tahun 1930an itu
adalah suatu pemberontakan estetik terhadap konvensi metrum tradisional,
terutama pantun. Apa yang perlu dicamkan adalah munculnya pemberontakan estetik
tahun 1930-an yang bertumpu pada gagasan individualisme tersebut, boleh
dikatakan, hampir berbarengan dengan tumbuhnya gagasan berbangsa. Namun
demikian gagasan pemberontakan estetik tersebut, yang dimotori oleh para sastrawan
Pujangga Baru, harus menunggu perwujudannya secara penuh sampai munculnya
Chairil Anwar.
Bagaimana
dengan puisi-prosanya Ali Ibnu Anwar?
Sebagaimana
puisi bebas, saat ini puisi prosa menjadi bentuk yang lazim digunakan oleh para
penyair, meskipun sebagai suatu genre yang mempunyai ciri khas tersendiri
puisi-prosa masih menjadi perdebatan berbagai kalangan. Pada umumnya konsepsi
puisi-prosa didefinisikan dari perspektif puisi dengan penggunaan majas dan
stilistik, meskipun dua kualitas puitik tersebut tak jarang juga terkandung
dalam prosa. Masalah dilematis puisi-prosa sesungguhnya ada di dalam dirinya
sendiri yang membaurkan dua genre yang konsepsinya mempunyai definisi yang
bertentangan.
Namun,
paradoks dalam puisi-prosa tampaknya menjadi kekuatan tersendiri untuk menjadikannya
terus berkembang, mencegahnya menjadi usang. Elan realis yang diperoleh dari
empirisisme sejak The Adventures of
Telemachus pada akhir abad 17 membuat puisi-prosa tak berhenti hanya dengan
melahirkan blank verse dan puisi
bebas. Guncangan hebat dalam pemikiran modernisme yang mengguyahkan kemapanan
konsep-konsep utama kesusastraan dengan mengajukan postulat-postulat menantang
atas nama anti-estetik atau post-puisi membuat status “nir-genre par-excelent”
puisi-prosa menjadi relevan. Bagaimanapun, gerakan Language Poetry tahun 1970an
di Amerika, yang mengambil posisi kritis terhadap New Criticisme dengan
berupaya mengikis jarak antara puisi dengan tuturan sehari-hari dan upaya pelibatan
partisipasi pembaca, berdiri di pundak puisi-prosa. Di Indonesia sendiri,
puisi-puisi Afrizal Malna yang menguras kias metafora dari puisi dan
menyebabkan wabah “korslet semantik” dalam struktur semacam parataxis dan lebih
menggunakan majas metonimi atau sinekdoke, tak bisa lain, adalah perluasan dari
puisi-prosa.
Puisi-prosanya
Ali Ibnu Anwar?
Puisi-puisi
dalam orde batu terstruktur dari
kalimat-kalimat atau klausa-klausa yang disusun secara berurutan membentuk
unit-unit “paragraf” di mana keterkaitan antar “paragraph” lebih sering
membentuk hubungan sebab-akibat dan kronologis daripada hubungan perbandingan. Mari
kita baca “paragraf” pertama dan kedua “epitaf kebun karet”
kusadap masa lalu di belakang pekarangan rumah
nenekku. sungai kecil itu mengalirkan ingatan masa
kanakku. memberaikan kawanan belibis, setelah
kupetik bertangkai daun pakis. di bawah pohon karet,
aku menangis. ditinggal teman-teman mencuri buah
manggis.
bentang sawah ini, dulunya kebun karet yang ditanam
di atas perih tanah petani. getah yang disadap, lebih
likat
dari sedap keringat. dijilati kawanan musang,
mengerat daging mengeringkan tulang.
Sepintas lalu, dua
“paragraf” tersebut masing-masing seolah berdiri secara mandiri dan merupakan
jukstaposisi. Namun, dua “paragraf” tersebut sebenarnya merepresentasikan
ingatan yang mengalir, dari “sungai kecil” ke “bentang sawah”. Sebagaimana
hubungan antar paragraf, hubungan antar kalimat, yang didominasi dengan kalimat
rumpang – seringkali tanpa subyek – dan terpisah dengan partikel titik serta
minim konjungsi, seolah merupakan jukstaposisi meski sesungguhnya kronologis.
Metafora dan rima-dalam, seperti
terbaca dalam dua “paragaraf” di atas tampaknya menempati posisi relatif
penting dalam puisi-puisi Ali Ibnu Anwar untuk membedakannya dari prosa, atau
untuk membentuknya menjadi puisi-prosa. Metafora dan rima-dalam mencegah puisi-puisi tersebut untuk
dibaca seperti membaca tulisan pada kolom-kolom surat kabar. Metafora dalam
puisi-puisi Ibnu kerap digunakan untuk menjalarkan suatu perasaan, terutama
penderitaan, secara hiperbolik. Sebagai misal, “dijilati kawanan musang, mengerat daging mengeringkan tulang” dan “teror gagak” (paragraf ketiga “epitaf
kebun karet”) yang merupakan bahasa figuratif untuk melukiskan penderitaan
petani karet. Demikian juga dengan “lubang
di dadanya berlahar lumpur tanah. matanya mengalirkan berlendir takdir yang
dipelintir.” (“aroma coklat”, paragraf ketiga) yang melukiskan penderitaan
petani coklat. Sementara, rima-dalam, meskipun digunakan relatif tidak secara
konsisten, menjadi aspek musikal yang menandai upaya pengaturan ritme puisi.
Dalam paragraf pertama di atas kita bisa membaca: _ _ _ _ _ _ _ lu / _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ _ _ ku / _ _ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ ku // _ _ _ _ _ _ _ _
_ bis / _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ kis / _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ngis / _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ _ gis //. Dua paragraf awal puisi “kardus” adalah yang paling
padat menggunakan pola rima-dalam (namun, pola ritme yang diciptakannya
membuatnya lebih sebagai rima-akhir). Perulangan “us” di seluruh akhir kalimat
yang dikombinasikan dengan metafora yang hiperbolik tampaknya hendak
menciptakan efek jenaka dari kritik yang dilancarkan. Namun, kejenakaan yang
overdosis, hingga terasa seperti lelucon slapstick,
membuat kritik yang disampaikan seperti terblok dengan sendirinya.
Secara struktural, puisi-prosa dalam
orde batu mengidap kontradiksi di
dalam dirinya: hubungan-hubungan kronologis antar kalimat dan paragraf
dipresentasikan dengan komposisi jukstaposisiona parataxis. Ingatan-ingatan
pada masa lalu hanya mengalir dalam ruang masa lalu itu sendiri. Tidak seperti The Adventures of Telemachus yang
penjelajahannya ke masa lalu berangkat dari dan menuju ke waktu aktual hari ini.
Puisi-prosa dalam orde batu seperti
terjebak atau berpusar dalam masa lalu Satu-satunya pintu keluar dari masa lalu
itu hanya mungkin melalui sentimentalitas personal. Lanskap sosial pergi ke
belakang, hanya menjadi latar. Masa lalu, kemudian, hanya menjadi suaka, tempat
pelarian, dari masa kini yang mengecewakan: penak
jamanku tho? Hal ini bersesuaian dengan kritik-kritik sosial, yang
disampaikan dengan menggunakan metafora yang hiperbolik, bukan hanya menjadi
komik slapstick yang menumpulkan
kritik daripada mempertajam kritik, tapi sekaligus kehilangan konteks sosial
aktualnya.
Keberpusaran dalam waktu semakin
nampak bila kita membaca puisi-puisi yang tidak merepresentasikan penjelajahan
ke masa lalu, seperti pada puisi “mantra bumi gora” dan “kontemplasi tsunami”.
Pada kedua puisi tersebut kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa bencana
berupaya dideskripsikan dalam tiga paragraf (“mantra bumi gora”) dan lima
paragraf (“kontemplasi tsunami). Hubungan antar paragraf dari kedua puisi
tersebut relatif hanya similaritas, tanpa ironi dan tanpa hubungan bertingkat yang
mempresentasikan perubahan intensitas kecemasan. Pada sisi lain, penggunaan
metafora yang hiperbolik, sebagaimana dalam lontaran kritiknya, untuk
mendeskripsikan kecemasan membuat metafora kehilangan fungsi sebagai bahasa
figuratif, dan bahkan menjadi sekedar dekoratif. Upaya mengekspresikan kecemasan dalam
komposisi deskriptif pada kedua puisi tersebut berulang dalam upaya
mengekspresikan kemarahan, dipicu oleh kasus Baiq Nuril, dalam puisi “bulan
jantan”.
Bagaimana dengan “’Penak Jamanku tho?’”?
Puisi-prosa dengan statusnya yang
“nir-genre par-excelent” dan dengan definisi awal Baudelaire bahwa puisi-prosa
adalah “. . . musikal tanpa ritme dan
rima, cukup lentur dan cukup menggemuruh untuk diadaptasi pada gerakan-gerakan
liris jiwa . . .” merupakan wilayah luas kreativitas yang bukan saja dapat
menghasilkan kecemerlangan, tapi juga dapat menghasilkan keboborakan. Sejak Fenelon
yang menyemaikan bibit-bibit humanisme, lalu alegori Baudelaire yang
mengekspresikan vitalitas kehidupan modern yang menggelegak, melewati kaum
Dekaden yang pesolek dan gerakan Puisi Bahasa Amerika yang berupaya menghapus
dikotomi penyair-pembaca, hingga Denny JA yang memanipulasi gagasan demokrasi
literer, puisi-prosa barangkali belum selesai mengejutkan kita dengan pencapaian-pencapaiannya.
orde batu, mungkin dengan lancang,
saya masukan dalam arus pertumbuhan puisi-prosa di Indonesia yang dalam
berpuluh tahun sejarahnya, mungkin sejak Fragmen(3)-nya
Chairil Anwar, dituliskan nyaris tanpa nama atau dengan nama lain.
orde batu,
saya kira, secara tematik adalah potret dari perasaan kolektif yang kecewa
terhadap masa kini. Pelariannya ke masa lalu yang bahkan dapat dibaca dalam
puisi-puisinya yang memaparkan harapan akan masa depan, seperti “nina” dan
“juna”, seperti kekuatan yang menahannya untuk tetap mempertimbangkan dengan
kuat ciri-ciri utama puisi tradisional dalam
komposisi yang dipengaruhi oleh jukstaposisi kekinian.
“Penak jamanku tho?”, tanpa Soeharto.
(1) Who among us has not dreamed, in his ambitious days, of the miracle of a poetic prose, musical without rhythm or rhyme, supple enough and jarring enough to be adapted to the soul’s lyrical movements, to the undulations of reverie, to the twists and turns that consciousness takes?”; baca halaman 3, Charles Baudelaire, Paris Spleen and La Fanfarlo, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Raymond N. Mackenzie, Hackett Publishing Company Inc., 2008,
(2) Baca “Puisi yang Prosais, Prosa yang Puitis” di https://matapuisi.com/2018/03/23/puisi-yang-prosais-prosa-yang-puitis/
(3) Kerap sekali puisi Fragmen
ini dihubungkan, bahkan dianggap terjemahan, dari Preludes of Attitude-nya Conrad Aiken.
*Disampaikan pada diskusi peluncuran buku antologi puisi Orde Batu karya Ali Ibnu Anwar, 12
September 2020, di Kancakona Kopi, Jember.