Memungut Cinta dalam Tetes Hujan - Abd. Muhaimin
Memungut Cinta dalam Tetes Hujan
oleh Abd. Muhaimin
KAWACA.COM | Dari balik jendela kaca yang retak, sepasang mata menembus ruang dan jarak. Menyibak hujan. Menghitung setiap tetes yang jatuh. Aroma tanah yang menarik memori jauh. Tanpa sisa dan tetap utuh. Seperti buih dosa yang luruh.
Angin yang berhembus sore itu tak begitu kencang, pun tak begitu lirih. Hanya sesekali datang dan menggugurkan daun-daun kering yang enggan jatuh dari ranting pohon. berserakan di halaman rumah. membuat karmin, seorang yang memilih kesendirian dalam hidup baru tebersit dalam kepalanya bahwa sudah beberapa bulan terakhir tak menyapu halaman rumahnya.
Dedaunan menebal dan beberapa mulai mengeluarkan bau busuk. apalagi bertamu untuk sekadar membesuk, Orang-orang enggan melewati pagar besi yang berkarat yang di sisi-sisinya penuh dengan tumpukan nasi basi. Dan benar, memang tak pernah ada yang bertamu ke rumahnya. Karmin adalah yatim piatu sejak kecil. Hanya tinggal dengan nenek satu-satunya yang kemudian meninggal saat karmin remaja. Ia tak pernah tahu adakah keluarga yang masih hidup. Jika pun ada pasti tak kan mau mengenalnya. Sebab ia miskin dan tak berharga.
Para tetangga yang dekat dengan rumahnya tak pernah peduli. Saat sakit datang, ia hanya bisa terbatuk-batuk di atas ranjang yang sudah lapuk. Untuk makan dan mandi ia harus tersaruk-saruk menyeret kakinya yang separuh mati rasa.
Jalan di depan rumahnya tak pernah lagi orang menapaki. Orang-orang memilih jalan memutar dari pada melewati depan rumahnya, meski jauh dan penuh rerumput liar. Entah sebab apa. Mengapa ia begitu sangat dibenci. Di samping bau busuk nasi, Apa dosanya memang tak bisa diampuni.
###
Dulu, waktu tubuhnya masih sehat dan otot-otot kuatnya menyembul dari Kulit hitam legam dan lengan yang macam berisi biji mangga. Sebagai lelaki, ia merasa pantas menyombongkan diri, berjalan angkuh bak gangster-gangster kelas teri. Di kalangan para pemulung, ia adalah rajanya. Ia ditakuti dan disegani. Siapa yang tak kenal karmin. Orang Sekampung mengenalnya. Pemulung sekaligus bandit kelas teri. Melihatnya, satpam pun ngeri. Apalagi banci, pasti sudah lari dan berubah menjadi pria kembali.
Hingga terdengar isu si karmin mencintai anak gadis kepala desa. Kemudian Ia menjadi bahan canda dan tawa. "Orang susah kok malah cari susah ingin meminang anak kepala desa yang kaya. Mimpi siang bolong namanya." Begitu kata orang-orang mengejeknya.
"Ha...ha... haha..." semua teman seprofesinya tertawa. Di bawah pohon. melepas lelah saat Matahari begitu terik membakar kepala. "kenapa kau tertawa?, kau tak percaya bahwa nanti aku akan kaya dan kulamar gadis cantik itu" karmin berdiri dengan tangan kiri memegangi pinggang dan tangan kanan yang menepuk-tepuk dada. Kaus usang berdebu yang dipakainya, menghamburkan tanah-tanah yang melekat. Setelah separuh hari bergumul di lautan sampah. Debu beterbangan, sebagaimana mimpinya.
"Jangan kebanyakan mimpi, hidup masih bergantung ke sampah jangan sampai harga diri pun menjadi sampah" dari kejauhan suara itu seperti peluru yang dimuntahkan dan dengan cepat melesat ke telinga si karmin. Ternyata suara yang membuat kepalanya memanas itu tak lain berasal dari si pargo, satu-satunya pemulung yang menentangnya. Ia menghisap rokok, lalu terbatuk-batuk karena asap yang perih di tenggorokannya sebab tertawa.
"Lalu kau apa?" Karmin melempar senyum sinis sambil menunjukkan jarinya.
"ingat, kau menikah hanya tiga hari, lalu cerai tanpa sebab. Jangan-jangan punyamu tak berdiri? Dasar sampah! Pecundang!". karmin merasa terpojok antara marah dan malu. Wajahnya memerah marah. Ditambah panas hari, emosinya mengepul. Tapi dalam hatinya yang marah membunuh, ada sesuatu yang menyumbat. Panas darahnya terbendung. Mulutnya kaku tak berani melanjutkan kalimat.
kawan-kawannya yang mendengar hal yang sangat memalukan di kalangan para lelaki itu senyum-senyum kecil. Seperti ditahan tapi tak bisa. Mereka takut, jika membalas sampai Karmin tersinggung maka akan bernasib sama seperti kawannya yang lain yang seminggu lalu menerima lampiasan emosinya. Hampir meregang nyawa dipukuli tangan besar Karmin. Hanya sebab hal secuil pasir. Begitulah karmin. Jangan buat ia marah apalagi tersiggung, malu pun ia tak akan mengampuni siapapun yang menertawakan. Bisa masuk rumah sakit. Atau dipijat berkali-kali pun ke tukang pijat tak bakal sembuh rasa sakit bekas amukan karmin.
Tubuh berotot yang dibanggakannya, bikin semua orang takut dan tak mau dekat dengannya. Jikalau ia datang pada para pemulung yang berkumpul selagi menghilangkan penat dan lelah, mereka takkan bisa dan berani menghindar dan bubar. Jika iya, maka Karmin bakal tersinggung dan marah lalu hidup mereka bakal tambah melarat tak bisa mengais rezeki dengan tenang, sebab Karmin adalah penguasa semua wilayah tempat pembuangan sampah. Anak buahnya akan mengawasi para pemulung. Bagi yang tidak suka dengannya akan dipukul, dihajar, (atau hal lain yang sangat sadis dan mengerikan), mengganggu keluarganya, menyekap dan menyiksa anaknya, hingga memperkosa istrinya.
Hidup memang begitu adanya, Semua hampir sama. Yang kuat maka berkuasa.
# # #
Di seantero desa, Karmin mulai sebegitu dikenal namanya. Bukan karena keberanian atau lebih tepat keangkuhan dan kesombongannya di kalangan para pemulung, tapi terciumnya kabar bahwa Karmin mengincar gadis kepala desa, orang-orang begitu sangat khawatir jika keinginannya terpenuhi ia akan meresahkan warga desa.
Begitu pula bapak kepala desa. Meski karmin berada dalam derajat kaum bawah yang notabene ditakuti kalangannya, namun ia mulai sedikit resah dan diserang gundah serta khawatir bila gadis satu-satunya yang cantik dan mempesona akan celaka.
Beberapa kali bahkan sering, pembantu rumah tangga si kades melihat Karmin melintas depan pagar rumah dan bergelagat seperti perampok yang mau menjarah isi rumah. Bahkan pernah ketika suatu malam saat satpam yang baru saja dipekerjakan kades sebulan lalu setelah mendengar isu si Karmin mengincar anaknya, menemukan Karmin tengah mengendap-endap di pekarangan belakang rumah seperti mengawasi seseorang. Siapa lagi kalau bukan si putri desa. Namun Karmin secepat kilat kabur melihat satpam yang tak sempat mengejar, keburu ia menghilang di dalam gelap.
Semnejak itu tak pernah ada yang tau maksud Karmin. Anak buah yang tunduk dan bersedia melakukan apa pun untuknya, tak pernah mendapat perintah apa pun. Bisanya jika ingin sesuatu, Karmin biasanya langsung meminta anak buahnya untuk melakukan apa yang mesti dilakukan. Tapi kali ini tidak, mereka pun tak tahu. Jika ada yang bertanya, mereka menjawab bahwa si Karmin sudah lama tak menemui mereka bahkan untuk ngopi dan ngobrol semalam suntuk di warung atau gardu desa. Sudah sebulan, apa ia sudah insaf, begitu di benak mereka.
Semua warga mulai resah. Takut si karmin merencanakan sesuatu di luar sana. Entah menyerang desa atau apa saja yang bisa dilakukan untuk mendapat gadis kepala desa. Otak jahat pasti tak akan jauh dari itu. Jika tidak, tapi itu tak mungkin. hanya satu banding seribu di dunia.
# # #
Di satu sisi, di saat awan mendung, Karmin mengambil kursi dan diseretnya pelan menuju jendela yang sisi-sisinya retak sehabis dipukulnya sehari lalu. lalu duduk menatap sesuatu di balik jendela menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang. Siluet hingga senja indah yang menjadi teman di hari-harinya yang lemah. Sejak sebulan sempurna, ia memilih sendiri berenang dan keluar ke permukaan, keluar dari gelap dan suramnya lautan hidupnya yang berlumur dosa dan duja.
Saban hari yang penuh dengan dosa penyesalan ia sadar apa yang diperbuatnya selama ini adalah kehinaan yang benar-benar hina. Ia yang sudah hidup hina, miskin, ditimpal oleh lakunya yang hina, berlipatlah kehinaan dalam dirinya. Alangkah bodoh dirinya.
Mungkin benar kata temannya, untuk apa mengincar gadis kepala desa yang berada di derajat jauh darinya. Ia pun sadar, namun jika mereka kaum atas bernasib sama seperti dirinya, lantas apa yang akan membuat hati mereka sadar dan lemah. Cinta. Ya, cinta yang membuatnya sadar dari kegilaan meskipun sekarang orang-orang menganggap dirinya berubah gila.
karmin tersenyum pada satpam yang memergokinya waktu itu. "Pasti ia berpikir berhasil mengusirku, padahal dari dalam kamar gadis itu, aku sudah mendengar sebuah cerita yang akan hanya kusimpan untuk hidupku, bukan apa, karena gadis itu yang memintanya."
"Mengapa kau mencintaiku? Aku tak pantas dicintai. Aku sampah. Hina." Gadis itu menangis menatap karmin yang masuk ke kamarnya dari jendela yang dipanjat karmin.
Hujan tumpah dari langit membasahi daun-daun yang berserak dan menumpuk matanya menyibak hujan menghitung setiap tetes yang jatuh seperti dosa yang luruh seperti cinta yang kukuh.
14/07/2020
*Abd. Muhaimin. lahir di Sumenep, 16 januari 2000. Tinggal di desa Kelas, Ambunten, Sumenep. Mahasiswa fakultas Ushuluddin INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah). Puisinya pernah dimuat di media dengan tajuk pangan para tukang (2018). Sekarang mukim di PP. Annuqayah daerah latee, Dalfis. Fb: abdul muhaimin Email: muhaiminazora@gmail.com
oleh Abd. Muhaimin
KAWACA.COM | Dari balik jendela kaca yang retak, sepasang mata menembus ruang dan jarak. Menyibak hujan. Menghitung setiap tetes yang jatuh. Aroma tanah yang menarik memori jauh. Tanpa sisa dan tetap utuh. Seperti buih dosa yang luruh.
Angin yang berhembus sore itu tak begitu kencang, pun tak begitu lirih. Hanya sesekali datang dan menggugurkan daun-daun kering yang enggan jatuh dari ranting pohon. berserakan di halaman rumah. membuat karmin, seorang yang memilih kesendirian dalam hidup baru tebersit dalam kepalanya bahwa sudah beberapa bulan terakhir tak menyapu halaman rumahnya.
Dedaunan menebal dan beberapa mulai mengeluarkan bau busuk. apalagi bertamu untuk sekadar membesuk, Orang-orang enggan melewati pagar besi yang berkarat yang di sisi-sisinya penuh dengan tumpukan nasi basi. Dan benar, memang tak pernah ada yang bertamu ke rumahnya. Karmin adalah yatim piatu sejak kecil. Hanya tinggal dengan nenek satu-satunya yang kemudian meninggal saat karmin remaja. Ia tak pernah tahu adakah keluarga yang masih hidup. Jika pun ada pasti tak kan mau mengenalnya. Sebab ia miskin dan tak berharga.
Para tetangga yang dekat dengan rumahnya tak pernah peduli. Saat sakit datang, ia hanya bisa terbatuk-batuk di atas ranjang yang sudah lapuk. Untuk makan dan mandi ia harus tersaruk-saruk menyeret kakinya yang separuh mati rasa.
Jalan di depan rumahnya tak pernah lagi orang menapaki. Orang-orang memilih jalan memutar dari pada melewati depan rumahnya, meski jauh dan penuh rerumput liar. Entah sebab apa. Mengapa ia begitu sangat dibenci. Di samping bau busuk nasi, Apa dosanya memang tak bisa diampuni.
###
Dulu, waktu tubuhnya masih sehat dan otot-otot kuatnya menyembul dari Kulit hitam legam dan lengan yang macam berisi biji mangga. Sebagai lelaki, ia merasa pantas menyombongkan diri, berjalan angkuh bak gangster-gangster kelas teri. Di kalangan para pemulung, ia adalah rajanya. Ia ditakuti dan disegani. Siapa yang tak kenal karmin. Orang Sekampung mengenalnya. Pemulung sekaligus bandit kelas teri. Melihatnya, satpam pun ngeri. Apalagi banci, pasti sudah lari dan berubah menjadi pria kembali.
Hingga terdengar isu si karmin mencintai anak gadis kepala desa. Kemudian Ia menjadi bahan canda dan tawa. "Orang susah kok malah cari susah ingin meminang anak kepala desa yang kaya. Mimpi siang bolong namanya." Begitu kata orang-orang mengejeknya.
"Ha...ha... haha..." semua teman seprofesinya tertawa. Di bawah pohon. melepas lelah saat Matahari begitu terik membakar kepala. "kenapa kau tertawa?, kau tak percaya bahwa nanti aku akan kaya dan kulamar gadis cantik itu" karmin berdiri dengan tangan kiri memegangi pinggang dan tangan kanan yang menepuk-tepuk dada. Kaus usang berdebu yang dipakainya, menghamburkan tanah-tanah yang melekat. Setelah separuh hari bergumul di lautan sampah. Debu beterbangan, sebagaimana mimpinya.
"Jangan kebanyakan mimpi, hidup masih bergantung ke sampah jangan sampai harga diri pun menjadi sampah" dari kejauhan suara itu seperti peluru yang dimuntahkan dan dengan cepat melesat ke telinga si karmin. Ternyata suara yang membuat kepalanya memanas itu tak lain berasal dari si pargo, satu-satunya pemulung yang menentangnya. Ia menghisap rokok, lalu terbatuk-batuk karena asap yang perih di tenggorokannya sebab tertawa.
"Lalu kau apa?" Karmin melempar senyum sinis sambil menunjukkan jarinya.
"ingat, kau menikah hanya tiga hari, lalu cerai tanpa sebab. Jangan-jangan punyamu tak berdiri? Dasar sampah! Pecundang!". karmin merasa terpojok antara marah dan malu. Wajahnya memerah marah. Ditambah panas hari, emosinya mengepul. Tapi dalam hatinya yang marah membunuh, ada sesuatu yang menyumbat. Panas darahnya terbendung. Mulutnya kaku tak berani melanjutkan kalimat.
kawan-kawannya yang mendengar hal yang sangat memalukan di kalangan para lelaki itu senyum-senyum kecil. Seperti ditahan tapi tak bisa. Mereka takut, jika membalas sampai Karmin tersinggung maka akan bernasib sama seperti kawannya yang lain yang seminggu lalu menerima lampiasan emosinya. Hampir meregang nyawa dipukuli tangan besar Karmin. Hanya sebab hal secuil pasir. Begitulah karmin. Jangan buat ia marah apalagi tersiggung, malu pun ia tak akan mengampuni siapapun yang menertawakan. Bisa masuk rumah sakit. Atau dipijat berkali-kali pun ke tukang pijat tak bakal sembuh rasa sakit bekas amukan karmin.
Tubuh berotot yang dibanggakannya, bikin semua orang takut dan tak mau dekat dengannya. Jikalau ia datang pada para pemulung yang berkumpul selagi menghilangkan penat dan lelah, mereka takkan bisa dan berani menghindar dan bubar. Jika iya, maka Karmin bakal tersinggung dan marah lalu hidup mereka bakal tambah melarat tak bisa mengais rezeki dengan tenang, sebab Karmin adalah penguasa semua wilayah tempat pembuangan sampah. Anak buahnya akan mengawasi para pemulung. Bagi yang tidak suka dengannya akan dipukul, dihajar, (atau hal lain yang sangat sadis dan mengerikan), mengganggu keluarganya, menyekap dan menyiksa anaknya, hingga memperkosa istrinya.
Hidup memang begitu adanya, Semua hampir sama. Yang kuat maka berkuasa.
# # #
Di seantero desa, Karmin mulai sebegitu dikenal namanya. Bukan karena keberanian atau lebih tepat keangkuhan dan kesombongannya di kalangan para pemulung, tapi terciumnya kabar bahwa Karmin mengincar gadis kepala desa, orang-orang begitu sangat khawatir jika keinginannya terpenuhi ia akan meresahkan warga desa.
Begitu pula bapak kepala desa. Meski karmin berada dalam derajat kaum bawah yang notabene ditakuti kalangannya, namun ia mulai sedikit resah dan diserang gundah serta khawatir bila gadis satu-satunya yang cantik dan mempesona akan celaka.
Beberapa kali bahkan sering, pembantu rumah tangga si kades melihat Karmin melintas depan pagar rumah dan bergelagat seperti perampok yang mau menjarah isi rumah. Bahkan pernah ketika suatu malam saat satpam yang baru saja dipekerjakan kades sebulan lalu setelah mendengar isu si Karmin mengincar anaknya, menemukan Karmin tengah mengendap-endap di pekarangan belakang rumah seperti mengawasi seseorang. Siapa lagi kalau bukan si putri desa. Namun Karmin secepat kilat kabur melihat satpam yang tak sempat mengejar, keburu ia menghilang di dalam gelap.
Semnejak itu tak pernah ada yang tau maksud Karmin. Anak buah yang tunduk dan bersedia melakukan apa pun untuknya, tak pernah mendapat perintah apa pun. Bisanya jika ingin sesuatu, Karmin biasanya langsung meminta anak buahnya untuk melakukan apa yang mesti dilakukan. Tapi kali ini tidak, mereka pun tak tahu. Jika ada yang bertanya, mereka menjawab bahwa si Karmin sudah lama tak menemui mereka bahkan untuk ngopi dan ngobrol semalam suntuk di warung atau gardu desa. Sudah sebulan, apa ia sudah insaf, begitu di benak mereka.
Semua warga mulai resah. Takut si karmin merencanakan sesuatu di luar sana. Entah menyerang desa atau apa saja yang bisa dilakukan untuk mendapat gadis kepala desa. Otak jahat pasti tak akan jauh dari itu. Jika tidak, tapi itu tak mungkin. hanya satu banding seribu di dunia.
# # #
Di satu sisi, di saat awan mendung, Karmin mengambil kursi dan diseretnya pelan menuju jendela yang sisi-sisinya retak sehabis dipukulnya sehari lalu. lalu duduk menatap sesuatu di balik jendela menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang. Siluet hingga senja indah yang menjadi teman di hari-harinya yang lemah. Sejak sebulan sempurna, ia memilih sendiri berenang dan keluar ke permukaan, keluar dari gelap dan suramnya lautan hidupnya yang berlumur dosa dan duja.
Saban hari yang penuh dengan dosa penyesalan ia sadar apa yang diperbuatnya selama ini adalah kehinaan yang benar-benar hina. Ia yang sudah hidup hina, miskin, ditimpal oleh lakunya yang hina, berlipatlah kehinaan dalam dirinya. Alangkah bodoh dirinya.
Mungkin benar kata temannya, untuk apa mengincar gadis kepala desa yang berada di derajat jauh darinya. Ia pun sadar, namun jika mereka kaum atas bernasib sama seperti dirinya, lantas apa yang akan membuat hati mereka sadar dan lemah. Cinta. Ya, cinta yang membuatnya sadar dari kegilaan meskipun sekarang orang-orang menganggap dirinya berubah gila.
karmin tersenyum pada satpam yang memergokinya waktu itu. "Pasti ia berpikir berhasil mengusirku, padahal dari dalam kamar gadis itu, aku sudah mendengar sebuah cerita yang akan hanya kusimpan untuk hidupku, bukan apa, karena gadis itu yang memintanya."
"Mengapa kau mencintaiku? Aku tak pantas dicintai. Aku sampah. Hina." Gadis itu menangis menatap karmin yang masuk ke kamarnya dari jendela yang dipanjat karmin.
Hujan tumpah dari langit membasahi daun-daun yang berserak dan menumpuk matanya menyibak hujan menghitung setiap tetes yang jatuh seperti dosa yang luruh seperti cinta yang kukuh.
14/07/2020
*Abd. Muhaimin. lahir di Sumenep, 16 januari 2000. Tinggal di desa Kelas, Ambunten, Sumenep. Mahasiswa fakultas Ushuluddin INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah). Puisinya pernah dimuat di media dengan tajuk pangan para tukang (2018). Sekarang mukim di PP. Annuqayah daerah latee, Dalfis. Fb: abdul muhaimin Email: muhaiminazora@gmail.com