Istri Kena Tilang, Suami tak Jadi Pulang
Istri Kena Tilang, Suami tak Jadi Pulang
oleh Wahyu Bray
KAWACA.COM |Sebutlah namanya Ilham, teman saya kerja di tempat fotocopy. Seperti biasa, kami selalu gantian untuk pulang kampung ketemu anak istri dan keluarga. Umumnya habis gajian, entah sebulan atau dua bulan sekali. Pulang pun kami tak lama, paling hanya dua sampai tiga hari.
Bulan ini, tiba giliran Ilham untuk pulang. Sebagaimana perantau mau mudik, Ilham sudah beres-beres sehari sebelumnya. Mulai dari nyuci baju, memasukkan oleh-oleh ke dalam tas, beli obat kuat diam-diam, dan sebagainya.
"Wah, jadi pulang, Bro?" Goda saya.
"Jadi, dong..." Sambutnya senyum-senyum tipis.
Tentu saja, kebahagiaan seorang perantau seperti kami, salah satunya saat akan pulang kampung. Namun kebahagiaan kata sebagian orang bijak, seperti dua sisi mata uang logam, selalu bersamaan dengan kesedihannya. Misal, saat akan balik ke kota rantau, kesedihan seperti menjalar seketika. Demikianlah hidup!
Pagi, saat saya buka toko, Ilham terlihat murung dan lemas seperti selembar kertas fotocopy yang terkena air.
"Bro, kok galau gitu?"
"Iya, nih..."
"Loh kenapa?"
"Saya tak jadi pulang."
"Kok gak jadi, Bro?"
Dia diam sesaat, melempar pandang ke jalan, ke kendaraan yang lewat dengan tujuan masing-masing. Suasana pagi sedikit mendung, apalagi tanpa kicau burung seperti di kampung.
"Kenapa gak jadi, Bro?" Saya tanya lagi.
"Anu, Bro. Istri saya tadi pagi-pagi WA, dia sedang kena tilang katanya."
"Kena tilang? Apa hubungannya dengan kamu gagal mudik?"
"Kena tilang maksudnya lagi merah, mulai datang bulan, Broooo..."
"Hahahaha, itu toh...Yaelahhh."
"Puas? Puas?!!"
Kami tertawa bersama dan saling pandang penuh keakraban.
"Bro, ini saya kasih tahu ya, pulang kampung itu, tidak hanya untuk ketemu istri dan tujuannya bukan hanya itu toh? Namun untuk ketemu anak, dan orang tua dengan tujuan kebahagiaan."
"Iya, sih, tetapi kalau kebahagiaan yang itu tidak dirasakan, kebahagiaan lain jadi tidak sempurna, Bro."
"Kwkwkwkwk."
Kami pun kembali tertawa tanpa saling memandang. Seolah sedang menertawakan nasib masing-masing sebagai perantau: Jauh dari anak istri dan keluarga. Hanya harapan yang menjadikan kami kuat bertahan!
oleh Wahyu Bray
KAWACA.COM |Sebutlah namanya Ilham, teman saya kerja di tempat fotocopy. Seperti biasa, kami selalu gantian untuk pulang kampung ketemu anak istri dan keluarga. Umumnya habis gajian, entah sebulan atau dua bulan sekali. Pulang pun kami tak lama, paling hanya dua sampai tiga hari.
Bulan ini, tiba giliran Ilham untuk pulang. Sebagaimana perantau mau mudik, Ilham sudah beres-beres sehari sebelumnya. Mulai dari nyuci baju, memasukkan oleh-oleh ke dalam tas, beli obat kuat diam-diam, dan sebagainya.
"Wah, jadi pulang, Bro?" Goda saya.
"Jadi, dong..." Sambutnya senyum-senyum tipis.
Tentu saja, kebahagiaan seorang perantau seperti kami, salah satunya saat akan pulang kampung. Namun kebahagiaan kata sebagian orang bijak, seperti dua sisi mata uang logam, selalu bersamaan dengan kesedihannya. Misal, saat akan balik ke kota rantau, kesedihan seperti menjalar seketika. Demikianlah hidup!
Pagi, saat saya buka toko, Ilham terlihat murung dan lemas seperti selembar kertas fotocopy yang terkena air.
"Bro, kok galau gitu?"
"Iya, nih..."
"Loh kenapa?"
"Saya tak jadi pulang."
"Kok gak jadi, Bro?"
Dia diam sesaat, melempar pandang ke jalan, ke kendaraan yang lewat dengan tujuan masing-masing. Suasana pagi sedikit mendung, apalagi tanpa kicau burung seperti di kampung.
"Kenapa gak jadi, Bro?" Saya tanya lagi.
"Anu, Bro. Istri saya tadi pagi-pagi WA, dia sedang kena tilang katanya."
"Kena tilang? Apa hubungannya dengan kamu gagal mudik?"
"Kena tilang maksudnya lagi merah, mulai datang bulan, Broooo..."
"Hahahaha, itu toh...Yaelahhh."
"Puas? Puas?!!"
Kami tertawa bersama dan saling pandang penuh keakraban.
"Bro, ini saya kasih tahu ya, pulang kampung itu, tidak hanya untuk ketemu istri dan tujuannya bukan hanya itu toh? Namun untuk ketemu anak, dan orang tua dengan tujuan kebahagiaan."
"Iya, sih, tetapi kalau kebahagiaan yang itu tidak dirasakan, kebahagiaan lain jadi tidak sempurna, Bro."
"Kwkwkwkwk."
Kami pun kembali tertawa tanpa saling memandang. Seolah sedang menertawakan nasib masing-masing sebagai perantau: Jauh dari anak istri dan keluarga. Hanya harapan yang menjadikan kami kuat bertahan!