Puisi-Puisi M. Sattar Syam
KAWACA.COM | M. Sattar Syam, lahir di Sumenep, Madura. Menyukai buku dan sastra sejak kecil. Puisi-puisinya telah dimuat sejumlah media. Pria kalem berkumis ini, terus mengabdi di Pondok Pesantren Annuqayah sebagai guru, pustakawan, dan pembina komunitas sastra. Dia termasuk salah satu sosok yang setia mendorong perkembangan sastra di pesantren.
Bukit Rantani tak menjulang tinggi
Membangun sejarah Desa Candi
dengan kerikil-kerikil gigil
Memeluk pasir selemas sisir
dari hanyutan air yang mengalir
Membekas kali-kali kecil tanpa kuali
Bersama hujan menggenangi
Sawah mendendangkan padi.
Bukit Rantani tak menjulang tinggi
Sebab keangkuhan tak pernah dipuji
Ilalang membulu di sekujur tubuh
Menobatkan siwalan kukuh tumbuh
Menyanding kosambi dan murtasia
Bukit Rantani tak menjulang tinggi
Ruh mengeram bumi, ruang sunyi
Antara kicau Koju' di reranting
Desau angin melingkup siul-siul panae' pada
Terbit fajar dan gerak pengantar matahari pada senja
Bukit Rantani
Menutup tuai sentuhan teknologi
tapi kicau Curut, Eddhas, curut coccorong, dan derit Keskes beserta tarian Jalak dan Jangkepot
hanya sisa rekaman dua puluh sembilan tahun
yang lalu
Rantani,
Tutuplah suara perawanmu
dendangan semak-semak belukar
dengan kegelisahan makam bajang
hingga desis ular dan raung serigala
menyatu di otakmu
Mengagumimu
Bagiku untukmu terlalu sederhana
Sesederhana langit dan laut dalam warna
Namun mulut dan hati berlain koma
Hingga petika piano kehilangan irama.
Getir-getir menahan alir air liur,
Di aroma cabbi, cokka, dan mangga berbaur
Gemeretak geligi tak pernah mengendur,
Sampai kubawa mimpiku dalam tidur.
Siapa tahu angin nyanyikan Burung Kepudang
Menerpa daun kering berbalik dada.
Saat kutunggu jua pun datang.
Dari tidurmu yang sesaat saja sadar.
Nyanyianku tak lagi bermakna
Semua jalan kehabisan tabun
Seperti almanak ketinggalan tahun
Lalu kubiarkan engkau bertembang pesona
Di akhir bait kukuburkan pilu
Saat uban di jenggot sampai ke dahi
Bersama tanggal-tanggal memenggal sisa usia
Harap-Khawatir merayap senja.
Termangu
Di sini aku terjerat pada warnamu yang
Menjeruk
Lalu ingatanku terikat pada kursi, meja,
Papan, dan segenap aksesoris pelumat Awal-awal umurku yang pesona.
Dari sapu yang lupa disapu,
Baju kumal setrika tak kenal,
Kopyah aroma keringat menyengat.
Rasa rindu menderu-bergemuruh, ada
Kenang menyelinap, dari cinta dan dusta,
dari senyum dan monyong, dari gelak tawa
dan sumpah serapah, lalu kubingkai
Di memori laluku.
Dari sini, saat tahun mengunyah asa, aku
Hanya bisa membungkus doa, semoga sua
Kurangkul lagi di lain sudut dan alam akhir
Saat-saat yang lain
Dan akhir-akhir alam
Sambil membuat antat-antat
titian ke puncak bukan sekadar siwalan.
Puisi-Puisi M. Sattar Syam
Bukit RantaniBukit Rantani tak menjulang tinggi
Membangun sejarah Desa Candi
dengan kerikil-kerikil gigil
Memeluk pasir selemas sisir
dari hanyutan air yang mengalir
Membekas kali-kali kecil tanpa kuali
Bersama hujan menggenangi
Sawah mendendangkan padi.
Bukit Rantani tak menjulang tinggi
Sebab keangkuhan tak pernah dipuji
Ilalang membulu di sekujur tubuh
Menobatkan siwalan kukuh tumbuh
Menyanding kosambi dan murtasia
Bukit Rantani tak menjulang tinggi
Ruh mengeram bumi, ruang sunyi
Antara kicau Koju' di reranting
Desau angin melingkup siul-siul panae' pada
Terbit fajar dan gerak pengantar matahari pada senja
Bukit Rantani
Menutup tuai sentuhan teknologi
tapi kicau Curut, Eddhas, curut coccorong, dan derit Keskes beserta tarian Jalak dan Jangkepot
hanya sisa rekaman dua puluh sembilan tahun
yang lalu
Rantani,
Tutuplah suara perawanmu
dendangan semak-semak belukar
dengan kegelisahan makam bajang
hingga desis ular dan raung serigala
menyatu di otakmu
Mengagumimu
Bagiku untukmu terlalu sederhana
Sesederhana langit dan laut dalam warna
Namun mulut dan hati berlain koma
Hingga petika piano kehilangan irama.
Getir-getir menahan alir air liur,
Di aroma cabbi, cokka, dan mangga berbaur
Gemeretak geligi tak pernah mengendur,
Sampai kubawa mimpiku dalam tidur.
Siapa tahu angin nyanyikan Burung Kepudang
Menerpa daun kering berbalik dada.
Saat kutunggu jua pun datang.
Dari tidurmu yang sesaat saja sadar.
Nyanyianku tak lagi bermakna
Semua jalan kehabisan tabun
Seperti almanak ketinggalan tahun
Lalu kubiarkan engkau bertembang pesona
Di akhir bait kukuburkan pilu
Saat uban di jenggot sampai ke dahi
Bersama tanggal-tanggal memenggal sisa usia
Harap-Khawatir merayap senja.
Termangu
Di sini aku terjerat pada warnamu yang
Menjeruk
Lalu ingatanku terikat pada kursi, meja,
Papan, dan segenap aksesoris pelumat Awal-awal umurku yang pesona.
Dari sapu yang lupa disapu,
Baju kumal setrika tak kenal,
Kopyah aroma keringat menyengat.
Rasa rindu menderu-bergemuruh, ada
Kenang menyelinap, dari cinta dan dusta,
dari senyum dan monyong, dari gelak tawa
dan sumpah serapah, lalu kubingkai
Di memori laluku.
Dari sini, saat tahun mengunyah asa, aku
Hanya bisa membungkus doa, semoga sua
Kurangkul lagi di lain sudut dan alam akhir
Saat-saat yang lain
Dan akhir-akhir alam
Sambil membuat antat-antat
titian ke puncak bukan sekadar siwalan.