Perihal Moralitas Kaum Seniman - Muhamad Pauji
Perihal Moralitas Kaum SenimanOleh Muhamad Pauji
-Kritikus sastra, aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)
KAWACA.COM | Tema sentral yang seringkali menjadi garapan para seniman dan sastrawan peraih nobel di zaman post industrial ini adalah tema kesendirian atau kesunyian. Bukan hanya secara fisik tetapi lebih mendalam lagi, yakni keterasingan secara kultural dan spiritual. Fenomena ini nampak juga di kalangan seniman dan intelektual muda, termasuk para jurnalis yang berwawasan terbuka, seakan-akan mereka tidak lagi punya ikatan batin dengan dunia wayang maupun mitologi Jawa.
Generasi baru justru lebih banyak tahu tentang seluk-beluk peristiwa kematian Lady Diana, Freddy Mercury hingga Michael Jackson. Dan berapa persen dari mereka yang menguasai seluk-beluk sejarah R.A. Kartini, Cut Nyak Dien hingga Fatmawati Soekarno, ketimbang peristiwa perkawinan Madonna, Krisdayanti maupun Sophia Latjuba. Tetapi, kita boleh membuat perumpamaan secara lain, sebab karakter khas alienasi bangsa kita jelas berbeda dengan orang-orang Eropa-Amerika (Barat). Begitupun konsep mitologi Jawa yang memandang hidup sebagai persinggahan sementara, yang juga berbeda dengan pandangan mitologi India tentang konsep maya maupun mukswa.
Bila kita mau jujur dengan kehidupan keberagamaan kita, benarkah kaum muslimin Indonesia lebih fokus dan konsekuen memuja “Allah” sebagai “Rabb, Tuhan Yang Maha Esa”, tanpa dicampuri dengan dewa-dewi, dukun dan orang pintar? Bahkan, kuburan keramat yang pada dasarnya tidak ada tempat dalam kosmos Islam? Betulkah orang-orang Kristen sanggup melepaskan diri dari dunia mistik akan adanya hantu gendruwo, tuyul, maupun ketakutan pada hukum karma, meskipun sebenarnya tidak ada dalam teladan iman kristiani, maupun cinta kasih Yesus.
Eksistensialisme yang banyak tergambar dalam sajak-sajak Chairil Anwar, Rendra hingga roman Iwan Simatupang sebenarnya hanyalah tren dunia Barat pada dasawarsa-dasawarsa setelah kemuakan Perang Dunia II. Jadi, tak ubahnya semacam the last cry dari gemuruh guntur terakhir setelah hujan badai berlalu. Meskipun kita akui bahwa para sastrawan beraliran eksistensialisme ini memang cukup tajam analisisnya tentang fenomena kehidupan, bahkan tentang kesewenangan para penguasa. Tetapi, kini dunia Barat mempunyai rumus lain, The Post Industrial Society, dan bersamaan dengan itu muncul pula para sastrawan yang menggugat, bahwa mindset dan paradigmanya tetap sama, yakni melahirkan manusia-manusia hedonis yang mengejar target kenikmatan duniawi atau kesenangan sesaat.
“Karena itu untuk membaca manusia masakini, yang disebut ‘manusia modern’ ini, adalah mempelajari unsur irasionalitas yang ada pada dirinya, yakni dunia bawah sadar yang tak mampu dia bahasakan, bahkan tak sanggup dia kendalikan, yang pada dasarnya mereka ingin menghindari hal-hal yang bersifat naluriah hewani itu.” Ungkapan yang keluar dari penulis novel Perasaan Orang Banten ini, agaknya sulit dipahami. Namun, belakangan penulis menemukan benang merah dengan hasil penelitian Sigmund Freud hingga muridnya Gustav Jung, para pakar psikoanalisa (psikologi analitis), yang sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan di kalangan akademisi manapun.
Lalu, siapakah itu Sigmund Freud, yang memandang jiwa manusia seakan-akan terra incognita, sebagai tanah tak bertuan yang mesti digarap, bahkan dalam soal amal perbuatan dan pandangan religiusitasnya sekalipun? Bila para ahli bio engin eers yang tergambar dalam film peraih Oscar “Avatar” (garapan sutradara James Cameron), mampu membuat orang yang hiperseks tiba-tiba menjadi normal atau dingin seks, hanya dengan suntikan beberapa tetes zat kimia saja? Atau justru sebaliknya, seorang santriwati yang solehah tiba-tiba menjadi binal dan maniak seks? Bagaimanakah tanggung jawab moral dan peran agama, bila hanya beberapa suntikan bahan kimia, mampu membuat seorang religius menjadi kriminal, kemudian seorang preman urakan tiba-tiba menjadi taat dan soleh? Lalu, apa fungsi ketuhanan, dan segala anjuran dan perintah agama yang didakwahkan itu?
Untuk menekan dan mengurangi jumlah korban bunuh diri di Gunung Kidul, Yogyakarta (kasus bunuh diri tertinggi di Indonesia, selama beberapa tahun ini), bukankah harus diimbangi kadar kapur pada air minum yang dikonsumsi penduduk, yakni suatu zat lithium yang dapat menimbulkan perasaan depresi yang berlebihan setelah darah itu naik di sekitar kepala dan otak?
Di sinilah peran sastrawan dan seniman yang sanggup menelusuri kedalaman psikologi manusia. Sebab, merekalah yang berjuang keras menjelajahi alam bawah sadar, bagaikan manusia-manusia laboratorium yang bereksperimen dengan mesin-mesin diesel. Meskipun kita menyadari bahwa kompleksitas kehidupan tentu lebih rumit daripada sekadar menampilkan sosok figur maupun tokoh. Tetapi paling tidak, pergelutan pemikiran selama puluhan tahun yang diteladani para sastrawan, merupakan teladan mulia dari pencarian konsep tentang filsafat manusia, termasuk religiositas dan filsafat manusia Indonesia itu sendiri.
Sudah mampukah para seniman kita menjelajahi alam bawah sadar kolektif, tentang impian-impian hingga mitos baru orang-orang Indonesia, yang tak bisa dihindari bahwa mereka pun adalah bagian dari manusia-manusia hiper-modern juga. *