Pusai-Pusai Pilihan (5)
Pusai-Pusai Pilihan (5)
KAWACA.COM | Menulis pusai tidak susah. Modal utama kelenturan bahasa. Ini meyangkut rasa bahasa. Dari situlah estetika dibangun. Bagaimana memilah dan memilih kata untuk direnda dalam diksi yang enak dibaca, diucap, didengar, dirasa. Gampang kan? Apalagi diksi yang disandangkan dalam struktur fisik sebuah pusai itu hanya ‘hemat kata’. Tidak perlu betele-tele, berputar-putar, meliuk-liku, membahana atau pun terbang ke awang. Ibarat orang berjalan, di darat saja, nggak usah berenang atau pun terbang. Yang biasa-biasa saja. Jalan lempeng. Lurus. Mudah dipahami pembaca dan cepat sampai ke tujuan, tapi wajar. Ada pun isi selalu berorientasi ke masa depan. Apa sih yang akan dilakukan nanti, esok, lusa, besok, minggu, bulan, tahun depan, dan seterusnya. Jadi simpel saja. Tentu pilihan untuk melakukan itu yang positif, yang bermanfaat, yang bermaslahat. Bukan yang negatif dan destruktif. Bukan yang merusak suasana, keadaan, lingkungan, kehidupan. Gampang toh?
Dalam laman beranda akun facebook-nya, penyair yang juga pemerhati filsafat dan agama, Prof. Abdul Hadi WM, menulis tentang situasi pandemi corona dan meyarankan langkah ‘jalan tengah’. “Jalan tengah itu adalah jalan semua agama,” konon antara lain tulis sang penyair. Ya, ya, jalan tengah adalah jalan penyeimbang. Tidak berat sebelah, baik ke kanan maupun ke kiri. Ia moderat. Berkeadilan yang bijak. Jalan kebajikan. Pusai pun demikian. Ia mengacu ke jalan tengah, moderat, tidak ekstrim, dalam melihat dan menuju ke masa depan. Ia harus berada di titik sentral keseimbangan di antara partikel-partikel kehidupan ini, setia menganut gerak yang runut seperti gerak putaran bumi pada sumbunya. Oleh karenannya ia melihat bahwa masa depan tidak lebih baik atau lebih buruk dari masa lalu dan masa kini, karena waktu adalah ruang (bumi) yang bergerak pada porosnya di hadapan matahri seirama gerak benda-benda langit pada tatasurya.
Dengan intro di atas mari kita menyimak dan menikmati pusai-pusai Anto Cypo (Anto Mojag). Pemuda belum genap 23 tahun, kini mukim di Gowongan Lor, Yogyakarta. Karyawan swasta ini mengaku masih awam dalam hal pengalaman di dunia sastra. “Cuma jadi member (aktif maupun pasif) di beberapa grup sastra facebook,” celotehnya. Tapi pusai-pusainya memiliki kekuatan diksi yang layak kita simak, seperti di bawah ini.
PASCACORONA
tak ada lagi api
yang mengikat lankah di tepi
batas-batas pun disusun rebah
sejajar getah –
yang sewarna darah
tak ada lagi api
pad mata yang menilik ke kiri
jalan baru pun digelar di tengah
menuju rumah –
yang sewarna tanah
Jogja, 5/4/2020
PULIH
karena ujung perjalanan adalah rumah
gugus angka bersekutu dengan tanah
Jogja, 3/4/2020
SETENGAH TIANG
duka adalah jejak
yang tadiam, ia megibarkan
alasan untuk menang
Jogja, 5/4/2020
TENTANG SKALA
di sepetak kecil ranjang
di secuil dari delapan jam
mimpi seluas peradaban
Jogja, 4/4/2020
KAPAL PERANG
bumi ini kapal perang
sebelum esok lawan meteor
tambal dulu itu bocor
Jogja, 5/4/2020
MENELEPON IBU
besok lebaran aku takbsa pulang
karena aku butuh lebih banyak sungkerm
pada banyak lebaran mendatang
Jogja, 6/4/2020
MENGEJA BENDUNGAN
bandang dibelah
menjadi kanal-kanal
yang dibelah
menjadi parit-parit
yang dibelah
menjadi langkah
Jogja, 6/4/2020
KONTAK
bukan samudra bukan tebing
setiap kita dipisah jurang –
dan bukan pesta diantar angin
luka bersama jadi jembatan
Jogja, 7/4/2020
DALAM PIGURA
(untuk: alm. Dr. Surono)
kau terus hidup
sebagai kejernihan
jiwa yang merunut
pangkal teguran
Jogja, 7/4/2020
KAWACA.COM | Menulis pusai tidak susah. Modal utama kelenturan bahasa. Ini meyangkut rasa bahasa. Dari situlah estetika dibangun. Bagaimana memilah dan memilih kata untuk direnda dalam diksi yang enak dibaca, diucap, didengar, dirasa. Gampang kan? Apalagi diksi yang disandangkan dalam struktur fisik sebuah pusai itu hanya ‘hemat kata’. Tidak perlu betele-tele, berputar-putar, meliuk-liku, membahana atau pun terbang ke awang. Ibarat orang berjalan, di darat saja, nggak usah berenang atau pun terbang. Yang biasa-biasa saja. Jalan lempeng. Lurus. Mudah dipahami pembaca dan cepat sampai ke tujuan, tapi wajar. Ada pun isi selalu berorientasi ke masa depan. Apa sih yang akan dilakukan nanti, esok, lusa, besok, minggu, bulan, tahun depan, dan seterusnya. Jadi simpel saja. Tentu pilihan untuk melakukan itu yang positif, yang bermanfaat, yang bermaslahat. Bukan yang negatif dan destruktif. Bukan yang merusak suasana, keadaan, lingkungan, kehidupan. Gampang toh?
Dalam laman beranda akun facebook-nya, penyair yang juga pemerhati filsafat dan agama, Prof. Abdul Hadi WM, menulis tentang situasi pandemi corona dan meyarankan langkah ‘jalan tengah’. “Jalan tengah itu adalah jalan semua agama,” konon antara lain tulis sang penyair. Ya, ya, jalan tengah adalah jalan penyeimbang. Tidak berat sebelah, baik ke kanan maupun ke kiri. Ia moderat. Berkeadilan yang bijak. Jalan kebajikan. Pusai pun demikian. Ia mengacu ke jalan tengah, moderat, tidak ekstrim, dalam melihat dan menuju ke masa depan. Ia harus berada di titik sentral keseimbangan di antara partikel-partikel kehidupan ini, setia menganut gerak yang runut seperti gerak putaran bumi pada sumbunya. Oleh karenannya ia melihat bahwa masa depan tidak lebih baik atau lebih buruk dari masa lalu dan masa kini, karena waktu adalah ruang (bumi) yang bergerak pada porosnya di hadapan matahri seirama gerak benda-benda langit pada tatasurya.
Dengan intro di atas mari kita menyimak dan menikmati pusai-pusai Anto Cypo (Anto Mojag). Pemuda belum genap 23 tahun, kini mukim di Gowongan Lor, Yogyakarta. Karyawan swasta ini mengaku masih awam dalam hal pengalaman di dunia sastra. “Cuma jadi member (aktif maupun pasif) di beberapa grup sastra facebook,” celotehnya. Tapi pusai-pusainya memiliki kekuatan diksi yang layak kita simak, seperti di bawah ini.
PASCACORONA
tak ada lagi api
yang mengikat lankah di tepi
batas-batas pun disusun rebah
sejajar getah –
yang sewarna darah
tak ada lagi api
pad mata yang menilik ke kiri
jalan baru pun digelar di tengah
menuju rumah –
yang sewarna tanah
Jogja, 5/4/2020
PULIH
karena ujung perjalanan adalah rumah
gugus angka bersekutu dengan tanah
Jogja, 3/4/2020
SETENGAH TIANG
duka adalah jejak
yang tadiam, ia megibarkan
alasan untuk menang
Jogja, 5/4/2020
TENTANG SKALA
di sepetak kecil ranjang
di secuil dari delapan jam
mimpi seluas peradaban
Jogja, 4/4/2020
KAPAL PERANG
bumi ini kapal perang
sebelum esok lawan meteor
tambal dulu itu bocor
Jogja, 5/4/2020
MENELEPON IBU
besok lebaran aku takbsa pulang
karena aku butuh lebih banyak sungkerm
pada banyak lebaran mendatang
Jogja, 6/4/2020
MENGEJA BENDUNGAN
bandang dibelah
menjadi kanal-kanal
yang dibelah
menjadi parit-parit
yang dibelah
menjadi langkah
Jogja, 6/4/2020
KONTAK
bukan samudra bukan tebing
setiap kita dipisah jurang –
dan bukan pesta diantar angin
luka bersama jadi jembatan
Jogja, 7/4/2020
DALAM PIGURA
(untuk: alm. Dr. Surono)
kau terus hidup
sebagai kejernihan
jiwa yang merunut
pangkal teguran
Jogja, 7/4/2020