Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi-Puisi Bunje Kristianto

Puisi-Puisi Bunje Kristianto

Bunje Kristianto

KAWACA.COM Bunje Kristianto lahir di Purwokerto, 27 November 1977 dengan nama asli Kristianto. Entah, sejak kapan dia mulai menulis puisi. Dia mengaku sudah lama suka pada puisi, tetapi hanya sebatas membaca puisi-puisi orang lain dari buku, majalah, atau sumber lain yang dia jangkau. Baru belakangan, dia coba juga menulis puisi dan dibagikan di facebook dengan nama Anto Cypo. Itu artinya, perkenalannya dengan puisi diawali dengan membaca, baru kemudian menulis.

Saat ini, dia tinggal di Yogyakarta dan bekerja sebagai arsitek, sambil menyiapkan buku puisi tunggal pertamanya.

Puisi-Puisi Bunje Kristianto

WINONGO SIANG ITU

pun tanpamu, cempaka
hujan itu sendiri airmata

kita menamainya sunyi
karena rapatnya benturan
kita mendapatinya rindu
karena serupa panggilan—

kadang dari kematian
hujan itu sendiri, cempaka
adalah airmata—
yang mengantar pergi
atau menyambut pulang

Jogja, 2017

REMAH

di pantai yang sama, kita menghabiskan suara
yang berbeda; angin dan camar dan deburan
dibelah delapan—kau barat laut aku tenggara

kita sebut enam yang tersisa sebagai celaka

senja bergeming di celah cemara, membelukar
seperti maut di bibir tebing menunggu silap kaki
dengan sabar

Jogja, 2017


DALAM JEDA
                 
sekeping bulan mentas dari gelas kopiku  
dibilas lidahmu dengan dua belas bola lampu
sementara matamu mengganti kelinci di mata
merahku dengan burung hantu

bagaimana kau bisa menyembunyikan kita
dari waktu, dari hidungnya yang pemburu?

lalu senyummu
membungkusku, “perjalanan ini yang milik kita,
bukan sebaliknya.”

dengan senyum itu, yang di tiap kalinya
mengeluarkan puluhan kupukupu, lebih bisa
kupercaya kalau kau katakan; “dulu, pernah
aku jadi kekasih waktu—yang menyetubuhiku
dan menanam kepompong, beribu-ribu.”

tapi segera aku memilih tak perduli 
memilih menikmati bibirmu melumat jeda
perjalanan ini—–yang bisa saja terlambat
bisa saja terhenti

Jogja, 2017


MUNGKIN

ada api yang hilang dari jemari itu–
mungkin pergi, mungkin cuma diam
di bawah kulit dan dilupakan, atau

mungkin mataku keliru: tak pernah
benar-benar ada api di situ

jarum jam – yang ditarik-tariknya
ke belakang itu – mungkin juga bukan
benar-benar waktu

Jogja, 2018


DI AWAL NOVEMBER

november, gumamku,
berwarna merah, seperti
senja atau darah

tidak, sanggahmu, putih
selalu putih, seperti jubah
atau kecambah

hujan turun sebentar
basah tak merata di tanah,
seperti sebuah kabar
yang berhenti di tengah,
jatuh di antara matamu dan
keinginanku untuk kalah

Jogja, 2018


MANA YANG BAGIMU

mana yang bagimu waktu;
langit senja atau pantulannya
di sungai itu?

mana yang bagimu lagu;
derai bambu atau gemanya
di geming batu?

Jogja, 2019

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.