Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mimpi Revolusi Martin Suryajaya di Siang Bolong Musim Corona - Dwi Pranoto

Mimpi Revolusi Martin Suryajaya di Siang Bolong Musim Corona - Dwi Pranoto


Mimpi Revolusi Martin Suryajaya[i] di Siang Bolong Musim Corona

oleh Dwi Pranoto

Mimpi Revolusi Martin Suryajaya di Siang Bolong Musim Corona - Dwi Pranoto

Ia datang! Hoi, sudah dekat! Di kampung-kampung orang-orang dikelilingi bahaya kematian. Penguasa dunia, apa yang terjadi? “Engkau tidak akan membuka mulut untuk Setan” – nama sampar mungkin tak melintasi bibir, tapi ketakutan hinggap di setiap hati seperti sebongkah batu.
. . .

Perdagangan melorot, kesalehan meningkat. Para pedagang hasil bumi takut ke mana-mana; si besar Yossil sudah menjual kuda dan gerobaknya – karena sayang akan gandum-gandum. Para makelar hasil bumi mengencangkan ikat pinggang yang membelit perut-perut kosong mereka, ada ruang lebih luas untuk sehari-hari di dalam rumah-rumah, karena setiap Jumat makin banyak sesuatu yang diambil untuk digadaikan menjelangkan Sabbath. Seorang pekerja, kadangkala bahkan seorang juragan, akan menyesap brandy lebih banyak, untuk meletakan jantung di dalamnya, tapi itu tak pergi ke kantung penjaga penginapan, dan kaum tani jarang terlihat. 

(Isaac Loeb Perez, “In Time of Pestilence”, 1906)[ii]

KAWACA.COM - Gagasan revolusi meradak di musim pandemi. Covid-19 dibayangkan seperti pesawat pembom B 29 Superfortrees yang meraung di langit dan menjatuhkan bom atom. Kali ini bukan Horoshima dan Nagasaki yang luluh lantak, tapi sistem perkonomian kapitalisme. Akselarasi kereta api raksasa kapitalisme global dihantam lockdown, physical distancing, isolasi diri, dan banjir ketakutan.  Mogoknya lokomotif kapitalisme ini dianggap melahirkan suatu kondisi yang merupakan syarat untuk bangkitnya revolusi.

Seperti para serdadu sekutu yang mungkin bertempik ramai merayakan lantaknya Hiroshima dan Nagasaki, Martin Suryajaya dengan gegap gempita menyambut rontoknya sistem kapitalisme yang dikabarkan oleh media-media. Riang gembira Martin mengabarkan kembali berita-berita duka, seperti, dari Goldman Sach dan Scott Morrison.  Hari kiamat telah tiba!

Empat keadaan simtomatis yang disebut empat penunggang kuda hari kiamat muncul dari krisis ekonomi dan menuntun zaman menuju hari baru. De-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global ibarat empat persona John sang Pembabtis yang menubuat dan mengantarkan zaman menyongsong munculnya juru selamat.

Bagi Ardy Syihab, dalam Mengubah Haluan Ekonomi Dunia Kala Korona[iii], hari baru yang diimpikan Martin dalam tidur coronanya adalah isapan jempol pemalas. Setiap berkas cahaya matahari baru tidak akan dihasilkan tanpa tangan-tangan nyata yang berkeringat. Sementara berpangku tangan menyerahkan takdir pada negara yang sudah terlanjur menjadi panitia dan mesin setrika milik korporasi adalah kekeliruan fatal. Tidak ada kelas penguasa yang menyerahkan kekuasaannya secara sukarela, kira-kira demikian sabda Karl Marx.

Namun Martin tidak berbicara mengenai subyek revolusioner. Ia berbicara mengenai kondisi-kondisi yang bisa jadi merupakan syarat revolusi. Kondisi-kondisi yang menyediakan pilihan untuk berakhir pada sosialisme atau barbarisme. Apa yang tidak diperhitungkan Martin adalah daya tahan kapitalisme. Seperti hantu-hantu kekuatan komunisme yang diibaratkan Marx menggentayangi dunia, kapitalisme adalah drakula yang tidur panjang di dalam peti mati pada musim corona. Tidak ada baju mantel orang kaya yang dapat dirampas hantu Nikolai Gogol[iv] hari ini, semua orang kaya berhibernasi di musim corona.

Lokomotif Kapitalisme

Memang, seperti yang dipercayai Martin melalui kutipan dari David Harvey, “Tidak ada kapitalisme tanpa gerak”. Karl Marx dalam The Class Struggles in France menggambarkan akselerasi kapitalisme sebagai bertubi-tubinya penghisapan, pukulan demi pukulan, dengan kecepatan revolusioner, yang mendera kaum tani[v]. Suatu kondisi untuk bangkitnya revolusi. Artinya, daya revolusi yang mengubah sejarah inheren di dalam akselerasi kapitalisme. Revolusi adalah lokomotif sejarah. Oleh karenanya, Fredric Jameson menyebut konsepsi Walter Benjamin dalam Paralimpomena, bahwa revolusi adalah menarik rem darurat kereta api, sebagai gagasan ganjil. Sebab akselerasi kapitalisme, produksi kapitalis, adalah kondisi untuk perubahan revolusioner.[vi]

Kondisi untuk revolusi tidak berada di luar akselerasi lokomotif kapitalisme. Kondisi revolusi tidak tercipta dari situasi idle atau mogoknya lokomotif kapitalisme. Kondisi untuk revolusi adalah kontradiksi-kontradiksi, penghisapan-penghisapan yang semakin laju mengikuti akselerasi lokomotif kapitalisme. Situasi idle yang disebabkan trauma sosial pasca runtuhnya menara kembar di New York bukanlah kondisi untuk revolusi. Demikian juga pandemi global virus corona yang mencuramkan kurva pertumbuhan ekonomi dunia. Opini Shadi Hamid di The Atlantic, Coronavirus Killed The Revolution mungkin dapat menggambarkan bagaimana gagasan sosialisme demokrasi bakal calon presiden Demokrat, Bernie Sanders kempis dengan datangnya virus corona[vii]. Keguncangan dan ketakmenentuan sosial yang dipicu oleh physical distancing, isolasi diri, lockdown, dan krisis berkelanjutan menumbuhkan permintaan akan kenormalan, ketenangan dan stabilitas, bukan turbulensi revolusi. Gagasan “radikal” Sanders, kata Shadi Hamid, nampak seperti artefak dari dunia lain.

Pada sisi lain, secara historis kapitalisme berkali-kali bangkit dari hantaman krisis parah. Depresi Besar 1930an yang kerap dijadikan garisan untuk mengukur kedalaman krisis yang terjadi setelahnya tidak membuat kapitalisme mati. Sebaliknya, kapitalisme kembali segar bugar dan tumbuh menggergasi setelah malaise. Demikian juga krisis sebelumnya, kepanikan tahun 1893 di Amerika, yang membuat J.P Morgan keluar sebagai pahlawan dengan menuntun Amerika keluar dari krisis melalui penjualan surat utang, pembelian emas, dan pembentukan sindikat investor internasional. Sementara, negara memainkan peran penting untuk mengakhiri malaise 1930-an dengan melakukan reformasi  finansial melalui kebijakan New Deal dan melakukan restrukturisasi sistem moneter melalui  Banking Act serta dipungkasi dengan berkobarnya Perang Dunia II yang memangkas angka pengangguran melalui mobilisasi tenaga manusia menuju neraka perang.

Kedua krisis besar itu paling tidak dapat memberikan teladan bahwa kondisi untuk revolusi bukan ditentukan oleh mogoknya akselerasi kapitalisme. Mogoknya lokomotif kapitalisme tidak melahirkan sosialisme, tapi menciptakan “montir-montir” dari kelas borjuasi itu sendiri; negara dan korporasi. Dan ketika lokomotif mulai bisa berakselerasi, montir-montir itulah yang mempunyai saham besar dalam kepemilikan kereta api.

Empat Penunggang Kuda Hari Kiamat Gadungan

Penunggang kuda pertama, de-industrialisasi. Apakah keadaan musim corona saat ini mununjukan munculnya de-industrialisasi? Penjarakan fisik (physical distancing) dan isolasi diri bagi Martin seperti bom yang memporak-porandakan industri manufaktur. Mungkin Martin membayangkan situasi pabrik saat ini masih bercirikan revolusi industri 2.0 yang sistem produksinya bersandar pada penggunaan tenaga listrik untuk menggerakan lini produksi perakitan di mana ketergantungan pada tenaga manusia dalam jumlah besar masih dominan. Atau bahkan lebih mundur ke belakang lagi, Martin mungkin beranggapan pabrik-pabrik saat ini masih beroperasi dengan mesin uap dengan ruangan besar pabrik yang dijubeli oleh buruh-buruh seperti di-capture dalam produksi gambar bergerak pertama tahun 1895 yang dikerjakan oleh Lumiere bersaudara. Tidak. Hari ini adalah zaman revolusi industri 4.0 yang dicirikan dengan penerapan tekhnologi informasi dan komunikasi dalam industri. Komputerisasi dengan jaringan kerja internet memungkinkan interaksi yang terprogram antara mesin dengan mesin dan mesin dengan manusia. Jaringan semua sistem kerja ini menciptakan sistem produksi siber di pabrik-pabrik pintar di mana komunikasi antara sistem produksi, komponen, dan orang membuat produksi menjadi otonom. Revolusi industri 4.0 sudah di sini kini.

Entah ke mana saja Martin, produksi pangan, dalam hal ini pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan bukanlah sektor produksi yang sungguh-sungguh membutuhkan tenaga kerja besar. Hanya pada masa tanam dan panen pertanian tradisional memerlukan tenaga kerja lumayan besar. Namun demikian, hari ini pengerahan tenaga kerja besar pada masa tanam dan masa panen telah dapat digantikan oleh mesin tanam dan mesin panen. Pada konteks perikanan, misalnya di Norwegia, ocean-culture telah menciptakan ladang-ladang makarel, salmon, dan kod di mana sistem perawatannya telah terprogram secara digital.

Jadi, penjarakan fisik dan isolasi diri mungkin justru akan mengarah pada sofistikasi industri yang mengeluarkan secara besar-besaran tenaga manusia dari pabrik-pabrik. Industri-industri padat karya yang merupakan buah dari revolusi industri 1.0 dan 2.0 akan tergulung. Runtuhnya industri padat karya bukan mengarah pada de-industrialisasi, tapi mengarah pada semakin dalamnya ketergantungan negara-negara miskin pada negara-negara maju. Atau, efisiensi luar biasa pabrik-pabrik pintar semakin memperkokoh pemilik kapital besar yang mampu membeli teknologi termutakhir.

Penunggang kuda kedua, de-finansialisasi. Bagaimanapun penanganan pendemi virus corona yang melibatkan “intervensi non-farmasitis” telah mengakibatkan terganggunya aktivitas produksi dan distribusi dalam ekonomi. Sejumlah sektor produksi yang terganggu dan bahkan tutup karena pembatasan-pembatasan kerja dan menyusutnya jumlah permintaan pada gilirannya akan mempengaruhi sektor finansial. Bank-bank akan relatif nganggur karena jauh berkurangnya transaksi pembiayaan, seperti permintaan hutang dan investasi. Pada sisi lain, penutupan sektor produksi yang meningkatkan angka pengangguran akan mempengaruhi daya beli  yang menekan bidang moneter. Namun, apakah runyamnya bidang finansial dan moneter akan meruntuhkan sistem perbankan secara permanen dan mengubah transaksi pertukaran berbasis uang menjadi praktik barter in natura?

Secara historis, dampak ekonomi pada musim corona yang disebabkan penanganan “intervensi non-farmasitis” ini relatif mirip dengan hantaman wabah flu Spanyol pada tahun 1918 – 1919. Kajian para ahli ekonomi MIT (Massachusetts Institute of Technology) Sloan School menunjukan kesigapan dan kecepatan menanggapi wabah, penerapan physical distancing dan pelarangan kerumunan orang, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan wabah dan kecepatan pemulihan sangat berpengaruh pada kebangkitan kembali ekonomi.[viii] Meletakan keberhasilan penanganan kesehatan publik sebagai prioritas pertama pada gilirannya akan menggerakan generator kebangkitan kembali perekonomian. Pada kenyataannya, empat tahun setelah gelombang terakhir hantaman wabah pada tahun 1919, perekonomian mulai bergerak menuju “normal” pada tahun 1923. Pelajaran terpenting dari pandemi flu Spanyol, menurut Emil Verner, adalah bahwa  ekonomi pandemi berbeda dengan ekonomi normal. Pandemi flu Spanyol tahun 1918 – 1919 mengajarkan bahwa ekonomi hanya akan mengalami keterpurukan untuk sementara dan kapitalisme akan kembali pulih.

Penunggang kuda ketiga dan keempat, diskoneksi fisik dan pelokalan global, hanyalah fantasi Martin yang mempermanenkan keadaan tertekannya perekonomian global yang sesungguhnya bersifat sementara waktu. Diskoneksi fisik yang berkaitan dengan industri pariwisata tentu mengalami kejatuhan dan membawa serta  sektor-sektor pendukungnya dalam keterpurukan. Namun demikian, industri pariwisata akan pulih bersama selesainya pandemi dan datangnya kembali kemakmuran. Sementara pelokalan global sama sekali merupakan mimpi siang bolong karena untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia saat ini tak mungkin diselenggarakan secara swadaya dalam lingkup wilayah yang sangat terbatas. Barangkali minyak sawit dapat disubtitusi dengan minyak kelapa, beras disubtitusi dengan umbi-umbian, bahan bakar gas disubtitusi dengan kayu bakar; tapi apakah kita akan kembali mengenakan pakaian kulit pohon, berkomunikasi menggunakan sandi kepulan asap, mengiris dengan repihan batu dan memotong dengan kapak perimbas?

Nasionalisasi Sektor-Sektor Publik

Apakah nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor-sektor publik yang dilakukan oleh negara pada musim corona saat ini mengindikasikan gerak pengelolaan ekonomi ke arah sosialisme? Dengan gairah optimisme yang menyala-nyala Martin membagikan kabar nasionalisasi dan niat nasionalisasi sektor-sektor publik di Spanyol, Irlandia, Prancis, Inggris, dan Amerika. Pandemi virus corona yang mendampakan krisis ekonomi global dianggap berperan sebagai pengubah permainan dalam sistem perekonomian global. Seperti sinetron-sinetron Indonesia yang dengan mudah membalik kejahatan dalam diri seorang tokoh menjadi kebaikan melalui nasihat-nasihat bijak atau musibah. Virus corona seolah muncul sebagai sosok bijak-bestari yang mendatangi seorang tokoh jahat bernama kapitalisme yang sedang menekuri pandemi yang diakibatkan perbuatannya yang melampaui batas. Laksana sulapan, kapitalisme menyadari perbuatannya dan mengekang hasratnya yang melampaui batas. Mungkin begitulah caranya kapitalisme mengubah diri menjadi sosialisme.

Namun nasionalisasi bukanlah drama sinetron. Nasionalisasi sektor-sektor publik yang dilakukan atau diniatkan oleh Inggris, Spanyol, Irlandia, Amerika, dan Prancis, tidak dilandasi oleh upaya untuk pemerataan akses sumber daya dalam kehidupan sosial. Nasionalisasi pada musim corona saat ini ditujukan untuk memaksimalkan penanganan pandemi, menjaga ketersediaan transportasi untuk para pekerja di sektor-sektor vital, dan menghindarkan pengelola swasta dari kebangkrutan. Sebagai misal, Sekretaris Negara untuk Transportasi Inggris, Grant Shapps, seperti diberitakan Independent, menyatakan pengambilalihan pengelolaan kereta api oleh negara pada prinsipnya bersifat sementara.  Grant Shapss juga menyatakan walaupun harus dikatakan dunia akan berubah, namun demikian organisasi-organisasi yang baik tidak harus jadi bangkrut.[ix]

Pada sisi lain, manuver Trump untuk mendapatkan hak ekslusif vaksin untuk virus corona yang masih dalam tahap eksperimen dari produsen obat Jerman, CureVac , mungkin akan memicu negara-negara lain untuk melakukan nasionalisasi produk-produk penting guna mengamankan pasokan dalam menghadapi resiko membesarnya pandemi. Atas nama ketahanan dan keamanan nasional negara melarang ekspor obat-obatan, alat pelindung diri, atau vaksin. Pada saat ini, sebagai misal, Jerman telah melarang ekspor alat pelindung diri dan India melarang ekspor obat-obatan penting. Kasus penimbunan semacam ini terjadi pada masa ancaman meluasnya wabah flu babi pada tahun 1976. Walaupun Presiden Ford menyatakan akan tersedia vaksin untuk setiap orang, namun pada kenyataannya pengapalan vaksin pesanan Kanada dilarang oleh pemerintah Amerika.[x]

Jika kebijakan kadaruratan yang memprioritaskan kepentingan nasional menjadi permanen, neomerkantilisme yang terkandung dalam sistem kapitalisme liberal akan jadi semakin brutal. Kebijakan nasionalisasi bukannya mengarah pada sosialisme tapi mungkin melahirkan wajah paling keji imperliasme-kolonial baru.

Tentu saja mimpi revolusi Martin adalah revolusi diam, sebab tidak ada subyek revolusioner di situ. Kapanpun ia bangun dari lamunannya ia pasti akan menyadari bahwa tidak ada revolusi tanpa subyek revolusioner. Bagi Karl Marx krisis kapitalisme inheren di dalam akselerasinya sendiri, terbentuk dari kontradiksi-kontradiksi hubungan produksi yang melahirkan para penggali kubur. Revolusi tidak digerakan oleh “invisible hand”. Krisis kapitalisme yang menjadi kondisi untuk revolusi bukan dicirikan dengan kelangkaan produksi, tapi oleh kemelimpahan produksi. “In these crises, there breaks out an epidemic that, in all earlier epochs, would have seemed an absurdity – the epidemic of overproduction”. Lalu Pak Jenggot melanjutkan, “But not only has the bourgeoisie forged the weapons that bring death to itself; it has also called into existence the men who are to wield those weapons – the modern working class – the proletarians”.[xi] Jadi, krisis kapitalisme yang disebabkan disrupsi mesin kapitalisme karena dihantam pandemi yang mengancamkan kelangkaan produksi tidak akan melahirkan subyek revolusioner dan revolusi.

Di Indonesia, di antara kekalutan para tenaga medis menangani pasien tanpa APD dan ketercekikan para buruh yang dipecat dan pekerja informal yang kais pagi makan pagi kais petang makan petang, gagasan revolusi di musim corona terdengar seperti gema yang keluar dari radio rusak. Di grup-grup whatsapp dan berbagai media sosial simpang siur informasi menanggapi pandemi: lemon tea hangat mencegah orang Palestina tidak mati meski dijangkiti virus corona, di Turki Erdogan membuka lebar-lebar pintu masjid untuk membasmi corona, ilmuwan Charles Lieber ditangkap karena menjual virus corona ke China. Belum reda kabar pemakaman korban corona yang ditolak sejumlah kelompok warga, kini orang-orang dikejutkan dengan penangkapan pemimpin kelompok anarko berpangkat A1.

* * * * *

Endnote:

[i] Martin Suryajaya, Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona atau Cerita Tentang Dua Virus, https://www.martinsuryajaya.com/post/membayangkan-ekonomi-dunia-setelah-korona

[ii] Isaac Loeb Perez, Stories and Pictures, diterjemahkan dari bahasa Yiddi oleh Helena Frank, The Jewish Publication of Society, Philadelphia, 1906. Meski awalnya sulit mengungkapkan ekspresi sastranya dalam bahasa Yiddi, bersama Sholom Aleichem, I.L. Perez menjadi penulis generasi Haskalah yang pertama kali menggunakan bahasa pergaulanYahudi Eropa Timur itu dalam karya-karyanya. Puisi-puisi dan cerpen-cerpen Perez tidak hanya berhasil menggali kekuatan sastrawi bahasa jelata yang sebelumnya diremehkan. Lebih dari itu, karya-karya Perez menjadi kekuatan yang menginspirasi bagi pejuang bawah tanah melawan rezim Czarist.  

[iii] Ardy Syihab, Mengubah Haluan Ekonomi Dunia Kala Korona, https://medium.com/suara-rakyat-bergerak/mengubah-haluan-ekonomi-dunia-kala-korona-73b652387c67

[iv] Dalam cerita Baju Mantel Nikolai Gogol, kerani jelata, Akakievitzch, mati setelah dihina seorang kepala polisi dan sekretarisnya karena melaporkan mantel barunya yang membuatnya menjadi ‘manusia’ dirampas. Ia menjadi hantu yang merampasi mantel-mantel di jalanan dan memicu lahirnya hantu-hantu lain di sepenjuru kota.

[v] Karl Marx, The Class Struggles in France, 1848 – 1850, dalam Selected Work, Volume I, Progress Publishers, Moscow, 1969.

[vi] Tanggapan kritis Fredric Jameson dalam Dresden’s Clocks yang dimuat di NLF 71 ini kemudian ditanggapi oleh Benjamin Noys dalam Malign Velocities: Accelerationism and Capitalism. Noys secara umum tak membantah tanggapan kritis Jameson, namun ia meletakkan konsepsi Walter Benjamin mengenai revolusi sebagai lokomotif sejarah, dalam Paralimpomena, pada konteks kritik Benjamin terhadap fasisme Jerman. 

[vii] https://www.theatlantic.com/ideas/archive/2020/03/coronavirus-killed-revolution/608680/

[viii] http://news.mit.edu/2020/pandemic-health-response-economic-recovery-0401

[ix] https://www.independent.co.uk/news/uk/politics/coronavirus-airline-railways-bus-nationalised-uk-grant-shapps-covid-19-a9407276.html

[x] https://www.statnews.com/2020/03/15/as-coronavirus-pandemic-worsens-health-officials-fear-nationalization-of-drugs-and-supplies/

[xi] Karl Marx and Frederick Engels, Manifesto of the Communist Party

___
Dwi Pranoto merupakan seorang esais, penerjemah, pemerhati budaya dan sastrawan kelahiran Banyuwangi. Puisinya dimuat antara lain di antologi bersama Cerita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra, 1994), dan Lelaki Kecil di Terowongan Maling (Melati Press, 2013). Buku puisi tunggalnya Hantu, Api, Butiran Abu (Gress, 2011). Karya terjemahannya Piramid (Marjin Kiri, 2011), novel karya Ismail Kadare. Kini dia tinggal di Jember sambil terus menulis, mengisi berbagai acara kebudayaan, dan sedang menyiapkan buku puisi tunggalnya.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.