Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sebaiknya Menanggapi Kritik Sastra - Hafis Azhari

Sebaiknya Menanggapi Kritik Sastra - Hafis Azhari

Sebaiknya Menanggapi Kritik Sastra
oleh Hafis Azhari *


KAWACA.COM |Pada umumnya, setelah beberapa tahun karya sastra terbit, muncullah perumusan tentang teori sastra, atau yang kita kenal dengan sebutan “kritik sastra”. Para penulis dari kalangan budayawan, akademisi hingga agamawan, menanggapi dan membahasnya dalam bentuk esai maupun opini publik. Di zaman kejayaan bangsa Yunani, ketika drama Sophocles ditampilkan, kemudian muncul pembahasannya dalam karya “ars simia naturae” yang menjadi titik-tolak pemikiran Aristoteles. Setelah itu, menyusul berbagai kajian dan teori tentang seni, hingga pada gilirannya saling melengkapi dan memperkaya khazanah tentang dunia kesenian dan kesusastraan itu sendiri.
Ketika dunia seni saling memperkuat antara praktis dan teoritis, wawasan dan pemikiran semakin terbuka memberikan ruang-ruang perdebatan publik yang lebih multidimensional. Untuk itu, menurut hemat saya, tak perlu merasa skeptis dengan kritik dan teori sastra. Meskipun tidak jarang, antara sastrawan yang berkarya (praktik seni) dengan intelektual dan akademisi yang menulis opini (teori seni) bisa saja berseberangan dalam soal ide dan pemikiran.

Teori sastra yang biasanya dimunculkan kalangan akademisi dan intelektual memang seperti itulah kodratnya. Penulis karya sastra tak perlu berharap banyak agar berada dalam satu barisan yang sejajar antara hasil praktik dengan kehadiran teori-teori sastra yang mengikutinya. Apalagi sampai memberikan komentar berlebihan, seakan-akan munculnya teori atau kritik sastra tidak ada gunanya bagi perkembangan dunia seni dan sastra. Kecenderungan anti-teori itu nampaknya dirasakan pula oleh para penulis muda, hingga tak jarang memunculkan sikap pesimis untuk melangkah ke masa depan.

Di sisi lain, banyak penulis muda yang menyikapi kritik sastra dengan sikap resisten dan antipati. Mereka menyerang teori-teori sastra yang ditruduh sebagai biang keladi kekalutan dan kesemrawutan dunia sastra di Indonesia. Bagi mereka, karya seni itu harus hidup apa adanya, tak perlu penjelasan, tak butuh teori-teorian. Karena dengan menjelaskannya, justru akan menghambat perkembangan kualitas seni sebagai “living arts”.

Secara pribadi, saya menghormati para sastrawan muda, dalam kapasitasnya sebagai penulis-penulis muda. Tetapi, saya berhak punya pendapat bahwa, ketika kita membangun teori untuk mengadakan serangan balik terhadap “teori sastra” yang dikemukakan akademisi atau intelektual, hal itu sehaluan dengan para seniman yang kukuh mempertahankan pendapatnya agar mereka jangan ikut-ikutan berpolitik. Dengan lantangnya mereka seakan berteriak bahwa politik itu kotor dan najis, karena itu tak perlu didekati.

Bagi saya, ketika ada seniman – baik yang senior maupun yunior – mengajak kelompoknya agar jangan ikut-ikutan berpolitik, sesungguhnya ajakan itu adalah bentuk dari politiknya sang seniman untuk merekrut jamaahnya tersendiri.

Munculnya berbagai teori dan kritik sastra, baik yang pro maupun kontra, juga tak perlu dijadikan alasan untuk “pasang badan” dengan mengadakan serangan balik perlawanan di depan publik, yang justru menelanjangi kualitas moral si seniman itu sendiri. Biarkan saja, tak perlu ada resistensi berlebihan terhadap kritik sastra. Tak perlu membalas komentar secara membabi-buta, dengan menyatakan bahwa teori sastra itu membingungkan dan menggelapkan.

Dari perspektif lain, saya bisa memaklumi nasib yang dialami para penulis muda yang memang kurang menguntungkan. Terutama penghargaan terhadap dunia literasi di negeri ini masih sangat rendah. Secara ekonomi mereka belum mampu menentukan nasib hidupnya sendiri, baik secara lokal, nasional, apalagi hingga ke tingkat mancanegara. Tidak jarang saya temukan para penulis berbakat di negeri ini, kemudian mengadu nasibnya menjadi peneliti, guru, PNS, pekerja di kantor dinas bidang pariwisata maupun kesenian, hingga menjadi tukang kritik tadi.

Itulah salah satu persoalan yang saya kemukakan, ketika menanggapi pertanyaan yang diajukan para jurnalis Bali, saat menjadi pembicara di forum diskusi bertajuk “Jurnalisme Keagamaan” yang diselenggarakan Kementerian Departemen Agama (Jakarta) beberapa waktu lalu. Bahkan ketika beranjak menuju abad milenial, negeri ini masih juga belum melahirkan penulis berbakat yang menandingi karya-karya Lekra maupun Balai Poestaka, hingga tak pernah muncul seorang pun penulis – kecuali Pramoedya Ananta Toer – yang beberapa kali mampu menembus nominasi untuk penghargaan nobel sastra.

Hal lain yang menjadi kendala, banyak penulis muda yang bertumpu untuk mengukur bagus tidaknya suatu karya sastra, dengan mengandalkan penilaian suatu kelompok dari lembaga tertentu. Padahal, usia lembaga-lembaga kebudayaan di negeri ini baru mencapai beberapa dekade, sementara usia karya sastra yang kompeten dan kredibel sudah melanglang buana melampaui ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Jauh lebih tua dari usia pengesahan bahasa Indonesia, bahkan lebih tua lagi dari keberadaan republik Indonesia itu sendiri.

Bayangkan, betapa karya sastra sudah melintasi batas-batas geografis kebangsaan, menembus perhitungan ruang-waktu, sejak zaman mitologi, epos, hingga memasuki zaman roman sebagai ekspresi tertulis, baik dari Mesir, Yunani kuno, sampai kemudian memasuki zaman aufklaerung (pencerahan) di Eropa. Bagi pemerintah di negeri-negeri yang menghargai pentingnya kemajuan budaya dan peradaban bangsa, studi tentang kritik sastra diniscayakan. Mereka menyerap apa-apa yang dikatakan para pakar dan ahli di bidang sastra dan linguistik, hingga memandang bahwa teori sastra adalah sarana untuk mengorganisasi pikiran, perasaan, serta membandingkan pola-pola yang selama ini luput dari perhatian para penulis dan sastrawan itu sendiri.

Adalah keliru jika sebagian penulis muda menggantungkan kepercayaan sepenuhnya, seakan-akan karya sastra yang bagus identik dengan kesepakatan para senior yang dianggap banyak makan asam-garam. Juga tak perlu bergantung sepenuhnya pada lembaga hasil bentukan siapapun. Jika demikian, kalian akan kehilangan warna, garis maupun komposisi yang akan menciptakan katarsis dari getaran kalbu yang kalian goreskan secara alami, dan dengan jiwa yang merdeka dan independen.

Selayaknya, para penulis yang berjiwa besar akan berupaya melampaui teori-teori sastra yang dibuat oleh pakar akademisi sehebat apapun. Hingga karya-karyanya mampu menembus sekat-sekat, batas-batas, melanglang buana sampai kemudian mencapai ketinggian yang mampu melampaui teori-teori atau kritik sastra tersebut.

Akhir-akhir ini memang banyak kritik dan komentar yang dialamatkan kepada saya – perihal novel Pikiran Orang Indonesia – seumumnya baik-baik saja. Novel tersebut adalah bagian dari pengungkapan jiwa yang diikhtiarkan sebagai obat bagi luka-luka batin manusia Indonesia sejak masa kekuasaan militerisme Orde Baru (1965-1998). Meskipun ada beberapa pihak yang menginginkan saya menanggapinya secara tendensius, tapi bagi saya, dorongan yang bersifat provokatif tidak layak ditunjukkan oleh seorang budayawan selaku pejuang dan penegak kemajuan peradaban bangsa.

Oleh karena itu, tak usah mengembangkan sikap resisten terhadap teori dan kritik sastra. Biarkan saja mengalir apa adanya, biarkan saja mereka sibuk berteori dan mengkritik sana-sini. Justru dengan maraknya teori-teori sastra, kita akan mudah untuk melangkah maju ke depan. Kita juga akan tahu sedang berada di mana saat ini, hingga dapat menentukan langkah-langkah terbaik untuk masa yang akan datang.

Sementara itu, bagi para penulis muda yang sudah memiliki tradisi berpikir yang kuat, saya yakin mereka tidak merasa berkepentingan untuk menanggapi teori dan kritik sastra secara berlebihan. Sebaliknya, mereka akan menerimanya dengan hati terbuka, dan dengan jiwa yang penuh lapang-dada. Salam. ***


* Pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten (Handphone:  081218595887)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.