Penyair Bahaya - Sofyan RH. Zaid
PENYAIR BAHAYA!(Sebuah epilog untuk buku Jangan Panggil Aku Penyair, Karya Muhammad Lefand)
oleh Sofyan RH. Zaid
“Meskipun ilmu dan filsafat sangat menarik hati saya dan banyak waktu telah saya pakai untuk keduanya, tetapi kalau saya hendak jujur, tentu saya akan berkata: menulis sastra (baik berupa puisi maupun roman) lebih memberikan kepada saya perasaan kebahagiaan.”
-S. Takdir Alisjahbana-
#1.
KAWACA.COM | “Salah satu cara untuk memahami seorang pengarang adalah dengan menguraikan pikiran-pikirannya dalam seluruh karyanya. Buku merupakan proyeksi diri yang sempurna dari kepribadian, hasrat, ambisi dan (bahkan) frustasi penulisnya.” Kata Dr. Joseph Peter Ghougassian. Jadi, meski saya telah selesai membaca buku Jangan Panggil Aku Penyair (JPAP) ini, saya tidak akan pernah sanggup memahami dan menguraikan pikiran-pikiran perenungan Muhammad Lefand (Lefand) melalui buku ini. Namun paling tidak sebagai pembaca -yang kata Teeuw- salah satu pemberi makna pada karya sastra yang merupakan ‘representasi wacana’ dalam istilah Stubbs, saya mulai mengerti satu hal, yakni deviasi atau penyimpangan.
Deviasi menjadi salah satu ciri karya sastra, sekaligus sebagai pembeda dengan bentuk karya tulis lainnya. Deviasi merupakan penyimpangan bahasa –kata dan kalimat- dari yang biasa dalam karya sastra untuk menghasilkan efek puitis, sehingga tercipta ‘alamat makna’ dan bukan ‘makna’ itu sendiri sebagai dua hal yang berbeda, seperti ‘alamat rumah’ dan ‘rumah’. Sebuah puisi tidak harus memiliki makna, namun paling tidak alamatnya ada, entah maknanya ada atau pun tidak. Sebab “bila puisi harus memiliki makna dan maknanya terbaca lebih besar dari puisinya, ini sebuah kemunduran bagi karya sastra,” kata Adonis. Di sinilah letak pentingnya deviasi (dari) konvensi (untuk melahirkan) inovasi. Agar karya sastra terus hidup dan tradisi literasi berkembang dari tafsir ke tafsir yang baik.
#2.
Mari perhatikan salah satu puisi bertajuk Jalan dalam JPAP ini:
Dalam setiap langkah
menuju rumahmu
Tak kutemukan jalan
menuju ke hatimu
Puisi di atas menjadi contoh deviasi. Seandainya Lefand tidak membuat deviasi bahasa (lewat) puisinya, dia hanya cukup berkata “kita sudah sering berjumpa, aku berulang mengatakan cinta, tapi kamu selalu menolaknya.” Itulah kenapa menurut Brown dan Yule (1986) sastrawan dipandang sebagai orang yang mempunyai kreatifitas berbahasa yang lebih dibanding dengan anggota masyarakat lainnya. Hal ini juga senada dengan pendapat Hudson, kalau ada dua model komunikasi dalam sastra, yakni individualisme dan kompromis. Bahasa individualisme merupakan bahasa sendiri yang orisinil dan berbeda dengan bahasa keseharian pada umumnya atau bahasa kompromis tersebut.
Bahasa individulisme-universal adalah bahasa dalam puisi. Sebab puisi –teriak Chairil Anwar- adalah dunia tersendiri (otonom) yang menjadi. Punya bahasa dan kenyataan sendiri yang berbeda dengan dunia yang kita tempati. Namun untuk sampai pada ‘dunia tersendiri’ itu, penyair harus melakukan ‘kerja mencipta yang berdarah’ dan ‘membuat perhitungan dengan kata secara habis-habisan’. Meski paradigma ini kemudian menjadikan puisi tidak begitu laku dijual dan masyarakat -menurut Dami N. Toda- terlanjur punya anggapan ‘kalau penyair itu aneh dan puisi itu sukar’. Terlepas dari kesengajaan penyair beraneh-aneh dan menyukar-nyukarkan atau tidak.
#3.
Jadi, penyimpangan (deviasi) berbahasa dalam puisi sangat dibutuhkan adanya seperti dalam buku JPAP ini dan bukan penyimpangan penyairnya dalam menjalani hidup. Dengan kata lain, puisi boleh menyimpang untuk menemukan jalan lain menuju keindahan, tapi penyairnya harus (berjalan) lurus untuk sampai pada tujuan kebijaksanaan. Walaupun -bagi Freud- Penyair adalah seorang neurotik yang keras kepala. Melalui kerja kreatifnya, penyair menjaga agar tidak sampai (menjadi) gila, namun sekaligus menjaga agar tidak (dapat) disembuhkan. Lalu kemudian Khalil Jibran membagi kepenyairan ini menjadi dua golongan, yakni: Penyair Otentik dan Penyair Tidak Otentik.
Penyair Otentik ialah penyair yang terdorong oleh ketulusan dalam berkarya untuk dirinya sendiri dan memberikan pencerahan kepada pembaca. Penyair otentik senantiasa merasa punya misi kenabian dan tidak pernah bosan menempati kebenaran. Sementara Penyair Tidak Otentik adalah sebaliknya, selalu termotivasi oleh ambisi, ketulusannya dikalahkan oleh spirit keuntungan semata. Bahkan Jibran secara keras menyebut; puisi-puisi (penyair tidak otentik) penuh kegaduhan, hanya menjadi ‘anjing-anjing balap orang-orang kaya’ dan ‘sarana untuk memperoleh hal-hal duniawi’ semata. Barangkali ini salah satu alasan kenapa Lefand ‘menolak’ dipanggil penyair, sebagai jalan tengah yang aman dalam proses kreatifnya. Seperti tercermin dalam puisinya:
RIWAYAT KATA
aku bukan Chairil Anwar
juga bukan Sutardji Calzoum Bachri
juga bukan W.S Rendra
juga bukan Jalaluddin Rumi
jadi jangan kaupaksakan kesunyian
padaku
Aku bukan Widji Tukul
juga bukan Amir Hamzah
juga bukan Abdul Hadi W.M
juga bukan Kahlil Gibran
jadi jangan kaupaksakan kehendak
padaku
kalau kata-kataku terlalu ngalir
kalau kata-kataku terlalu telanjang
kalau kata-kataku terlalu biasa
kalau kata-kataku terlalu tak bermakna
jangan kaupaksakan kedalaman
padaku
jika kaubicara sejarah
jika kaubicara hakikat
jika kaubicara estetika
jika kaubicara puisi
jangan kaupaksakan kesesatan
padaku
aku ini orang desa
aku ini orang lugu
aku ini orang tidak tahu
aku ini orang biasa
jadi jangan kaupaksakan kemewahan
padaku
aku hanya ingin belajar
aku hanya ingin menjalani
aku hanya ingin menikmati
aku hanya ingin mensyukuri
jadi jangan kaupaksakan kerumitan
padaku
jelas sudah
jalan kedalaman tak serumit
jalan kesesatan
kesunyian dan kehendak
hanya rahasia kemewahan pribadi
aku masih butuh cahaya
Jember, 22-11-2014
#4.
Di samping itu, dalam buku ini, Lefand seperti sengaja memberikan pilihan yang nyata kepada pembaca dengan dua model puisi: lurus dan menyimpang (deviasi). Puisi-puisi yang lurus, lugas dalam penyampaian dan mengedepankan ‘kejujuran bertutur’ atau puisi-puisi yang punya ‘makna’. Berikut contoh yang mewakili:
SEEKOR BURUNG DENGAN IBUNYA
berkatalah burung pada anaknya
ketika matahari diculik kumpulan awan
"nak, kelak jika kau telah mengerti hidup
ingatlah pada asal tujuan penciptaan
jangan sekali-kali kau tundukkan wajahmu
pada pohon kering tanpa akar
jangan membuka rahasia pada tikus
jangan percaya pada janji buaya
nak, tak ada daun yang jatuh
melainkan menjadi humus yang subur
segala yang hilang jangan dicari
setiap yang datang pasti akan pergi"
hujan datang melebur awan mendung
burung dan ibunya pulang ke sarang
Jember, 08-03-2015
Puisi di atas tersaji begitu lugas, namun tidak kehilangan keindahan bahasanya. Juga puisi-puisi yang menyimpang, puitis untuk mendapatkan tafsir dalam wilayah estetik yang lebih sublim atau puisi-puisi yang hanya punya ‘alamat makna’. Berikut contoh yang mewakili:
DAUN
Kau bicara cinta
teringatlah aku pada daun
pagi menyimpan embun
merimbun warna nyala
gugurnya di waktu senja
menghumus pada tanah
subur segala tumbuh
Kau bicara rindu
teringatlah aku pada daun
menikmati sepi bersama angan
bernyanyi melambai-lambai
menghibur sunyi diri sendiri
hanya belaian angin yang dirasa
sampai senja ia setia
Kau bicara luka
teringatlah aku pada daun
pada setiap helai rimbun
bunga dan buah disejukkan
tapi jaman tak mengisahkan
tak ada yang memuji
tak ada yang peduli
Jember, 09-01-2015
Tentu ini sesuatu yang wajar dalam penyajian sebuah buku. Kiranya juga terkait dengan sikap kepenyairannya selama ini serta cara menuliskan puisinya semata. Sebagaimana pengakuan Wellek dan Warren (1976); paling tidak ada dua garis besar penyair –ketika menuliskan puisinya,- yakni Pengrajin dan Kesurupan. Pengrajin adalah mereka yang menulis dengan penuh keterampilan, terlatih, dan punya tehnik. Dan kelemahan dari garis ini adalah puisi-puisinya kadang kering meskipun bagus secara teori. Kesurupan adalah mereka yang menulis secara spontan sebab dorongan batin yang kuat dalam keadaan setengah sadar dan penuh emosi. Kelemahan garis ini kadang puisi-puisinya jelek secara teori meski sangat basah dan menggetarkan. Sampai di sini kemudian, bisa jadi H.B. Jassin benar jika sastra tidak semata-mata wilayah teori sebab –dengan- adanya ilmu kritik sastra, namun lebih kepada wilayah hati.
#5.
Sebagai pilihan ketiga setelah dua pilihan di atas, dalam JPAP ini Lefand juga menyertakan sejumlah puisi pendek. Beberapa puisinya sangat kuat dan mengejutkan seperti juga puisi pendeknya di buku-buku lain. Berikut contoh yang mewakili:
DAM
di tepi
aliran sunyi
maut memilih bunuh diri
Jember, 23-02-2015
Terus terang saya tidak mengerti puisi pendek ini, tapi saya bisa menikmatinya. Ini sebuah bukti bahwa puisi DAM ini tidak punya makna, tapi punya alamat makna, biarlah menjadi tugas pembaca lain atau kritikus untuk mencari alamat maknanya tersebut.
Di akhir epilog ini saya ingin mengutip sebuah puisi Lefand yang sangat menyimpang dan mengancam sebagai penutup:
MENGENANG PERTEMUAN
kota dan wajahmu ketika itu
kunikmati dengan rahasia kata
di balik rimbun kagum waktu
rasa berjarak pandangan mata
dekat tempat dudukku dudukmu
tak ada kata-kata di antara kita
senyum hanya isyaratmu padaku
rasa hati masih misteri di mata
pernah juga kau memotretku
dengan kamera kau pandang mata
rasaku seperti derai syahdu
meski kau takkan merasakan sama
jarak kita memisahkan waktu
kenangan menjadi rindu dalam makna
pertemuan itu serahasia batu
sesudahnya hanya bisa dikenang saja
Jember, 13-02-2015
#6.
Ya, saya sudah membaca buku Jangan Panggil Aku Penyair karya Muhammad Lefand ini, dan saya berjanji tidak akan memanggil Lefand; penyair, tapi saya harus memanggil apa? Penyair Bahaya!
Bogor, 01 April 2015