Orang Islam yang Berserah Diri - Hafis Azhari
ORANG ISLAM YANG BERSERAH DIRI
Oleh Hafis Azhari*
KAWACA.COM | Ada dua tipikal manusia yang berbeda dalam menyikapi penyakit atau rasa sakit yang dideritanya. Seorang religius tentu akan mengacu pada ajaran agama yang dianutnya, serta bercermin dari teladan nabi dan rasul yang menjadi panutannya. Ia akan bersabar dan berdoa agar Tuhan mengasihinya serta menyembuhkan penyakitnya. Ia juga pergi ke dokter yang dianggap cocok bagi pengobatannya, menuruti petunjuknya, serta menghindari pantangan-pantangan yang disampaikan kepadanya.Ketika obat sudah diminum, pantangan dihindari, dan doa-doa dipanjatkan, ia akan tetap bersabar meskipun Tuhan belum berkenan bagi kesembuhan penyakitnya. Seorang religius akan berusaha menjalanakan yang terbaik, senantiasa bersikap ramah pada setiap orang yang menjenguknya. Tidak banyak mengeluh, malah justru membesarkan hati para penjenguknya agar senantiasa opitimis dalam menghadapi ujian hidup.
Akhirnya, banyak ilmu dan hikmah yang dipetik, setelah takdir Tuhan menentukan waktunya tiba bagi kesembuhan penyakitnya. Aktivitas dijalankan kembali secara optimal, ilmu dan wawasan semakin matang, dan ia akan senantiasa konsisten menjalani hidup sebagai seorang religius yang baik.Hal ini berbeda dengan tipikal yang kedua. Sebut saja namanya Falan, yang selalu marah-marah dan mencak-mencak lantaran penyakit yang dideritanya. Ia banyak mengeluh dan mengaduh. Baginya, semua orang adalah musuh dalam selimut. Setiap orang yang menjenguk dicurigainya telah mengirim santet atau teluh. Ia merasa yakin bahwa “gitu-gituan” itu memang ada, sehingga tiap penjenguk yang hadir dicurigainya dengan muka cemberut. Ia tidak mau memakan makanan yang dikirim siapapun, takut mengandung benda-benda yang berunsur nila atau tuah. Makanan dari rumah sakit pun terasa pahit dan hambar di mulutnya.
Karena rasa frustasi dan kecurigaan berlebihan pada semua orang (makhluk Tuhan), maka ia pun malas berdoa bagi kesembuhannya. Pantangan dari dokter banyak dilanggar. Setelah beberapa hari, obat pun berhenti ia konsumsi. Kerjaannya hanya marah dan uring-uringan di tempat tidur. Dokter merasa segan merawatnya. Saudara-kerabat juga enggan menjenguknya, takut kena damprat dan amarah. Tatapi, karena Tuhan menakdirkan ia sakit selama tiga bulan, maka sembuhlah ia setelah dirawat selama tiga bulan penuh.Tipikal pertama maupun yang kedua, sama-sama menghadapi takdir Tuhan terserang penyakit, dan menjalani proses penyembuhannya selama tiga bulan. Yang satu konsisten berdoa dan berusaha secara optimal, hingga sembuh dari penyakitnya. Satunya lagi, menjalani proses kesembuhannya dengan mengumbar amarah dan kedengkian pada semua orang. Dua-duanya bisa sembuh setelah masa tiga bulan, dan menjalani aktivitasnya seperti sedia kala. Namun demikian, para pembaca yang berakal sehat dan berhati nurani, tentu akan sanggup membedakan siapakah – di antara keduanya – yang lebih mulia derajatnya dalam pandangan Tuhan maupun manusia. Lalu, ada lagi dua tipikal manusia yang berbeda dalam menyikapi penyakit dan rasa sakit yang dideritanya. Sebut saja namanya Filan dan Falan. Kedunya menderita penyakit yang sangat kronis. Filan sudah menjalani pengobatan selama dua bulan lebih. Doa-doa berusaha dipanjatkan siang dan malam. Ia berusaha bersikap ramah kepada setiap penjenguknya. Meski demikian, penyakitnya terus menjalar ke sekujur tubuh, sampai kemudian ia berpulang ke rahmatullah setelah menjalani tiga bulan masa pengobatan.
Sementara itu, Falan bersikap masam dan cemberut pada semua orang, termasuk kepada dokter yang merawatnya. Jenis penyakitnya serupa dengan Filan, juga sama-sama kronis dan menjalani pengobatan selama dua bulan lebih. Ia tidak sempat berdoa, atau doa-doanya kurang optimal karena rasa tegang serta kedengkiannya pada semua orang (makhluk Tuhan). Pada bulan ketiga, sakitnya semakin parah, hingga kemudian ajal pun menjemputnya. Filan dan Falan sudah ditakdirkan ajal kematiannya setelah tiga bulan masa pengobatan. Minum atau tidak minum obat, berdoa atau berpangku tangan, tetap saja ajal menjemputnya, karena Tuhan sudah mencatatnya. Usaha dan doa-doa yang dipanjatkan Filan secara optimal, tetap saja mengantarkannya ke pintu gerbang kematian. Tetapi, semua pembaca akan paham, kualitas hidup yang manakah yang lebih baik antara Filan dan Falan. Dan siapakah derajatnya yang lebih mulia dalam pandangan Tuhan maupun manusia.
Oleh karena itu, bagi Anda yang sedang sakit atau yang sedang menjalani masa pengobatan. Sungguh hanya Tuhan Yang Maha Tahu, apakah dengan sakit yang diderita itu akan mengantarkan Anda pada kesembuhan, ataukah mengantarkan Anda ke pintu gerbang kematian? Saya bukan dalam kapasitas menghakimi apakah Anda berada dalam ketegori yang mulia ataukah hina. Sebagai hamba, saya tidak punya hak untuk mengklaim apakah Anda akan menjadi ahli surga ataukah neraka? Sesungguhnya, mulia di mata Tuhan – cepat atau lama – sudah pasti akan melahirkan kemuliaan di mata manusia. Tetapi, belum tentu sebaliknya.
Sekali lagi, selaku hamba Tuhan, saya tak punya kewenangan untuk menilai, apakah Anda seorang theis, atheis, ataukah sejenis manusia yang pintar membungkus atheisme dengan aksesoris keberagamaan yang bersifat kasatmata belaka? Bukankah hakikat iman yang sebenarnya adalah apa yang tersirat di dalam hati, serta dibenarkan oleh perilaku yang tenang dan sabar dalam menyikapi ujian hidup?Jika kita menyikapi ujian Tuhan sebagaimana watak dan karakteristik Fulan dan Falan, maka sejauhmana kualitas keimanan kita sebagai bangsa yang mengaku-ngaku beragama dan berpancasila sejati? Sebaliknya, jika kita meneladani watak dan karakteristik seorang religius seperti Filan, maka tak ada masalah dengan kesembuhan maupun kematian, sehat atau sakit, sukses atau gagal, menang atau kalah dan seterusnya.
Yang penting kita sudah berusaha dan berdoa sedapat mungkin. Perkara bagaimana akhirnya, kita serahkan sepenuhnya pada keputusan Tuhan Yang Maha Menguasai dan Memiliki kita semua. Itulah yang disebut “Islam”, bertawakkal dan berserah diri pada keputusan Tuhan, setelah doa dan usaha diupayakan seoptimal mungkin. Ataukah kita sebagai warganegara Indonesia, akan terus-menerus memiliki kepercayaan yang hilir mudik antara timur dan barat, mukmin dan kafir, muslim dan musyrik. Di satu sisi mengaku-ngaku “muslim” tetapi di sisi lain tak mau berserah diri untuk melepaskan segala aksesoris jimat, takhayul, benda pusaka, dan segala amalan-amalan syirik lainnya?Sahabat dan menantu Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan kata-kata mutiara, “Tidak sama orang yang mencari kebenaran dengan orang yang mencari-cari kesalahan. Beruntunglah orang yang mencari kebenaran walaupun belum dicapainya, ketimbang orang yang mencari-cari kesalahan meskipun telah berhasil diraihnya.”
Sayidina Ali – biasanya ia dipanggil – terbunuh pada suatu pagi, di ujung pedang seorang ekstrimis dan radikalis, bernama Abdurrahman bin Muljam. Pembunuh itu mengutip-ngutip ayat Alquran di depan mahkamah pengadilan, seakan-akan ia membenarkan tingkah laku dan sikap anarkisnya terhadap sahabat nabi.Kematian yang indah dialami oleh Sayidina Ali, sang pembuka cahaya ilmu yang mewariskan kumpulan narasi dalam karya monumentalnya “Nahjul Balaghah”. Goresan pena dari Sayidina Ali terus-menerus menjadi rujukan para ilmuwan, kaum sufi, para filosof dan sastrawan muslim sedunia. Karya itu sangat berharga bagi mereka yang mendedikasikan dirinya untuk berkiprah di dunia literasi, suatu mahakarya sastra Islam yang sangat menakjubkan, sebagai warisan agung dan amal jariyah yang terus mengalir hingga saat ini.
Sementara itu, Abdurrahman bin Muljam yang membunuhnya, tak lebih dari seorang pemburu harta dan kekuasaan yang terus-menerus dihantui oleh dosa dan kesalahan seumur hidupnya. Ia tidak melahirkan karya dan prestasi apapun, karena memang seseorang yang hidupnya masih diselimuti dosa masa lalu, tak mungkin punya kemampuan untuk berpikir lapang dan terbuka. Juga tak punya kekuatan untuk mengangkat pena sebagai sarana penting untuk berkarya bagi kemaslahatan umat. ***
*Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten.
Oleh Hafis Azhari*
KAWACA.COM | Ada dua tipikal manusia yang berbeda dalam menyikapi penyakit atau rasa sakit yang dideritanya. Seorang religius tentu akan mengacu pada ajaran agama yang dianutnya, serta bercermin dari teladan nabi dan rasul yang menjadi panutannya. Ia akan bersabar dan berdoa agar Tuhan mengasihinya serta menyembuhkan penyakitnya. Ia juga pergi ke dokter yang dianggap cocok bagi pengobatannya, menuruti petunjuknya, serta menghindari pantangan-pantangan yang disampaikan kepadanya.Ketika obat sudah diminum, pantangan dihindari, dan doa-doa dipanjatkan, ia akan tetap bersabar meskipun Tuhan belum berkenan bagi kesembuhan penyakitnya. Seorang religius akan berusaha menjalanakan yang terbaik, senantiasa bersikap ramah pada setiap orang yang menjenguknya. Tidak banyak mengeluh, malah justru membesarkan hati para penjenguknya agar senantiasa opitimis dalam menghadapi ujian hidup.
Akhirnya, banyak ilmu dan hikmah yang dipetik, setelah takdir Tuhan menentukan waktunya tiba bagi kesembuhan penyakitnya. Aktivitas dijalankan kembali secara optimal, ilmu dan wawasan semakin matang, dan ia akan senantiasa konsisten menjalani hidup sebagai seorang religius yang baik.Hal ini berbeda dengan tipikal yang kedua. Sebut saja namanya Falan, yang selalu marah-marah dan mencak-mencak lantaran penyakit yang dideritanya. Ia banyak mengeluh dan mengaduh. Baginya, semua orang adalah musuh dalam selimut. Setiap orang yang menjenguk dicurigainya telah mengirim santet atau teluh. Ia merasa yakin bahwa “gitu-gituan” itu memang ada, sehingga tiap penjenguk yang hadir dicurigainya dengan muka cemberut. Ia tidak mau memakan makanan yang dikirim siapapun, takut mengandung benda-benda yang berunsur nila atau tuah. Makanan dari rumah sakit pun terasa pahit dan hambar di mulutnya.
Karena rasa frustasi dan kecurigaan berlebihan pada semua orang (makhluk Tuhan), maka ia pun malas berdoa bagi kesembuhannya. Pantangan dari dokter banyak dilanggar. Setelah beberapa hari, obat pun berhenti ia konsumsi. Kerjaannya hanya marah dan uring-uringan di tempat tidur. Dokter merasa segan merawatnya. Saudara-kerabat juga enggan menjenguknya, takut kena damprat dan amarah. Tatapi, karena Tuhan menakdirkan ia sakit selama tiga bulan, maka sembuhlah ia setelah dirawat selama tiga bulan penuh.Tipikal pertama maupun yang kedua, sama-sama menghadapi takdir Tuhan terserang penyakit, dan menjalani proses penyembuhannya selama tiga bulan. Yang satu konsisten berdoa dan berusaha secara optimal, hingga sembuh dari penyakitnya. Satunya lagi, menjalani proses kesembuhannya dengan mengumbar amarah dan kedengkian pada semua orang. Dua-duanya bisa sembuh setelah masa tiga bulan, dan menjalani aktivitasnya seperti sedia kala. Namun demikian, para pembaca yang berakal sehat dan berhati nurani, tentu akan sanggup membedakan siapakah – di antara keduanya – yang lebih mulia derajatnya dalam pandangan Tuhan maupun manusia. Lalu, ada lagi dua tipikal manusia yang berbeda dalam menyikapi penyakit dan rasa sakit yang dideritanya. Sebut saja namanya Filan dan Falan. Kedunya menderita penyakit yang sangat kronis. Filan sudah menjalani pengobatan selama dua bulan lebih. Doa-doa berusaha dipanjatkan siang dan malam. Ia berusaha bersikap ramah kepada setiap penjenguknya. Meski demikian, penyakitnya terus menjalar ke sekujur tubuh, sampai kemudian ia berpulang ke rahmatullah setelah menjalani tiga bulan masa pengobatan.
Sementara itu, Falan bersikap masam dan cemberut pada semua orang, termasuk kepada dokter yang merawatnya. Jenis penyakitnya serupa dengan Filan, juga sama-sama kronis dan menjalani pengobatan selama dua bulan lebih. Ia tidak sempat berdoa, atau doa-doanya kurang optimal karena rasa tegang serta kedengkiannya pada semua orang (makhluk Tuhan). Pada bulan ketiga, sakitnya semakin parah, hingga kemudian ajal pun menjemputnya. Filan dan Falan sudah ditakdirkan ajal kematiannya setelah tiga bulan masa pengobatan. Minum atau tidak minum obat, berdoa atau berpangku tangan, tetap saja ajal menjemputnya, karena Tuhan sudah mencatatnya. Usaha dan doa-doa yang dipanjatkan Filan secara optimal, tetap saja mengantarkannya ke pintu gerbang kematian. Tetapi, semua pembaca akan paham, kualitas hidup yang manakah yang lebih baik antara Filan dan Falan. Dan siapakah derajatnya yang lebih mulia dalam pandangan Tuhan maupun manusia.
Oleh karena itu, bagi Anda yang sedang sakit atau yang sedang menjalani masa pengobatan. Sungguh hanya Tuhan Yang Maha Tahu, apakah dengan sakit yang diderita itu akan mengantarkan Anda pada kesembuhan, ataukah mengantarkan Anda ke pintu gerbang kematian? Saya bukan dalam kapasitas menghakimi apakah Anda berada dalam ketegori yang mulia ataukah hina. Sebagai hamba, saya tidak punya hak untuk mengklaim apakah Anda akan menjadi ahli surga ataukah neraka? Sesungguhnya, mulia di mata Tuhan – cepat atau lama – sudah pasti akan melahirkan kemuliaan di mata manusia. Tetapi, belum tentu sebaliknya.
Sekali lagi, selaku hamba Tuhan, saya tak punya kewenangan untuk menilai, apakah Anda seorang theis, atheis, ataukah sejenis manusia yang pintar membungkus atheisme dengan aksesoris keberagamaan yang bersifat kasatmata belaka? Bukankah hakikat iman yang sebenarnya adalah apa yang tersirat di dalam hati, serta dibenarkan oleh perilaku yang tenang dan sabar dalam menyikapi ujian hidup?Jika kita menyikapi ujian Tuhan sebagaimana watak dan karakteristik Fulan dan Falan, maka sejauhmana kualitas keimanan kita sebagai bangsa yang mengaku-ngaku beragama dan berpancasila sejati? Sebaliknya, jika kita meneladani watak dan karakteristik seorang religius seperti Filan, maka tak ada masalah dengan kesembuhan maupun kematian, sehat atau sakit, sukses atau gagal, menang atau kalah dan seterusnya.
Yang penting kita sudah berusaha dan berdoa sedapat mungkin. Perkara bagaimana akhirnya, kita serahkan sepenuhnya pada keputusan Tuhan Yang Maha Menguasai dan Memiliki kita semua. Itulah yang disebut “Islam”, bertawakkal dan berserah diri pada keputusan Tuhan, setelah doa dan usaha diupayakan seoptimal mungkin. Ataukah kita sebagai warganegara Indonesia, akan terus-menerus memiliki kepercayaan yang hilir mudik antara timur dan barat, mukmin dan kafir, muslim dan musyrik. Di satu sisi mengaku-ngaku “muslim” tetapi di sisi lain tak mau berserah diri untuk melepaskan segala aksesoris jimat, takhayul, benda pusaka, dan segala amalan-amalan syirik lainnya?Sahabat dan menantu Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan kata-kata mutiara, “Tidak sama orang yang mencari kebenaran dengan orang yang mencari-cari kesalahan. Beruntunglah orang yang mencari kebenaran walaupun belum dicapainya, ketimbang orang yang mencari-cari kesalahan meskipun telah berhasil diraihnya.”
Sayidina Ali – biasanya ia dipanggil – terbunuh pada suatu pagi, di ujung pedang seorang ekstrimis dan radikalis, bernama Abdurrahman bin Muljam. Pembunuh itu mengutip-ngutip ayat Alquran di depan mahkamah pengadilan, seakan-akan ia membenarkan tingkah laku dan sikap anarkisnya terhadap sahabat nabi.Kematian yang indah dialami oleh Sayidina Ali, sang pembuka cahaya ilmu yang mewariskan kumpulan narasi dalam karya monumentalnya “Nahjul Balaghah”. Goresan pena dari Sayidina Ali terus-menerus menjadi rujukan para ilmuwan, kaum sufi, para filosof dan sastrawan muslim sedunia. Karya itu sangat berharga bagi mereka yang mendedikasikan dirinya untuk berkiprah di dunia literasi, suatu mahakarya sastra Islam yang sangat menakjubkan, sebagai warisan agung dan amal jariyah yang terus mengalir hingga saat ini.
Sementara itu, Abdurrahman bin Muljam yang membunuhnya, tak lebih dari seorang pemburu harta dan kekuasaan yang terus-menerus dihantui oleh dosa dan kesalahan seumur hidupnya. Ia tidak melahirkan karya dan prestasi apapun, karena memang seseorang yang hidupnya masih diselimuti dosa masa lalu, tak mungkin punya kemampuan untuk berpikir lapang dan terbuka. Juga tak punya kekuatan untuk mengangkat pena sebagai sarana penting untuk berkarya bagi kemaslahatan umat. ***
*Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten.