Bahasa Bukan Logika Formal - Muhamad Pauji
Bahasa Bukan Logika Formal
oleh Muhamad Pauji
-Penulis Pegiat Organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)
KAWACA.COM | Kadang saya empet banget mendengar seorang akademisi dan intelektual dalam seminar dan simposium, baik di kampus-kampus atau di siaran-siaran televisi, yang kelihatannya serius banget dalam berbahasa. Padahal, logika bahasa itu mengandalkan insting dan intuisi. Kalau rasanya enak didengar, ya itulah yang dianggap benar, dan jadilah kesepakatan umum. Dari zaman baheula sampai saiki, memang begitulah kodrat bahasa, spontan dan tidak konsisten. Dinamikanya terus bergerak dari waktu ke waktu, ada yang positif ada yang negatif. Tapi menurut hemat saya, semua perkembangan itu positif-positif aja. Ngapain juga pake dipikirin.
Ini serius. Justru di situlah letaknya kompleksitas bahasa, juga kompleksitas pikiran manusia. Kalau terlalu serius banget, harus taat hukum, tentu tidak akan ada penafsiran majemuk. Dengan demikian, tidak akan melahirkan estetika maupun keindahan sastrais. Beda dengan kebenaran dalam penetapan hukum dan undang-undang yang harus bersifat logis dan kronologis. Misalnya, seorang kriminal harus diuji dulu kebenarannya sampai terbukti bahwa ia bersalah. Sedangkan kebenaran dalam bahasa berfungsi sebaliknya, tidak saklek dan normatif. Ia lahir dan berkembang begitu saja, terlebih dalam karya sastra. Oleh karena berdasarkan karya sastra itu, para pemakai bahasa menarik hukum-hukum bahasa yang bersifat deskriptif.
Para pemakai bahasa yang sudah kadung jadi kesepakatan umum itu, memang bandel alias badung. Lantas, perilakunya dianggap tidak taat hukum dalam berbahasa. Pakar bahasa menuduhnya tidak sesuai EYD, karenanya dianggap kekecualian. Tapi para pencipta dan penghidup bahasa, kemudian meningkat kepada para pengguna bahasa, paling-paling ketawa-ketiwi sambil cengengesan, seraya meneguhkan prinsipnya sambil mengatakan, “Biarpun anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”
Soalnya, justru dalam kesepakatan pemakaian bahasa itu terkandung seni dalam berbahasa. Terserah para pakar mau setuju atau tidak. Karena bagi penutur bahasa, seorang pakar hanyalah satu suara dalam voting kesepakatan pemakaian bahasa. Terserah mau enak atau tidak dalam pendengaran kuping mereka. Sebab, memang dari kodratnya, bahasa memiliki logika yang unik. Bermacam-macam. Di dalamnya ada logika matematis yang saklek, ada juga logika filosofis yang cenderung formal, tapi ada juga logika informal yang lentur dan cuek bebek aja.
Dalam logika informal ini, bahasa dapat berkembang semau dewek, tak pernah taat asas, terbolak-balik, seperti ketika Anda mengatakan, ‘keluar-masuk’, ‘pulang-pergi’, ‘turun-naik’. Coba perhatikan, siapa yang memulai kata-kata ngawur dan ngelantur itu? Mosok, setelah keluar baru masuk? Setelah pulang baru pergi, setelah turun terus naik? Kapan naiknya dia? Kenapa yang menjadi kesepakatan umum bukannya, masuk-keluar, pergi-pulang, dan naik-turun?
Saya juga keberatan disuruh nulis artikel dengan memakai bahasa yang cenderung kaku, tidak bersifat umum. Ogah amat saya menggunakan kalimat dengan memakai kata, ‘memercayai’, ‘memengaruhi’, apalagi ‘memunyai’. Bisa-bisa saya dibilang wong edan yang eksklusif, petantang-petenteng memasyarakatkan bahasa yang tidak umum, walaupun dianggap logis dan matematis.
Seorang turis Australia pernah gelagapan ketika harus mengartikan kata-kata “Kawasan Tertib Lalu Lintas”. Dia juga serba kebingungan memahami tulisan “Ada Galian Lubang” di sepanjang jalan yang lagi dibenahi. Ngapain coba? Lubang kok digali, emangnya sumur apa? Apakah di tempat lain boleh lalu lintasnya acak-acakan, dan hanya di kawasan itu saja yang harus tertib?
Tetapi, sifat bahasa memang sudah kadung begitulah adanya, spontan tidak arbitrer, dan mana suka siaran niaga. Setiap pemakai bahasa secara intuitif menyadari konvensi itu. Kecuali jika Anda berkomunikasi dengan tidak menggunakan bahasa, alias memakai bahasa isyarat untuk orang gagu. Tapi selama Anda berkomunikasi dengan memakai bahasa sebagai perangkatnya, ya kayak begitu itulah. Akan selalu ada kelonggaran ruang bagi pemberontakan kreatif dan inovatif untuk memenuhi kebutuhan akan hadirnya istilah-istilah baru.
Tapi jika istilah baru itu tidak menjadi kesepakatan umum, alias jarang dipakai publik, ya sudahlah, gak usah frustasi. Kan nggak enak bila kita mendengar ada pakar bahasa yang tiba-tiba gantung diri, lantaran kaget melihat dinamika bahasa yang terus berkembang. Menyaksikan orang-orang yang gak mau menulis ‘memercayai’, ‘memunyai’, atau ‘memerhatikan’, lantas depresi berat mengisolasi diri, kemudian membangun suatu aliran jamaah yang memasyarakatkan bahasa baku, dengan motto dan panca jiwa bahwa, “kiamat sudah di ambang pintu pagar”.
Sebegitunyakah sikap sebagian praktisi dan pemerhati bahasa yang bersikeras mengubah mempunyai menjadi memunyai? Sudahlah, wahai pakar dan ahli bahasa, yang ngotot bin kekeuh. Jangan bikin kepala kami pusing tujuh keliling. Mikirin kenaikan harga-harga barang juga udah bikin puyeng, ditambah Anda yang bikin-bikin kata baru dengan istilah ‘memunyai’.
Sekali lagi, sudahlah gak usah dipaksakan. Karena memang, intuisi bahasa kita sebagai penutur, akan bergerak otomatis ketika berbahasa. Para bapak dan ibu pakar yang kula hormati, janganlah terburu-buru memukul rata suatu gejala kebahasaan. Sesungguhnya, bahasa itu adalah milik penuturnya. Sama halnya ketika kita mengendarai motor, melintasi halaman rumah melalui konblok atau jalan berkerikil, suka-suka yang punya rumah. Dan aparat kepolisian tidak berhak masuk pagar rumah orang, sambil mengacung-acungkan surat tilang segala.
Memang ada sebagian pakar dan praktisi bahasa yang menganalisis bahasa bukan berdasarkan data, melainkan berdasarkan asumsi belaka. Inilah yang harus dihindari sebagaimana terjadi atas penggunaan kata ‘memunyai’ yang tak pernah populer itu. Salah satu ciri bahwa suatu hukum bahasa dinilai “kurang tepat”, biasanya akan muncul resistensi atau penolakan oleh para penutur bahasa sebagai hak miliknya.
Kalau penolakan itu terjadi hanya pada beberapa gelintir orang, bisa jadi sang penutur bahasa itu yang kurang tepat. Tapi bila kebanyakan penutur merasakan kejanggalan atas suatu hukum bahasa, saya berani mengatakan bahwa “hukum bahasa” itulah yang harus mengalah. Kalau tidak, tetap akan terjadi resistensi yang membuat Anda dipaksa untuk lengser keprabon. Punten. (*)
oleh Muhamad Pauji
-Penulis Pegiat Organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)
KAWACA.COM | Kadang saya empet banget mendengar seorang akademisi dan intelektual dalam seminar dan simposium, baik di kampus-kampus atau di siaran-siaran televisi, yang kelihatannya serius banget dalam berbahasa. Padahal, logika bahasa itu mengandalkan insting dan intuisi. Kalau rasanya enak didengar, ya itulah yang dianggap benar, dan jadilah kesepakatan umum. Dari zaman baheula sampai saiki, memang begitulah kodrat bahasa, spontan dan tidak konsisten. Dinamikanya terus bergerak dari waktu ke waktu, ada yang positif ada yang negatif. Tapi menurut hemat saya, semua perkembangan itu positif-positif aja. Ngapain juga pake dipikirin.
Ini serius. Justru di situlah letaknya kompleksitas bahasa, juga kompleksitas pikiran manusia. Kalau terlalu serius banget, harus taat hukum, tentu tidak akan ada penafsiran majemuk. Dengan demikian, tidak akan melahirkan estetika maupun keindahan sastrais. Beda dengan kebenaran dalam penetapan hukum dan undang-undang yang harus bersifat logis dan kronologis. Misalnya, seorang kriminal harus diuji dulu kebenarannya sampai terbukti bahwa ia bersalah. Sedangkan kebenaran dalam bahasa berfungsi sebaliknya, tidak saklek dan normatif. Ia lahir dan berkembang begitu saja, terlebih dalam karya sastra. Oleh karena berdasarkan karya sastra itu, para pemakai bahasa menarik hukum-hukum bahasa yang bersifat deskriptif.
Para pemakai bahasa yang sudah kadung jadi kesepakatan umum itu, memang bandel alias badung. Lantas, perilakunya dianggap tidak taat hukum dalam berbahasa. Pakar bahasa menuduhnya tidak sesuai EYD, karenanya dianggap kekecualian. Tapi para pencipta dan penghidup bahasa, kemudian meningkat kepada para pengguna bahasa, paling-paling ketawa-ketiwi sambil cengengesan, seraya meneguhkan prinsipnya sambil mengatakan, “Biarpun anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”
Soalnya, justru dalam kesepakatan pemakaian bahasa itu terkandung seni dalam berbahasa. Terserah para pakar mau setuju atau tidak. Karena bagi penutur bahasa, seorang pakar hanyalah satu suara dalam voting kesepakatan pemakaian bahasa. Terserah mau enak atau tidak dalam pendengaran kuping mereka. Sebab, memang dari kodratnya, bahasa memiliki logika yang unik. Bermacam-macam. Di dalamnya ada logika matematis yang saklek, ada juga logika filosofis yang cenderung formal, tapi ada juga logika informal yang lentur dan cuek bebek aja.
Dalam logika informal ini, bahasa dapat berkembang semau dewek, tak pernah taat asas, terbolak-balik, seperti ketika Anda mengatakan, ‘keluar-masuk’, ‘pulang-pergi’, ‘turun-naik’. Coba perhatikan, siapa yang memulai kata-kata ngawur dan ngelantur itu? Mosok, setelah keluar baru masuk? Setelah pulang baru pergi, setelah turun terus naik? Kapan naiknya dia? Kenapa yang menjadi kesepakatan umum bukannya, masuk-keluar, pergi-pulang, dan naik-turun?
Saya juga keberatan disuruh nulis artikel dengan memakai bahasa yang cenderung kaku, tidak bersifat umum. Ogah amat saya menggunakan kalimat dengan memakai kata, ‘memercayai’, ‘memengaruhi’, apalagi ‘memunyai’. Bisa-bisa saya dibilang wong edan yang eksklusif, petantang-petenteng memasyarakatkan bahasa yang tidak umum, walaupun dianggap logis dan matematis.
Seorang turis Australia pernah gelagapan ketika harus mengartikan kata-kata “Kawasan Tertib Lalu Lintas”. Dia juga serba kebingungan memahami tulisan “Ada Galian Lubang” di sepanjang jalan yang lagi dibenahi. Ngapain coba? Lubang kok digali, emangnya sumur apa? Apakah di tempat lain boleh lalu lintasnya acak-acakan, dan hanya di kawasan itu saja yang harus tertib?
Tetapi, sifat bahasa memang sudah kadung begitulah adanya, spontan tidak arbitrer, dan mana suka siaran niaga. Setiap pemakai bahasa secara intuitif menyadari konvensi itu. Kecuali jika Anda berkomunikasi dengan tidak menggunakan bahasa, alias memakai bahasa isyarat untuk orang gagu. Tapi selama Anda berkomunikasi dengan memakai bahasa sebagai perangkatnya, ya kayak begitu itulah. Akan selalu ada kelonggaran ruang bagi pemberontakan kreatif dan inovatif untuk memenuhi kebutuhan akan hadirnya istilah-istilah baru.
Tapi jika istilah baru itu tidak menjadi kesepakatan umum, alias jarang dipakai publik, ya sudahlah, gak usah frustasi. Kan nggak enak bila kita mendengar ada pakar bahasa yang tiba-tiba gantung diri, lantaran kaget melihat dinamika bahasa yang terus berkembang. Menyaksikan orang-orang yang gak mau menulis ‘memercayai’, ‘memunyai’, atau ‘memerhatikan’, lantas depresi berat mengisolasi diri, kemudian membangun suatu aliran jamaah yang memasyarakatkan bahasa baku, dengan motto dan panca jiwa bahwa, “kiamat sudah di ambang pintu pagar”.
Sebegitunyakah sikap sebagian praktisi dan pemerhati bahasa yang bersikeras mengubah mempunyai menjadi memunyai? Sudahlah, wahai pakar dan ahli bahasa, yang ngotot bin kekeuh. Jangan bikin kepala kami pusing tujuh keliling. Mikirin kenaikan harga-harga barang juga udah bikin puyeng, ditambah Anda yang bikin-bikin kata baru dengan istilah ‘memunyai’.
Sekali lagi, sudahlah gak usah dipaksakan. Karena memang, intuisi bahasa kita sebagai penutur, akan bergerak otomatis ketika berbahasa. Para bapak dan ibu pakar yang kula hormati, janganlah terburu-buru memukul rata suatu gejala kebahasaan. Sesungguhnya, bahasa itu adalah milik penuturnya. Sama halnya ketika kita mengendarai motor, melintasi halaman rumah melalui konblok atau jalan berkerikil, suka-suka yang punya rumah. Dan aparat kepolisian tidak berhak masuk pagar rumah orang, sambil mengacung-acungkan surat tilang segala.
Memang ada sebagian pakar dan praktisi bahasa yang menganalisis bahasa bukan berdasarkan data, melainkan berdasarkan asumsi belaka. Inilah yang harus dihindari sebagaimana terjadi atas penggunaan kata ‘memunyai’ yang tak pernah populer itu. Salah satu ciri bahwa suatu hukum bahasa dinilai “kurang tepat”, biasanya akan muncul resistensi atau penolakan oleh para penutur bahasa sebagai hak miliknya.
Kalau penolakan itu terjadi hanya pada beberapa gelintir orang, bisa jadi sang penutur bahasa itu yang kurang tepat. Tapi bila kebanyakan penutur merasakan kejanggalan atas suatu hukum bahasa, saya berani mengatakan bahwa “hukum bahasa” itulah yang harus mengalah. Kalau tidak, tetap akan terjadi resistensi yang membuat Anda dipaksa untuk lengser keprabon. Punten. (*)