Musim Panen dan Hewan Kurban - Ali Satri Efendi
Musim Panen dan Hewan Kurban
oleh Ali Satri Efendi
KAWACA.COM | ”Kalau padinya kayak gini, dua ratus ribu, Pak sekuintalnya,” ujar Muis, tengkulak langganan Syarif yang biasa membeli padi-padinya setiap musim panen. Ia terhenyak mendengar angka yang disebutkan.
”Apa tidak bisa ditambahkan? Tiga ratus ribu misalnya?” harap Syarif.
”Wah, tidak bisa, Pak. Padinya basah. Mungkin dalam satu kuintal pun banyak gabah yang kosong,” timpal Muis. ”Saya juga kan pedagang. Orang kota bakal susah nih sama padi kayak gini.”
Syarif terdiam. Memandang berkarung-karung padinya yang sudah telanjur dibawa ke gudang tersebut. Hasil panen tahun ini memang yang terburuk dari beberapa tahun terakhir. Musim yang tak menentu dengan hujan hampir sepanjang tahun. Ia juga mengerti jika susah untuk menjualnya. Dan padipadi tersebut pun tidak mungkin ia bawa kembali. Akhirnya ia relakan hanya menerima dua ratus ribu rupiah per kuintal. Padahal jika musim tengah baik, padinya per kuintal bisa lima ratus hingga enam ratus ribu rupiah.
Ia tinggalkan gudang tersebut dengan bergumpal-gumpal pikiran. Uang kuliah anak pertamanya, uang sekolah anak kedua dan ketiganya, keperluan-keperluan rumah tangga selama berbulan-bulan ke depan, kondangan ke beberapa kenalan, dan lain sebagainya. Serta satu hal yang semakin memberatkan pikirannya mengingat kurang dari sebulan lagi adalah hari raya Idul Adha: hewan kurban. Dan ia tidak pernah absen membelinya beberapa tahun terakhir.
***
”Berapa harga kambing sekarang?” tanya Syarif pada Iman, tetangganya.
”Ya... sekitar dua sampai tiga jutaan, Rif,” jawab Iman sedikit ragu. ”Kamu mau kurban lagi? Nanti saya carikan sekalian saya cari kerbau buat Pak Haji Arifin,” tawarnya.
Syarif tersenyum getir. Terpikir uang hasil panennya telah ia perhitungkan untuk keperluan dasar rumah tangganya. ”Nanti ya. Beberapa kuintal padi saya belum dibayar sama tengkulak,” ia berbohong menutupi kekhawatirannya.
”Kamu, Rif, masih beruntung bisa menjual hasil panenmu. Lihat si Indra, kasihan dia. Padi-padinya sama sekali tidak bisa dijual.” Iman menyalakan rokoknya. Mengembus asapnya bersama beban di kepala. ”Si Taufan juga. Banyak lah di kampung ini yang gak bisa jual padinya. Mereka pada bingung harus cari pinjaman ke mana buat keperluan sehari-hari dan buat beli bibit
padi untuk musim tandur ke depan.”
”Iya, Alhamdulillah,” ujar Syarif sekenanya. Ia bilang, ia juga prihatin dengan nasib musim panen tahun ini di kampung ini. Musim makin tak menentu dan pupuk makin mahal. Tidak berapa lama basa-basi, Syarif memutuskan pulang ke rumah.
Lelah ia jika harus membicarakan nasib padi terus menerus.
Di rumahnya ia pun cuma bisa duduk-duduk saja. Masamasa setelah panen adalah masa nganggur untuk petani. Apalagi hujan masih juga turun. Bibit pun belum bisa disebar kembali. Di panen sebelumnya, dengan hasil padi yang bagus dan berlimpah, di waktu tanggung seperti ini ia bisa saja mengajak keluarganya jalan-jalan sesering mungkin. Walaupun cuma ke ibu kota. Tapi kali ini, mengeluarkan uang untuk kondangan pun sudah membuatnya pusing.
”Jangan bengong, Pak!” Neni, istri Syarif membuyarkan lamunannya.
”Ah Ibu, siapa yang bengong,” kilah Syarif. Neni menghampiri dan duduk di sampingnya.
”Bapak mikirin uang kuliah Anan?” tebak Neni.
”Enggak, Bu,” jawab Syarif dengan senyum tipis. ”Kan kita sudah hitung. Uang kuliah Anan bisa kita lunasi secepatnya asal kita bisa berhemat belanja rumah tangga.”
”Terus mikirin apa?”
”Emang Bapak kelihatan lagi mikir, ya?”
”Ibu kan biasa ngeliatin Bapak sudah sembilan belas tahun,” Neni berusaha meyakinkan tembakannya. ”Ibu hapal tiap lekuk perubahan wajah Bapak. Tiap keriput pun Ibu hapal kapan munculnya,” lanjutnya mencoba bercanda.
”Iya...iya... Bapak tidak ragu dengan keahlian Ibu itu.
Tapi...,”
”Nah... Ibu tahu nih,” Neni langsung memotong, ”pasti masalah hewan kurban, kan?”
Syarif diam sejenak. Lalu menarik nafas. ”Masak kita tidak kurban tahun ini, Bu.”
Neni mengembuskan nafas berat. ”Iya sih, Pak. Ibu juga kepikiran. Biasanya kita menyembelih kambing di depan rumah tiap Idul Adha,” ia pun turut lesu seperti suaminya. ”Tapi mau bagaimana lagi. Memang keadaannya susah kayak gini.”
”Bapak dengar Pak Mahmud tetangga kita sudah beli kambing. Pak Irsyad juga.”
”Ya sudahlah, Pak. Mungkin tahun depan kita bisa beli hewan kurban lagi.”
”Ibu tidak apa-apa? Tidak malu?” tanya Syarif sedikit ragu.
”Tidak apa-apa, Pak,” Neni mencoba menenangkan.
”Paling Ibu nanti Idul Adha seharian di rumah,” candanya.
***
Beberapa hari menjelang Idul Adha, Syarif mulai mencoba menerima keadaannya kalau tahun ini ia tidak akan bisa membeli hewan kurban. Demi bisa membayar uang kuliah dan uang sekolah anak-anaknya. Itu pun masih membuatnya bingung bagaimana mengusahakan modal untuk membeli pupuk padi nantinya.
”Sudah beli hewan kurban, Rif?” tanya Irsyad tetangganya selepas salat Isya berjamaah di musala dan tentu lumayan mengagetkan Syarif.
Tadinya Syarif ingin menjawab apa adanya. Keadaan panen yang buruk serta biaya-biaya keluarga yang perlu ditutupi. Tapi karena ia dan Irsyad sudah cukup lama ada persaingan gengsi tersembunyi, ia jawab kalau ia belum sempat melihat-lihat hewan kurban di pasar. ”Mungkin besok baru bisa ke pasar,” ucap Syarif.
”Jangan kelamaan, Rif. Bisa-bisa kehabisan dan harganya tambah mahal,” ujar Irsyad lalu mohon diri karena sudah sampai di depan pagar rumahnya. Syarif pun berjalan sendiri. Rumah Syarif berjarak beberapa rumah dari rumah Irsyad. Begitu sampai di depan rumahnya, ia tidak langsung masuk. Langkahnya terhenti persis di depan pintu. Tangannya memegang gagang pintu tanpa mendorongnya. Masalah hewan kurban ini begitu mengganjal di kepalanya. Melebihi masalah panennya yang buruk ataupun biaya kuliah anaknya yang mahal di tiap semester. Lalu ia lepaskan genggamannya dari gagang pintu. Kemudian duduk di kursi depan di bawah lampu yang agak redup. Ia sandarkan punggungnya tidak dengan tegak. Kepalanya terasa sesak. Hingga beberapa menit kemudian baru ia mendapatkan celah, bersamaan dengan Neni yang memintanya masuk ke dalam rumah.
***
Satu hari sebelum Idul Adha, seekor kambing tiba di depan rumah Syarif. Iman yang membawanya dari pasar. Istri Syarif sempat bingung dan mengira kalau kambing itu salah alamat. Tapi Syarif lekas memberitahunya kalau ia yang membeli kambing tersebut dan mereka jadi menyembelih hewan kurban besok. Neni meminta penjelasan bagaimana Syarif bisa membeli kambing dengan keuangan mereka yang pas-pasan. Ia menjawab, setelah dihitung-hitung, tengkulak salah hitung dengan jumlah padi yang mereka beli dari Syarif.
”Mereka kurang bayar, Bu. Jadi Bapak tagih. Untungnya mereka sadar sendiri dan mau bayar kekurangannya,” tambahnya.
”Bapak kok gak bilang-bilang Ibu,” protes Neni.
”Biar ada kejutannya, Bu,” gurau Syarif.
Neni salah tingkah. Ia bilang, Syarif sok jadi anak gaul seperti muda-mudi sekarang. ”Biarin,” timpal Syarif, ”yang penting bisa kurban.”
Besoknya, tak lama setelah salat Idul Adha, Syarif dan keluarganya menyaksikan kambingnya disembelih dengan bantuan Iman. Daging kambing tersebut lantas dibagikan ke tetangga-tetangga dan orang-orang tidak mampu yang telah ia terima daftarnya dari Pak RT.
Neni terlihat tidak dapat membendung kebahagiaannya. Akhirnya, ia dan keluarganya dapat mempertahankan tradisinya untuk menyembelih hewan kurban tahun ini. Tapi berbeda dengan istrinya, walau Syarif tetap terlihat tersenyum dan menanggapi dengan baik apa pun obrolan yang ditujukan padanya pagi itu, tidak dapat dipungkiri seperti ada sesuatu yang menggantung di senyumnya. Apalagi setelah ia menerima telepon dari seseorang yang membuatnya harus sembunyi-sembunyi untuk menjawabnya.
”Bapak kenapa?” sapa istrinya setelah daging-daging kurban tersebut habis dibagikan. ”Kita akhirnya bisa menyembelih kurban tahun ini, kok Bapak masih kelihatan pusing kayak gitu?” tanya istrinya mulai bingung.
”Tidak apa-apa, Bu,” jawabnya tersenyum kecil.
”Jangan bohong, Pak,” protes Neni. Syarif tidak bisa menutupi getir di senyumnya barusan. ”Bapak tahu kan keahlian Ibu?”
Syarif mencoba meyakinkan kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi Neni terus menyudutkannya agar ia menjelaskan apa yang terjadi. Syarif terdiam beberapa saat, tidak menjelaskan apa pun. Segumpal nafas ia lepaskan sekaligus.
Neni duduk mendekati suaminya. ”Itu kambing siapa,
Pak?” tanya ia memaksa. ”Bapak beli kambing pakai uang siapa?” Syarif tidak berani memandang mata istrinya.
Sumber:
Buku: Matahari di Bumi Blambangan - Cerpen dan Puisi Pilihan Radar Banyuwangi 2018
oleh Ali Satri Efendi
KAWACA.COM | ”Kalau padinya kayak gini, dua ratus ribu, Pak sekuintalnya,” ujar Muis, tengkulak langganan Syarif yang biasa membeli padi-padinya setiap musim panen. Ia terhenyak mendengar angka yang disebutkan.
”Apa tidak bisa ditambahkan? Tiga ratus ribu misalnya?” harap Syarif.
”Wah, tidak bisa, Pak. Padinya basah. Mungkin dalam satu kuintal pun banyak gabah yang kosong,” timpal Muis. ”Saya juga kan pedagang. Orang kota bakal susah nih sama padi kayak gini.”
Syarif terdiam. Memandang berkarung-karung padinya yang sudah telanjur dibawa ke gudang tersebut. Hasil panen tahun ini memang yang terburuk dari beberapa tahun terakhir. Musim yang tak menentu dengan hujan hampir sepanjang tahun. Ia juga mengerti jika susah untuk menjualnya. Dan padipadi tersebut pun tidak mungkin ia bawa kembali. Akhirnya ia relakan hanya menerima dua ratus ribu rupiah per kuintal. Padahal jika musim tengah baik, padinya per kuintal bisa lima ratus hingga enam ratus ribu rupiah.
Ia tinggalkan gudang tersebut dengan bergumpal-gumpal pikiran. Uang kuliah anak pertamanya, uang sekolah anak kedua dan ketiganya, keperluan-keperluan rumah tangga selama berbulan-bulan ke depan, kondangan ke beberapa kenalan, dan lain sebagainya. Serta satu hal yang semakin memberatkan pikirannya mengingat kurang dari sebulan lagi adalah hari raya Idul Adha: hewan kurban. Dan ia tidak pernah absen membelinya beberapa tahun terakhir.
***
”Berapa harga kambing sekarang?” tanya Syarif pada Iman, tetangganya.
”Ya... sekitar dua sampai tiga jutaan, Rif,” jawab Iman sedikit ragu. ”Kamu mau kurban lagi? Nanti saya carikan sekalian saya cari kerbau buat Pak Haji Arifin,” tawarnya.
Syarif tersenyum getir. Terpikir uang hasil panennya telah ia perhitungkan untuk keperluan dasar rumah tangganya. ”Nanti ya. Beberapa kuintal padi saya belum dibayar sama tengkulak,” ia berbohong menutupi kekhawatirannya.
”Kamu, Rif, masih beruntung bisa menjual hasil panenmu. Lihat si Indra, kasihan dia. Padi-padinya sama sekali tidak bisa dijual.” Iman menyalakan rokoknya. Mengembus asapnya bersama beban di kepala. ”Si Taufan juga. Banyak lah di kampung ini yang gak bisa jual padinya. Mereka pada bingung harus cari pinjaman ke mana buat keperluan sehari-hari dan buat beli bibit
padi untuk musim tandur ke depan.”
”Iya, Alhamdulillah,” ujar Syarif sekenanya. Ia bilang, ia juga prihatin dengan nasib musim panen tahun ini di kampung ini. Musim makin tak menentu dan pupuk makin mahal. Tidak berapa lama basa-basi, Syarif memutuskan pulang ke rumah.
Lelah ia jika harus membicarakan nasib padi terus menerus.
Di rumahnya ia pun cuma bisa duduk-duduk saja. Masamasa setelah panen adalah masa nganggur untuk petani. Apalagi hujan masih juga turun. Bibit pun belum bisa disebar kembali. Di panen sebelumnya, dengan hasil padi yang bagus dan berlimpah, di waktu tanggung seperti ini ia bisa saja mengajak keluarganya jalan-jalan sesering mungkin. Walaupun cuma ke ibu kota. Tapi kali ini, mengeluarkan uang untuk kondangan pun sudah membuatnya pusing.
”Jangan bengong, Pak!” Neni, istri Syarif membuyarkan lamunannya.
”Ah Ibu, siapa yang bengong,” kilah Syarif. Neni menghampiri dan duduk di sampingnya.
”Bapak mikirin uang kuliah Anan?” tebak Neni.
”Enggak, Bu,” jawab Syarif dengan senyum tipis. ”Kan kita sudah hitung. Uang kuliah Anan bisa kita lunasi secepatnya asal kita bisa berhemat belanja rumah tangga.”
”Terus mikirin apa?”
”Emang Bapak kelihatan lagi mikir, ya?”
”Ibu kan biasa ngeliatin Bapak sudah sembilan belas tahun,” Neni berusaha meyakinkan tembakannya. ”Ibu hapal tiap lekuk perubahan wajah Bapak. Tiap keriput pun Ibu hapal kapan munculnya,” lanjutnya mencoba bercanda.
”Iya...iya... Bapak tidak ragu dengan keahlian Ibu itu.
Tapi...,”
”Nah... Ibu tahu nih,” Neni langsung memotong, ”pasti masalah hewan kurban, kan?”
Syarif diam sejenak. Lalu menarik nafas. ”Masak kita tidak kurban tahun ini, Bu.”
Neni mengembuskan nafas berat. ”Iya sih, Pak. Ibu juga kepikiran. Biasanya kita menyembelih kambing di depan rumah tiap Idul Adha,” ia pun turut lesu seperti suaminya. ”Tapi mau bagaimana lagi. Memang keadaannya susah kayak gini.”
”Bapak dengar Pak Mahmud tetangga kita sudah beli kambing. Pak Irsyad juga.”
”Ya sudahlah, Pak. Mungkin tahun depan kita bisa beli hewan kurban lagi.”
”Ibu tidak apa-apa? Tidak malu?” tanya Syarif sedikit ragu.
”Tidak apa-apa, Pak,” Neni mencoba menenangkan.
”Paling Ibu nanti Idul Adha seharian di rumah,” candanya.
***
Beberapa hari menjelang Idul Adha, Syarif mulai mencoba menerima keadaannya kalau tahun ini ia tidak akan bisa membeli hewan kurban. Demi bisa membayar uang kuliah dan uang sekolah anak-anaknya. Itu pun masih membuatnya bingung bagaimana mengusahakan modal untuk membeli pupuk padi nantinya.
”Sudah beli hewan kurban, Rif?” tanya Irsyad tetangganya selepas salat Isya berjamaah di musala dan tentu lumayan mengagetkan Syarif.
Tadinya Syarif ingin menjawab apa adanya. Keadaan panen yang buruk serta biaya-biaya keluarga yang perlu ditutupi. Tapi karena ia dan Irsyad sudah cukup lama ada persaingan gengsi tersembunyi, ia jawab kalau ia belum sempat melihat-lihat hewan kurban di pasar. ”Mungkin besok baru bisa ke pasar,” ucap Syarif.
”Jangan kelamaan, Rif. Bisa-bisa kehabisan dan harganya tambah mahal,” ujar Irsyad lalu mohon diri karena sudah sampai di depan pagar rumahnya. Syarif pun berjalan sendiri. Rumah Syarif berjarak beberapa rumah dari rumah Irsyad. Begitu sampai di depan rumahnya, ia tidak langsung masuk. Langkahnya terhenti persis di depan pintu. Tangannya memegang gagang pintu tanpa mendorongnya. Masalah hewan kurban ini begitu mengganjal di kepalanya. Melebihi masalah panennya yang buruk ataupun biaya kuliah anaknya yang mahal di tiap semester. Lalu ia lepaskan genggamannya dari gagang pintu. Kemudian duduk di kursi depan di bawah lampu yang agak redup. Ia sandarkan punggungnya tidak dengan tegak. Kepalanya terasa sesak. Hingga beberapa menit kemudian baru ia mendapatkan celah, bersamaan dengan Neni yang memintanya masuk ke dalam rumah.
***
Satu hari sebelum Idul Adha, seekor kambing tiba di depan rumah Syarif. Iman yang membawanya dari pasar. Istri Syarif sempat bingung dan mengira kalau kambing itu salah alamat. Tapi Syarif lekas memberitahunya kalau ia yang membeli kambing tersebut dan mereka jadi menyembelih hewan kurban besok. Neni meminta penjelasan bagaimana Syarif bisa membeli kambing dengan keuangan mereka yang pas-pasan. Ia menjawab, setelah dihitung-hitung, tengkulak salah hitung dengan jumlah padi yang mereka beli dari Syarif.
”Mereka kurang bayar, Bu. Jadi Bapak tagih. Untungnya mereka sadar sendiri dan mau bayar kekurangannya,” tambahnya.
”Bapak kok gak bilang-bilang Ibu,” protes Neni.
”Biar ada kejutannya, Bu,” gurau Syarif.
Neni salah tingkah. Ia bilang, Syarif sok jadi anak gaul seperti muda-mudi sekarang. ”Biarin,” timpal Syarif, ”yang penting bisa kurban.”
Besoknya, tak lama setelah salat Idul Adha, Syarif dan keluarganya menyaksikan kambingnya disembelih dengan bantuan Iman. Daging kambing tersebut lantas dibagikan ke tetangga-tetangga dan orang-orang tidak mampu yang telah ia terima daftarnya dari Pak RT.
Neni terlihat tidak dapat membendung kebahagiaannya. Akhirnya, ia dan keluarganya dapat mempertahankan tradisinya untuk menyembelih hewan kurban tahun ini. Tapi berbeda dengan istrinya, walau Syarif tetap terlihat tersenyum dan menanggapi dengan baik apa pun obrolan yang ditujukan padanya pagi itu, tidak dapat dipungkiri seperti ada sesuatu yang menggantung di senyumnya. Apalagi setelah ia menerima telepon dari seseorang yang membuatnya harus sembunyi-sembunyi untuk menjawabnya.
”Bapak kenapa?” sapa istrinya setelah daging-daging kurban tersebut habis dibagikan. ”Kita akhirnya bisa menyembelih kurban tahun ini, kok Bapak masih kelihatan pusing kayak gitu?” tanya istrinya mulai bingung.
”Tidak apa-apa, Bu,” jawabnya tersenyum kecil.
”Jangan bohong, Pak,” protes Neni. Syarif tidak bisa menutupi getir di senyumnya barusan. ”Bapak tahu kan keahlian Ibu?”
Syarif mencoba meyakinkan kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi Neni terus menyudutkannya agar ia menjelaskan apa yang terjadi. Syarif terdiam beberapa saat, tidak menjelaskan apa pun. Segumpal nafas ia lepaskan sekaligus.
Neni duduk mendekati suaminya. ”Itu kambing siapa,
Pak?” tanya ia memaksa. ”Bapak beli kambing pakai uang siapa?” Syarif tidak berani memandang mata istrinya.
Sumber:
Buku: Matahari di Bumi Blambangan - Cerpen dan Puisi Pilihan Radar Banyuwangi 2018