Menyempurnakan Manusia atau Memperbaiki Lembaga - Mochtar Lubis
Menyempurnakan Manusia atau Memperbaiki Lembaga
oleh Mochtar Lubis
KAWACA.COM | Banyak orang di Indonesia berpikir, bahwa seandainya saja setiap orang Indonesia dapat dilatih, dididik atau diajar agar benar-benar menghayati Pancasila, maka Indonesia akan beres. Maka kita melihat betapa pemerintah sejak beberapa lama telah melancarkan kampanye penataran dan pelatihan yang meliputi puluhan ribu pegawai negeri dan memakan biaya yang tidak sedikit.
Memanglah, jika kita dapat membina manusia Pancasila, tentulah masyarakat Indonesia akan menjadi sebuah surga di dunia. Kelihatannya mereka yang berpandangan demikian percaya bahwa manusia dapat disempurnakan. Masalah ini sebenarnya adalah satu masalah lama. Para filsuf di zaman dulu juga tak habis-habisnya berdebat tentang ini. Sebuah tema perdebatan adalah anta membina sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya adalah manusia yang bebas, dengan segala tak kesempurnaannya ataukah membina masyarakat yang anggota-anggotanya hendaknya manusia yang baik penuh kebajikan? Timbullah pertanyaan apakah mungkin ada manusia sempurna yang dicita-citakan itu? Manusia yang baik penuh kebajikan jupa dipertentangkan dengan konsep manusia yang sifat alaminya adalah jahat jika dia dibiarkan berbuat semaunya mengikuti hawa nafsunya. Lalu timbul pula perdebatan, apakah memang pembawaan manusia itu pada hakikatny4 mengarah pada kebajikan atau memang pada kejahatan?
Filsuf Tiongkok Mencius termasuk orang yang beranggapan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Akan tetapi pengkritiknya yang mungkin pula adalah bekas muridnya sendiri, Kao Tzu membandingkan manusia seakan sebuah aliran air yang keras: dibawa ke timur, ia akan mengalir ke timur, dibawa ke barat dia akan mengalir ke barat. Kao Tzu cenderung menganggap sifat manusia netral, tidak cenderung pada kebaikan maupun kejahatan. Perkembangan manusia tergantung dari hal-hal luar yang mempengaruhinya.
Agama Nasrani berpandangan, bahwa tiap bayi yang lahir telah terbawa dosa, dan Nabi Isa disalib merupakan sebagian dari penebusan dosa anak manusia. Sebaliknya agama Islam memandang setiap bayi yang dilahirkan adalah suci dan bersih, laksana kertas putih. Jalan hidupnya kemudian yang menandai dirinya akibat berbagai rupa pengaruh yang menghempas padanya.
Tetapi, apapun juga pandangan kita tentang hal-hal serupa ini, jelaslah, bahwa pada akhirnya manusia dibentuk oleh berbagai pengaruh di luar dirinya, baik ataupun buruk. Dan karena manusia yang sempurna budi dan akhlaknya dapat dihitung dengan jari selama sejarah eksistensi manusia di bumi, adalah lebih baik untuk tidak memercayakan keselamatan masyarakat atau umat manusia pada usaha menyempurnakan manusia.
Sudah dapat dinujumkan biar ditatar berapa ratus kali, manusia Pancasila tidak akan terwujud. Yang kita perlukan untuk melindungi anggota masyarakat kita dari kesewenang-wenangan manusia Indonesia sendiri, tidak lain adalah memperkokoh dan memperbaiki perundangan-undangan, lembaga negara dan masyarakat, sesuai ketentuan-ketentuan dalam UUD 45, seperti MPR, DPR, pengadilan yang bebas, hak warga negara menyatakan pendapat secara bebas (pasal z8). Kita harus menghidupkan kerangka pelembagaan kehidupan bernegara dan b masyarakat berlandaskan UUD 45 yang memberikan pada setiap warganegara kesadaran berpartisipasi penuh menentukan nasib bersama. Dari pada menghabiskan uang, enersi dan dana untuk mencoba menyempurnakan manusia, lebih baik dana dan energi serta waktu itu dipergunakan untuk memperbaiki berbagai rupa lembaga yang selama ini telah tidak berhasil bekerja dengan efisien dan tepat dan mengabdi pada kepentingan seluruh rakyat kita.
Menyadari, bahwa lembaga-lembaga pun dijalankan oleh manusia yang serba tidak sempurna, maka yang perlu diperkuat adalah organisasi yang lebih rapi, sistem pengawasan yang lebih efektif, dan pertanyaan yang paling besar yang perlu dijawab tentulah, bagaimana mengawasi sang pengawas sendiri.***
oleh Mochtar Lubis
KAWACA.COM | Banyak orang di Indonesia berpikir, bahwa seandainya saja setiap orang Indonesia dapat dilatih, dididik atau diajar agar benar-benar menghayati Pancasila, maka Indonesia akan beres. Maka kita melihat betapa pemerintah sejak beberapa lama telah melancarkan kampanye penataran dan pelatihan yang meliputi puluhan ribu pegawai negeri dan memakan biaya yang tidak sedikit.
Memanglah, jika kita dapat membina manusia Pancasila, tentulah masyarakat Indonesia akan menjadi sebuah surga di dunia. Kelihatannya mereka yang berpandangan demikian percaya bahwa manusia dapat disempurnakan. Masalah ini sebenarnya adalah satu masalah lama. Para filsuf di zaman dulu juga tak habis-habisnya berdebat tentang ini. Sebuah tema perdebatan adalah anta membina sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya adalah manusia yang bebas, dengan segala tak kesempurnaannya ataukah membina masyarakat yang anggota-anggotanya hendaknya manusia yang baik penuh kebajikan? Timbullah pertanyaan apakah mungkin ada manusia sempurna yang dicita-citakan itu? Manusia yang baik penuh kebajikan jupa dipertentangkan dengan konsep manusia yang sifat alaminya adalah jahat jika dia dibiarkan berbuat semaunya mengikuti hawa nafsunya. Lalu timbul pula perdebatan, apakah memang pembawaan manusia itu pada hakikatny4 mengarah pada kebajikan atau memang pada kejahatan?
Filsuf Tiongkok Mencius termasuk orang yang beranggapan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Akan tetapi pengkritiknya yang mungkin pula adalah bekas muridnya sendiri, Kao Tzu membandingkan manusia seakan sebuah aliran air yang keras: dibawa ke timur, ia akan mengalir ke timur, dibawa ke barat dia akan mengalir ke barat. Kao Tzu cenderung menganggap sifat manusia netral, tidak cenderung pada kebaikan maupun kejahatan. Perkembangan manusia tergantung dari hal-hal luar yang mempengaruhinya.
Agama Nasrani berpandangan, bahwa tiap bayi yang lahir telah terbawa dosa, dan Nabi Isa disalib merupakan sebagian dari penebusan dosa anak manusia. Sebaliknya agama Islam memandang setiap bayi yang dilahirkan adalah suci dan bersih, laksana kertas putih. Jalan hidupnya kemudian yang menandai dirinya akibat berbagai rupa pengaruh yang menghempas padanya.
Tetapi, apapun juga pandangan kita tentang hal-hal serupa ini, jelaslah, bahwa pada akhirnya manusia dibentuk oleh berbagai pengaruh di luar dirinya, baik ataupun buruk. Dan karena manusia yang sempurna budi dan akhlaknya dapat dihitung dengan jari selama sejarah eksistensi manusia di bumi, adalah lebih baik untuk tidak memercayakan keselamatan masyarakat atau umat manusia pada usaha menyempurnakan manusia.
Sudah dapat dinujumkan biar ditatar berapa ratus kali, manusia Pancasila tidak akan terwujud. Yang kita perlukan untuk melindungi anggota masyarakat kita dari kesewenang-wenangan manusia Indonesia sendiri, tidak lain adalah memperkokoh dan memperbaiki perundangan-undangan, lembaga negara dan masyarakat, sesuai ketentuan-ketentuan dalam UUD 45, seperti MPR, DPR, pengadilan yang bebas, hak warga negara menyatakan pendapat secara bebas (pasal z8). Kita harus menghidupkan kerangka pelembagaan kehidupan bernegara dan b masyarakat berlandaskan UUD 45 yang memberikan pada setiap warganegara kesadaran berpartisipasi penuh menentukan nasib bersama. Dari pada menghabiskan uang, enersi dan dana untuk mencoba menyempurnakan manusia, lebih baik dana dan energi serta waktu itu dipergunakan untuk memperbaiki berbagai rupa lembaga yang selama ini telah tidak berhasil bekerja dengan efisien dan tepat dan mengabdi pada kepentingan seluruh rakyat kita.
Menyadari, bahwa lembaga-lembaga pun dijalankan oleh manusia yang serba tidak sempurna, maka yang perlu diperkuat adalah organisasi yang lebih rapi, sistem pengawasan yang lebih efektif, dan pertanyaan yang paling besar yang perlu dijawab tentulah, bagaimana mengawasi sang pengawas sendiri.***