Menghayati Detik-Detik Akhir Kehidupan Nabi Muhammad saw.
Sekembalinya dari ibadah haji perpisahan, pikiran dan perhatian Muhammad tertuju ke bagian utara, sebab daerah selatan sudah tidak perlu dikuatirkan lagi. Sebenarnya sejak terjadinya ekspedisi Mu’ta, dan Muslimin kembali dengan membawa rampasan perang dan sudah merasa puas pula melihat kepandaian Khalid bin’l-Walid menarik pasukan, sejak itu pula Muhammad sudah memperhitungkan pihak Rumawi matang-matang. Ia berpendapat kedudukan Muslimin di perbatasan Syam itu perlu sekali diperkuat, supaya mereka yang dulu pernah keluar dan jazirah ini ke Palestina, tidak kembali lagi menghasut perang dan mengerahkan penduduk daerah itu. Oleh karena itu ia menyiapkan pasukan perangnya yang cukup besar, seperti persiapannya yang dulu, tatkala ia mengetahui rencana Rumawi hendak menyerbu perbatasan jazirah itu dan dia sendiri yang memimpin pasukan sampai di Tabuk. Tetapi waktu itu pihak Rumawi sudah menarik pasukannya sampai ke perbatasan dalam negeri dan ke dalam benteng mereka sendiri. Sungguh pun begitu daerah utara ini harus tetap diperhitungkan, kalau-kalau kenangan lama - di bawah lindungan Kristen dan pihak yang merasa berkuasa di bawah Imperium Rumawi waktu itu - akan bangkit kembali dan mengumumkan perang kepada pihak yang pernah mengeluarkan orang-orang Nasrani di Najran dan di luar Najran di bilangan Semenanjung Arab itu.
Oleh karena itu, selesai ibadah haji perpisahan di Mekah, belum lama lagi kaum Muslimin tinggal di Medinah, Nabi mengeluarkan perintah supaya menyiapkan sebuah pasukan besar ke daerah Syam, dengan menyertakan kaum Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan ini dipimpin oleh Usama b. Zaid b. Halitha. Usia Usama waktu itu masih muda sekali, belum melampaui duapuluh tahun. Kalau tidak karena terbawa oleh kepercayaan yang teguh kepada Rasulullah, pimpinan Usama atas orang-orang yang sudah lebih dahulu dan atas kaum Muhajirin serta sahabat-sahabat besar itu, tentu akan sangat mengejutkan mereka. Tetapi ditunjuknya Usama b. Zaid oleh Nabi dimaksudkan untuk menempati tempat ayahnya yang sudah gugur dalam pertempuran di Mu’ta dulu, dan akan menjadi kemenangan yang dibanggakan sebagai balasan atas gugurnya ayahnya itu, di samping semangat yang akan timbul dalam iiwa pemuda-pemuda, juga untuk mendidik mereka membiasakan diri memikul beban tanggungjawab yang besar dan berat.
Muhammad memerintahkan kepada Usama supaya menjejakkan kudanya di perbatasan Balqa’ dengan Darum di Palestina, tidak jauh dari Mu’ta tempat ayahnya dulu terbunuh, dan supaya menyerang musuh Tuhan itu pada pagi buta, dengan serangan yang gencar, dan menghujani mereka dengan api. Hal ini supaya diteruskan tanpa berhenti sebelum berita sampai lebih dulu kepada musuh. Apabila Tuhan sudah memberi kemenangan, tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu. Dengan membawa hasil dan kemenangan itu ia harus segera kembali.
Sekarang Usama dan pasukannya berangkat ke Jurf (tidak jauh dari Medinah). Mereka mengadakan persiapan hendak berangkat ke Palestina. Tetapi, dalam pada mereka sedang bersiap-siap itu tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit, dan sakitnya makin keras juga, sehingga akhirnya tidak jadi mereka berangkat.
Bisa jadi orang akan bertanya: Bagaimana sebuah pasukan yang persiapan dan keberangkatannya diperintahkan oleh Rasulullah, tidak jadi berangkat karena dia sakit? Ya, Perjalanan pasukan ke Syam yang akan mengarungi sahara dan daerah tandus selama berhari-hari itu bukan soal ringan, dan tidak pula mudah buat kaum Muslimin - dengan Nabi yang sangat mereka cintai melebihi cinta mereka kepada diri sendiri - akan meninggaIkan Medinah sedang Nabi dalam keadaan sakit, dan yang sudah mereka sadari pula apa sebenarnya dibalik sakitnya itu. Ditambah lagi mereka memang belum pernah melihat Nabi mengeluh karena sesuatu penyakit yang berarti. Penyakit yang pernah dideritanya tidak lebih dari kehilangan nafsu makan yang pernah dialaminya dalam tahun keenam Hijrah, tatkala ada tersiar berita bohong bahwa ia telah disihir oleh orang-orang Yahudi, dan satu penyakit lagi yang pernah dideritanya sehingga karenanya ia berbekam, yaitu setelah termakan daging beracun dalam tahun ketujuh Hijrah. Cara hidupnya dan ajaran-ajarannya memang jauh dari gejala-gejala penyakit dan akibat-akibat yang akan timbul karenanya. Dalam membatasi diri dalam makanan, dan makannya yang hanya sedikit; kesederhanaannya dalam berpakaian dan cara hidup; kebersihannya yang dipeliharanya luar biasa dengan mengharuskan wudu yang sangat disukainya, sampai pernah ia berkata: kalau tidak karena kuatir akan memberatkan orang ia ingin mewajibkan penggunaan siwak lima kali sehari, - kegiatannya yang tiada pernah berhenti, kegiatan beribadat dari satu segi dan kegiatan olah-raga dari segi lain, kesederhanaan dalam segalanya - terutama dalam kesenangan; keluhurannya yang jauh dari segala hawa nafsu, dengan jiwa yang begitu tinggi tiada taranya; komunikasinya dengan kehidupan dan dengan alam dalam bentuknya yang sangat cemerlang, dan tiada putusnya, - semua itu menjauhkan dirinya dari penyakit dan dapat memelihara kesehatan. Bentuk tubuh yang sempurna tiada cacat, perawakan yang tegap kuat, seperti halnya dengan Muhammad, akan jauh selalu dari penyakit.
Jadi kalau sekarang ia jatuh sakit, wajar sekali menjadi kekuatiran sahabat-sahabat dan orang-orang yang mencintainya.
Wajar sekali mereka merasa kuatir, menyatakan betapa ia pernah mengalami kesulitan dan penderitaan hidup selarna duapuluh tahun terus-menerus. Sejak ia terang-terangan berdakwah di Mekah mengajak orang menyembah Allah Yang tiada bersekutu dan meninggalkan semua berhala yang pernah disembah nenek-moyang mereka, ia sudah mengalami pahit getirnya penderitaan-penderitaan yang sungguh menekan jiwa, sehingga ia terpisah dari sahabat-sahabatnya yang kemudian disuruhnya hijrah ke Abisinia, dan dia sendiri yang terpaksa berlindung di celah-celah gunung tatkala pihak Quraisy mengumumkan pemboikotannya. Juga ketika ia berangkat hijrah dari Mekah ke Medinah - setelah Ikrar ‘Aqaba - ia hijrah dalam keadaan yang gawat dan sangat berbahaya, ia hijrah tanpa ia ketahui lagi apa yang akan terjadi terhadap dirinya di Medinah kelak. Pada tahun-tahun pertama ia tinggal di sana, ia telah menjadi sasaran kongkalikong dan intrik orang-orang Yahudi.
Kemudian, dengan adanya pertolongan Tuhan orang di seluruh jazirah itu datang berbondong-bondong menerima agama ini, tugas dan pekerjaannya telah bertambah jadi berlipat ganda banyaknya dan untuk penjagaannya sangat memerlukan tenaga dan daya upaya yang sungguh berat. Begitu juga Nabi a.s. telah menghadapi sendiri beberapa peperangan yang sungguh dahsyat dan mengerikan sekali. Mana pula saat yang lebih mengerikan daripada peristiwa Uhud, ketika kaum Muslimin dalam keadaan kucar-kacir, ia berJalan mendaki gunung, dengan terus-menerus secara ketat diintai oleh Quraisy, dihujani serangan sehingga gigi gerahamnya pecah! Mana pula saat yang lebih dahsyat kiranya daripada peristiwa Hunain, ketika kaum Muslimin dalam pagi buta itu kembali mundur dan lari tunggang-langgang, sehingga kata Abu Sufyan: Hanya laut saja yang akan menghentikan mereka. Sedang Muhammad berdiri tegak, tidak beranjak surut dari tempatnya, seraya ia berseru kepada kaum-Muslimin: Mau ke mana, mau ke mana! Kemarilah kemari! Kemudian mereka kembali sampai mendapat kemenangan. Tugas risalah! Tugas wahyu! Dan itu daya upaya rohani yang sungguh meletihkan dalam komunikasi yang terus-menerus dengan rahasia alam nurani dan alam Ilahi. Itu daya upaya, yang oleh karenanya pernah diceritakan tentang Nabi yang berkata, “Suruh Hud dan yang semacamnya membuat aku jadi tua.”
Semua itu disaksikan oleh sahabat-sahabat Muhammad. Mereka melihat dia memikul beban yang begitu berat tidak mengenal sakit. Apabila kemudian ia jatuh sakit, sudah sepantasnya sahabat-sahabatnya itu jadi kuatir, dan menunda perjalanan dari markas mereka di Jurf ke Syam, sebelum mereka yakin benar apa yang akan terjadi dengan kehendak Tuhan kepada diri Nabi.
Ada suatu peristiwa yang membuat mereka lebih cemas lagi. Pada malam pertama Muhammad merasa sakit ia tak dapat tidur, lama sekali tak dapat tidur. Dalam hatinya ia berkata, bahwa ia akan keluar pada malam musim itu, musim panas yang disertai hembusan angin di sekitar kota Medinah. Ketika itulah ia keluar, hanya ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayhiba. Tahukah ke mana ia pergi? Ia pergi ke Baqi’l-Gharqad, pekuburan Muslim di dekat Medinah. Sesampainya di pekuburan itu ia berbicara kepada penghuni kubur, katanya, “Salam sejahtera bagimu, wahai penghuni kubur! Semoga kamu selamat akan apa yang terjadi atas dirimu, seperti atas diri orang lain. Fitnah telah datang seperti malam gelap-gulita, yang kemudian menyusul yang pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang pertama.”
Abu Muwayhiba ini juga bercerita, bahwa ketika pertama kali sampai di Baqi’l-Gharqad Nabi berkata kepadanya:
“Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni Baqi, ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!”
Setelah memintakan ampun dan tiba saatnya akan kembali, ia menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya:
“Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci isi dunia ini serta kekekalan hidup di dalamnya, sesudah itu surga. Aku disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan surga.”
Kata Abu Muwayhiba:
“Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi dunia ini dan hidup kekal di dalamnya, kemudian surga.”
“Tidak, Abu Muwayhiba,” kata Muhammad. “Aku memilih kembali menghadap Tuhan dan surga.”
Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa yang telah didengarnya; sebab Nabi mulai menderita sakit ialah keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi’. Orang jadi makin cemas, dan pasukan tidak jadi bergerak. Memang benar, bahwa Hadis yang dibawa melalui Abu Muwayhiba ini oleh beberapa ahli sejarah diterima dengan agak sangsi. Disebutkan bahwa bukan karena sakit Muhammad itu saja yang membuat pasukan tidak jadi bergerak ke Palestina, tetapi karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh penunjukan Usama dalam usia semuda itu sebagai pemimpin pasukan yang terdiri dari orang-orang penting dalam kalangan Anshar dan Muhajirin yang mula-mula. Itulah yang lebih banyak mempengaruhi tidak berangkatnya pasukan itu daripada sakitnya Muhammad. Dalam memberikan pendapatnya ahli-ahli sejarah itu berpegang pada peristiwa-peristiwa yang sudah pembaca ikuti dalam bagian (bab) ini. Kalau kita tidak akan mendebat mereka yang berpendapat seperti apa yang diceritakan oleh Abu Muwayhiba secara terperinci itu, kita pun mendapat alasan akan menolak dasar kejadian-kejadian itu, dan menolak kepergian Nabi ke Baqi’l-Gharqad serta memintakan ampunan buat penghuni kubur, juga adanya perasaan yang kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan. Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini pun tidak menolak adanya spiritisma sebagai salah satu gejala psychis. Perasaan yang kuat akan dekatnya ajal itu sudah banyak dialami orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang dapat menceritakan apa yang diketahuinya tentang peristiwa-peristiwa itu. Juga adanya hubungan antara yang hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa lampau dengan masa datang, kesatuan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dewasa ini sudah pula dapat ditentukan, meskipun - menurut kodrat bentuk kita -masih terbatas sekali kita akan dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Kalau sudah itu yang dapat kita lihat sekarang dan sudah diakui oleh ilmu pengetahuan, tidak ada alasan kita akan menolak dasar peristiwa seperti apa yang diceritakan oleh Abu Muwayhiba itu, juga tak ada alasan kita dapat menolak adanya apa yang sudah dapat dipastikan mengenai komunikasi Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu sekian kali lipat daripada yang biasa ditangkap oleh para ahli dalam bidang ini.
Keesokan harinya bila tiba waktunya ia ke tempat Aisyah, dilihatnya Aisyah sedang mengeluh karena sakit kepala: “Aduh kepalaku!” Tetapi ia berkata - sedang dia sudah mulai merasa sakit: “Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala.”
Tetapi sakitnya belum begitu keras dalam arti ia harus berbaring di tempat tidur atau akan merintanginya pergi kepada keluarga dan isteri-isterinya untuk sekedar mencumbu dan bergurau. Setiap didengarnya ia mengeluh Aisyah juga mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.
Lalu kata Nabi, “Apa salahnya kalau engkau yang mati lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu, menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!”
Karena senda-gurau itu cemburu kewanitaannya timbul dalam hati Aisyah yang masih muda itu, sekaligus cintanya akan gairah hidup ini, lalu katanya:
“Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah, dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin baru dengan isteri-isterimu.”
Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengijinkan ia terus bergurau.
Setelah rasa sakitnya terasa agak berkurang, ia mengunjungi isteri-isterinya seperti biasa. Tetapi kemudian sakitnya terasa kambuh lagi, dan terasa lebih keras lagi. Ketika ia sedang berada di rumah Maimunah ia sudah tidak dapat lagi mengatasinya. Ia merasa perlu mendapat perawatan. Ketika itu dipanggilnya isteri-isterinya ke rumah Maimunah. Dimintanya ijin kepada mereka, setelah melihat keadaannya begitu, bahwa ia akan dirawat di rumah Aisyah. Isteri-isterinya mengijinkan ia pindah.
Dengan berikat kepala, ia keluar sambil bertopang dalam jalannya itu kepada Ali b. Abi Talib dan kepada ‘Abbas pamannya. Ia sampai di rumah Aisyah dengan kaki yang sudah terasa lemah sekali.
Pada hari-hari pertama ia jatuh sakit, demamnya sudah terasa makin keras, sehingga ia merasa seolah seperti dibakar. Sungguh pun begitu, ketika demamnya menurun ia pergi berjalan ke mesjid untuk memimpin sembahyang. Hal ini dilakukannya selama berhari-hari. Tapi tidak lebih dari sembahyang saja. Ia sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya. Namun begitu apa yang dibisikkan orang bahwa dia menunjuk anak yang masih muda belia di atas kaum Muhajirin dan Anshar yang terkemuka untuk menyerang Rumawi, terdengar juga oleh Nabi. Meskipun dari hari ke hari sakitnya bertambah juga, tapi dengan adanya bisik-bisik demikian itu rasanya perlu ia bicara dan berpesan kepada mereka. Dalam hal ini ia berkata kepada isteri-isteri dan keluarganya:
“Tuangkan kepadaku tujuh kirbat air dari pelbagai sumur, supaya aku dapat menemui mereka dan berpesan kepada mereka.”
Lalu dibawakan air dari beberapa sumur, dan setelah oleh isteri-isterinya ia didudukkan di dalam pasu kepunyaan Hafsha, ketujuh kirbat air itu disiramkan kepadanya. Kemudian katanya: Cukup. Cukup.
Lalu ia mengenakan pakaian kembali, dan dengan berikat kepala ia pergi ke mesjid. Setelah duduk di atas mimbar, ia mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan dan memintakan ampunan buat sahabat-sahabatnya yang telah gugur di Uhud. Banyak sekali ia mendoakan mereka itu.
Kemudian katanya :
“Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu. Demi hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan, seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan.”
Muhammad diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga diam, tiada yang bicara. Kemudian ia meneruskan berkata lagi:
“Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara dunia dan akhirat dengan apa yang ada padaNya, maka ia memilih yang ada pada Tuhan.”
Muhammad diam lagi, dan orang-orang juga diam tidak bergerak. Tetapi Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan kata-kata terakhir itu adalah dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya persahabatannya dengan Nabi, ia tak dapat menahan air mata dan menangis sambil berkata:
“Tidak. Bahkan tuan akan kami tebus dengan jiwa kami dan anak-anak kami.”
Kuatir rasa terharu Abu Bakr ini akan menular kepada yang lain, Muhammad memberi isyarat kepadanya:
“Sabarlah, Abu Bakr.”
Kemudian dimintanya supaya semua pintu yang menuju ke mesjid ditutup, kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Setelah semua pintu ditutup, katanya lagi:
“Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan) maka Abu Bakrlah khalilku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Tuhan mempertemukan kita.”
Bilamana Muhammad turun dari mimbar, sedianya akan kembali pulang ke rumah Aisyah, tapi ia lalu menoleh kepada orang banyak itu dan kemudian katanya:
“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah. Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah kesalahan mereka.”
Ia kembali ke rumah Aisyah. Tetapi energi yang digunakannya selama ia dalam keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya terasa lebih berat lagi. Sungguh suatu pekerjaan berat, terutama buat orang yang sedang menderita demam, ia keluar juga setelah disirami tujuh kirbat air; ia keluar dengan membawa beban pikiran yang sangat berat: Pasukan Usama, nasib Anshar kemudian hari, nasib orang-orang Arab yang kini telah dipersatukan oleh agama baru itu dengan persatuan yang sangat kuat. Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya ia berusaha hendak bangun memimpin sembahyang seperti biasanya, ternyata ia sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata:
“Suruh Abu Bakr memimpin orang-orang sembahyang.”
Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan salat mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.
“Tapi Abu Bakr orang yang lembut hati, suaranya lemah dan suka menangis kalau sedang membaca Qur’an,” kata Aisyah.
Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan suara lebih keras Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih dirasakannya:
“Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan Yusuf. Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!”
Kemudian Abu Bakr datang memimpin sembahyang seperti diperintahkan oleh Nabi.
Pada suatu hari karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai pengganti Abu Bakr. Oleh karena Umar orang yang punya suara lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
“Mana Abu Bakr?” tanyanya. “Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian.”
Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Tatkala sakitnya sudah makin keras, panas demamnya makin memuncak, isteri-isteri dan tamu-tamu yang datang menjenguknya, bila meletakkan tangan di atas selimut yang dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat meletihkan itu. Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang menengok. Ia sangat mencintai puterinya itu, cinta seorang ayah kepada anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan. Apabila ia datang menemui Nabi, ia menyambutnya dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk. Tetapi setelah sakitnya demikian payah, puterinya itu datang menemuinya dan mencium ayahnya.
“Selamat datang, puteriku,” katanya. Lalu didudukkannya ia disampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika itu, Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain Fatimah pun jadi tertawa. Bila hal itu oleh Aisyah ditanyakan, ia menjawab:
“Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah s.a.w.”
Tetapi setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian dibisikkannya lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.
Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi air dingin diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka. Begitu tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang sudah sangat payah sekali. Karena perasaan sedih yang menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu:
“Alangkah beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawabnya.
Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan penderitaan.
Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak orang, ia berkata:
“Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat.”
Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada kita sudah ada Qur’an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan:
Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata:
“Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi.”
Tetapi Ibn ‘Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang waktu karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman:
“Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu.” (Qur’an, 6:38)
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usama dan anak buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah. Bila Usama kemudian masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya Usama, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya kepada Usama sebagai tanda mendoakan.
Melihat keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat hendak membantunya dengan pengobatan. Asma’ - salah seorang kerabat Maimunah - telah menyediakan semacam minuman, yang pernah dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan karena demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya:
“Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?”
“Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput dada,” kata ‘Abbas pamannya.
“Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu kepadaku.”
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah - supaya meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang berpuasa.
Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai terasa berat. Kuatir bila ia meninggal harta masih di tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan. Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya kepada mereka: Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu? Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:
“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya.”
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali b. Abi Talib dan Fadzl bin’l-‘Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira melihat semua itu.
Abu Bakr merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad mendorongnya dari belakang seraya katanya Pimpin terus orang bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu Bakr dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
Selesai sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai ke luar mesjid:
“Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang dihalalkan oleh Qur’an, juga aku tidak akan mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur’an. Laknat Tuhan kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai mesjid.”
Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju, bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama b. Zaid datang menghadap kepadanya dan minta ijin akan membawa pasukan ke Syam, dan Abu Bakrpun datang pula menghadap dengan mengatakan:
“Rasulullah!. Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?”
Nabi pun mengijinkan. Abu Bakr segera berangkat pergi ke Sunh di luar kota Medinah - tempat tinggal isterinya. Umar dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, - sebab sebelum itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya semakin keras sampai ia pingsan.
Sekarang ia kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat lemah sekali.
Dipandangnya laki-laki itu oleh Aisyah, dengan kalbu yang penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang penuh rasa iba hati karena ia lemah, ia sakit. Ia ingin sekiranya ia dapat mencurahkan segala yang ada dalam dirinya untuk mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.
Akan tetapi, kiranya perginya Nabi ke mesjid itu adalah suatu kesadaran batin, yang akan disusul oleh kematian. Setelah memasuki rumah, tiap sebentar tenaganya bertambah lemah juga. Ia melihat maut sudah makin mendekat. Tidak sangsi ia bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja lagi. Ya, kiranya apakah yang diperhatikannya pada detik-detik yang masih ada sebelum ia berpisah dengan dunia ini? Adakah ia mengenangkan hidupnya sejak diutus Tuhan sebagai pembimbing dan sebagai nabi, mengenangkan segala yang pernah dialaminya selama itu, kenikmatan yang diberikan Tuhan kepadanya sampai selesai, kemudian hati merasa lega karena kalbu orang-orang Arab itu sudah terbuka menerima agama yang hak? Ataukah selama itu ia tinggal hanya membaca istighfar - meminta pengampunan Tuhan dan dengan seluruh jiwa ia menghadapkan diri seperti yang biasanya dilakukan selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam saat-saat terakhir itu ia harus menahan penderitaan sakratulmaut sehingga tidak lagi punya tenaga akan mengingat?
Dalam hal ini beberapa sumber masih sangat berlain-lainan sekali keterangannya. Sebagian besar menyebutkan bahwa pada hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu - 8 Juni 632 - ia minta disediakan sebuah bejana berisi air dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga Abu Bakr datang ke tempat Aisyah dengan sebatang siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi. Kemudian dengan itu ia menggosok dan membersihkan giginya. Sementara ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri kepada Allah sambil berdoa, “Allahumma ya Allah! Tolonglah aku dalam sakratulmaut ini.”
Aisyah berkata - yang pada waktu itu kepala Nabi berada di pangkuannya, “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Handai Tertinggi dari surga.”
“Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada. dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w. berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”
Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih menjadi perselisihan orang ketika itu, sehingga hampir-hampir timbul fitnah di kalangan mereka dengan segala akibat yang akan menjurus kepada perang saudara, kalau tidak karena Tuhan Yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan agama yang sebenarnya ini.
__
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haekal, Jakarta: Tintamas, 1972
Oleh karena itu, selesai ibadah haji perpisahan di Mekah, belum lama lagi kaum Muslimin tinggal di Medinah, Nabi mengeluarkan perintah supaya menyiapkan sebuah pasukan besar ke daerah Syam, dengan menyertakan kaum Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan ini dipimpin oleh Usama b. Zaid b. Halitha. Usia Usama waktu itu masih muda sekali, belum melampaui duapuluh tahun. Kalau tidak karena terbawa oleh kepercayaan yang teguh kepada Rasulullah, pimpinan Usama atas orang-orang yang sudah lebih dahulu dan atas kaum Muhajirin serta sahabat-sahabat besar itu, tentu akan sangat mengejutkan mereka. Tetapi ditunjuknya Usama b. Zaid oleh Nabi dimaksudkan untuk menempati tempat ayahnya yang sudah gugur dalam pertempuran di Mu’ta dulu, dan akan menjadi kemenangan yang dibanggakan sebagai balasan atas gugurnya ayahnya itu, di samping semangat yang akan timbul dalam iiwa pemuda-pemuda, juga untuk mendidik mereka membiasakan diri memikul beban tanggungjawab yang besar dan berat.
Muhammad memerintahkan kepada Usama supaya menjejakkan kudanya di perbatasan Balqa’ dengan Darum di Palestina, tidak jauh dari Mu’ta tempat ayahnya dulu terbunuh, dan supaya menyerang musuh Tuhan itu pada pagi buta, dengan serangan yang gencar, dan menghujani mereka dengan api. Hal ini supaya diteruskan tanpa berhenti sebelum berita sampai lebih dulu kepada musuh. Apabila Tuhan sudah memberi kemenangan, tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu. Dengan membawa hasil dan kemenangan itu ia harus segera kembali.
Sekarang Usama dan pasukannya berangkat ke Jurf (tidak jauh dari Medinah). Mereka mengadakan persiapan hendak berangkat ke Palestina. Tetapi, dalam pada mereka sedang bersiap-siap itu tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit, dan sakitnya makin keras juga, sehingga akhirnya tidak jadi mereka berangkat.
Bisa jadi orang akan bertanya: Bagaimana sebuah pasukan yang persiapan dan keberangkatannya diperintahkan oleh Rasulullah, tidak jadi berangkat karena dia sakit? Ya, Perjalanan pasukan ke Syam yang akan mengarungi sahara dan daerah tandus selama berhari-hari itu bukan soal ringan, dan tidak pula mudah buat kaum Muslimin - dengan Nabi yang sangat mereka cintai melebihi cinta mereka kepada diri sendiri - akan meninggaIkan Medinah sedang Nabi dalam keadaan sakit, dan yang sudah mereka sadari pula apa sebenarnya dibalik sakitnya itu. Ditambah lagi mereka memang belum pernah melihat Nabi mengeluh karena sesuatu penyakit yang berarti. Penyakit yang pernah dideritanya tidak lebih dari kehilangan nafsu makan yang pernah dialaminya dalam tahun keenam Hijrah, tatkala ada tersiar berita bohong bahwa ia telah disihir oleh orang-orang Yahudi, dan satu penyakit lagi yang pernah dideritanya sehingga karenanya ia berbekam, yaitu setelah termakan daging beracun dalam tahun ketujuh Hijrah. Cara hidupnya dan ajaran-ajarannya memang jauh dari gejala-gejala penyakit dan akibat-akibat yang akan timbul karenanya. Dalam membatasi diri dalam makanan, dan makannya yang hanya sedikit; kesederhanaannya dalam berpakaian dan cara hidup; kebersihannya yang dipeliharanya luar biasa dengan mengharuskan wudu yang sangat disukainya, sampai pernah ia berkata: kalau tidak karena kuatir akan memberatkan orang ia ingin mewajibkan penggunaan siwak lima kali sehari, - kegiatannya yang tiada pernah berhenti, kegiatan beribadat dari satu segi dan kegiatan olah-raga dari segi lain, kesederhanaan dalam segalanya - terutama dalam kesenangan; keluhurannya yang jauh dari segala hawa nafsu, dengan jiwa yang begitu tinggi tiada taranya; komunikasinya dengan kehidupan dan dengan alam dalam bentuknya yang sangat cemerlang, dan tiada putusnya, - semua itu menjauhkan dirinya dari penyakit dan dapat memelihara kesehatan. Bentuk tubuh yang sempurna tiada cacat, perawakan yang tegap kuat, seperti halnya dengan Muhammad, akan jauh selalu dari penyakit.
Jadi kalau sekarang ia jatuh sakit, wajar sekali menjadi kekuatiran sahabat-sahabat dan orang-orang yang mencintainya.
Wajar sekali mereka merasa kuatir, menyatakan betapa ia pernah mengalami kesulitan dan penderitaan hidup selarna duapuluh tahun terus-menerus. Sejak ia terang-terangan berdakwah di Mekah mengajak orang menyembah Allah Yang tiada bersekutu dan meninggalkan semua berhala yang pernah disembah nenek-moyang mereka, ia sudah mengalami pahit getirnya penderitaan-penderitaan yang sungguh menekan jiwa, sehingga ia terpisah dari sahabat-sahabatnya yang kemudian disuruhnya hijrah ke Abisinia, dan dia sendiri yang terpaksa berlindung di celah-celah gunung tatkala pihak Quraisy mengumumkan pemboikotannya. Juga ketika ia berangkat hijrah dari Mekah ke Medinah - setelah Ikrar ‘Aqaba - ia hijrah dalam keadaan yang gawat dan sangat berbahaya, ia hijrah tanpa ia ketahui lagi apa yang akan terjadi terhadap dirinya di Medinah kelak. Pada tahun-tahun pertama ia tinggal di sana, ia telah menjadi sasaran kongkalikong dan intrik orang-orang Yahudi.
Kemudian, dengan adanya pertolongan Tuhan orang di seluruh jazirah itu datang berbondong-bondong menerima agama ini, tugas dan pekerjaannya telah bertambah jadi berlipat ganda banyaknya dan untuk penjagaannya sangat memerlukan tenaga dan daya upaya yang sungguh berat. Begitu juga Nabi a.s. telah menghadapi sendiri beberapa peperangan yang sungguh dahsyat dan mengerikan sekali. Mana pula saat yang lebih mengerikan daripada peristiwa Uhud, ketika kaum Muslimin dalam keadaan kucar-kacir, ia berJalan mendaki gunung, dengan terus-menerus secara ketat diintai oleh Quraisy, dihujani serangan sehingga gigi gerahamnya pecah! Mana pula saat yang lebih dahsyat kiranya daripada peristiwa Hunain, ketika kaum Muslimin dalam pagi buta itu kembali mundur dan lari tunggang-langgang, sehingga kata Abu Sufyan: Hanya laut saja yang akan menghentikan mereka. Sedang Muhammad berdiri tegak, tidak beranjak surut dari tempatnya, seraya ia berseru kepada kaum-Muslimin: Mau ke mana, mau ke mana! Kemarilah kemari! Kemudian mereka kembali sampai mendapat kemenangan. Tugas risalah! Tugas wahyu! Dan itu daya upaya rohani yang sungguh meletihkan dalam komunikasi yang terus-menerus dengan rahasia alam nurani dan alam Ilahi. Itu daya upaya, yang oleh karenanya pernah diceritakan tentang Nabi yang berkata, “Suruh Hud dan yang semacamnya membuat aku jadi tua.”
Semua itu disaksikan oleh sahabat-sahabat Muhammad. Mereka melihat dia memikul beban yang begitu berat tidak mengenal sakit. Apabila kemudian ia jatuh sakit, sudah sepantasnya sahabat-sahabatnya itu jadi kuatir, dan menunda perjalanan dari markas mereka di Jurf ke Syam, sebelum mereka yakin benar apa yang akan terjadi dengan kehendak Tuhan kepada diri Nabi.
Ada suatu peristiwa yang membuat mereka lebih cemas lagi. Pada malam pertama Muhammad merasa sakit ia tak dapat tidur, lama sekali tak dapat tidur. Dalam hatinya ia berkata, bahwa ia akan keluar pada malam musim itu, musim panas yang disertai hembusan angin di sekitar kota Medinah. Ketika itulah ia keluar, hanya ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayhiba. Tahukah ke mana ia pergi? Ia pergi ke Baqi’l-Gharqad, pekuburan Muslim di dekat Medinah. Sesampainya di pekuburan itu ia berbicara kepada penghuni kubur, katanya, “Salam sejahtera bagimu, wahai penghuni kubur! Semoga kamu selamat akan apa yang terjadi atas dirimu, seperti atas diri orang lain. Fitnah telah datang seperti malam gelap-gulita, yang kemudian menyusul yang pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang pertama.”
Abu Muwayhiba ini juga bercerita, bahwa ketika pertama kali sampai di Baqi’l-Gharqad Nabi berkata kepadanya:
“Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni Baqi, ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!”
Setelah memintakan ampun dan tiba saatnya akan kembali, ia menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya:
“Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci isi dunia ini serta kekekalan hidup di dalamnya, sesudah itu surga. Aku disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan surga.”
Kata Abu Muwayhiba:
“Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi dunia ini dan hidup kekal di dalamnya, kemudian surga.”
“Tidak, Abu Muwayhiba,” kata Muhammad. “Aku memilih kembali menghadap Tuhan dan surga.”
Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa yang telah didengarnya; sebab Nabi mulai menderita sakit ialah keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi’. Orang jadi makin cemas, dan pasukan tidak jadi bergerak. Memang benar, bahwa Hadis yang dibawa melalui Abu Muwayhiba ini oleh beberapa ahli sejarah diterima dengan agak sangsi. Disebutkan bahwa bukan karena sakit Muhammad itu saja yang membuat pasukan tidak jadi bergerak ke Palestina, tetapi karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh penunjukan Usama dalam usia semuda itu sebagai pemimpin pasukan yang terdiri dari orang-orang penting dalam kalangan Anshar dan Muhajirin yang mula-mula. Itulah yang lebih banyak mempengaruhi tidak berangkatnya pasukan itu daripada sakitnya Muhammad. Dalam memberikan pendapatnya ahli-ahli sejarah itu berpegang pada peristiwa-peristiwa yang sudah pembaca ikuti dalam bagian (bab) ini. Kalau kita tidak akan mendebat mereka yang berpendapat seperti apa yang diceritakan oleh Abu Muwayhiba secara terperinci itu, kita pun mendapat alasan akan menolak dasar kejadian-kejadian itu, dan menolak kepergian Nabi ke Baqi’l-Gharqad serta memintakan ampunan buat penghuni kubur, juga adanya perasaan yang kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan. Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini pun tidak menolak adanya spiritisma sebagai salah satu gejala psychis. Perasaan yang kuat akan dekatnya ajal itu sudah banyak dialami orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang dapat menceritakan apa yang diketahuinya tentang peristiwa-peristiwa itu. Juga adanya hubungan antara yang hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa lampau dengan masa datang, kesatuan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dewasa ini sudah pula dapat ditentukan, meskipun - menurut kodrat bentuk kita -masih terbatas sekali kita akan dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Kalau sudah itu yang dapat kita lihat sekarang dan sudah diakui oleh ilmu pengetahuan, tidak ada alasan kita akan menolak dasar peristiwa seperti apa yang diceritakan oleh Abu Muwayhiba itu, juga tak ada alasan kita dapat menolak adanya apa yang sudah dapat dipastikan mengenai komunikasi Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu sekian kali lipat daripada yang biasa ditangkap oleh para ahli dalam bidang ini.
Keesokan harinya bila tiba waktunya ia ke tempat Aisyah, dilihatnya Aisyah sedang mengeluh karena sakit kepala: “Aduh kepalaku!” Tetapi ia berkata - sedang dia sudah mulai merasa sakit: “Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala.”
Tetapi sakitnya belum begitu keras dalam arti ia harus berbaring di tempat tidur atau akan merintanginya pergi kepada keluarga dan isteri-isterinya untuk sekedar mencumbu dan bergurau. Setiap didengarnya ia mengeluh Aisyah juga mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.
Lalu kata Nabi, “Apa salahnya kalau engkau yang mati lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu, menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!”
Karena senda-gurau itu cemburu kewanitaannya timbul dalam hati Aisyah yang masih muda itu, sekaligus cintanya akan gairah hidup ini, lalu katanya:
“Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah, dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin baru dengan isteri-isterimu.”
Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengijinkan ia terus bergurau.
Setelah rasa sakitnya terasa agak berkurang, ia mengunjungi isteri-isterinya seperti biasa. Tetapi kemudian sakitnya terasa kambuh lagi, dan terasa lebih keras lagi. Ketika ia sedang berada di rumah Maimunah ia sudah tidak dapat lagi mengatasinya. Ia merasa perlu mendapat perawatan. Ketika itu dipanggilnya isteri-isterinya ke rumah Maimunah. Dimintanya ijin kepada mereka, setelah melihat keadaannya begitu, bahwa ia akan dirawat di rumah Aisyah. Isteri-isterinya mengijinkan ia pindah.
Dengan berikat kepala, ia keluar sambil bertopang dalam jalannya itu kepada Ali b. Abi Talib dan kepada ‘Abbas pamannya. Ia sampai di rumah Aisyah dengan kaki yang sudah terasa lemah sekali.
Pada hari-hari pertama ia jatuh sakit, demamnya sudah terasa makin keras, sehingga ia merasa seolah seperti dibakar. Sungguh pun begitu, ketika demamnya menurun ia pergi berjalan ke mesjid untuk memimpin sembahyang. Hal ini dilakukannya selama berhari-hari. Tapi tidak lebih dari sembahyang saja. Ia sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya. Namun begitu apa yang dibisikkan orang bahwa dia menunjuk anak yang masih muda belia di atas kaum Muhajirin dan Anshar yang terkemuka untuk menyerang Rumawi, terdengar juga oleh Nabi. Meskipun dari hari ke hari sakitnya bertambah juga, tapi dengan adanya bisik-bisik demikian itu rasanya perlu ia bicara dan berpesan kepada mereka. Dalam hal ini ia berkata kepada isteri-isteri dan keluarganya:
“Tuangkan kepadaku tujuh kirbat air dari pelbagai sumur, supaya aku dapat menemui mereka dan berpesan kepada mereka.”
Lalu dibawakan air dari beberapa sumur, dan setelah oleh isteri-isterinya ia didudukkan di dalam pasu kepunyaan Hafsha, ketujuh kirbat air itu disiramkan kepadanya. Kemudian katanya: Cukup. Cukup.
Lalu ia mengenakan pakaian kembali, dan dengan berikat kepala ia pergi ke mesjid. Setelah duduk di atas mimbar, ia mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan dan memintakan ampunan buat sahabat-sahabatnya yang telah gugur di Uhud. Banyak sekali ia mendoakan mereka itu.
Kemudian katanya :
“Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu. Demi hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan, seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan.”
Muhammad diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga diam, tiada yang bicara. Kemudian ia meneruskan berkata lagi:
“Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara dunia dan akhirat dengan apa yang ada padaNya, maka ia memilih yang ada pada Tuhan.”
Muhammad diam lagi, dan orang-orang juga diam tidak bergerak. Tetapi Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan kata-kata terakhir itu adalah dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya persahabatannya dengan Nabi, ia tak dapat menahan air mata dan menangis sambil berkata:
“Tidak. Bahkan tuan akan kami tebus dengan jiwa kami dan anak-anak kami.”
Kuatir rasa terharu Abu Bakr ini akan menular kepada yang lain, Muhammad memberi isyarat kepadanya:
“Sabarlah, Abu Bakr.”
Kemudian dimintanya supaya semua pintu yang menuju ke mesjid ditutup, kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Setelah semua pintu ditutup, katanya lagi:
“Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan) maka Abu Bakrlah khalilku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Tuhan mempertemukan kita.”
Bilamana Muhammad turun dari mimbar, sedianya akan kembali pulang ke rumah Aisyah, tapi ia lalu menoleh kepada orang banyak itu dan kemudian katanya:
“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah. Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah kesalahan mereka.”
Ia kembali ke rumah Aisyah. Tetapi energi yang digunakannya selama ia dalam keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya terasa lebih berat lagi. Sungguh suatu pekerjaan berat, terutama buat orang yang sedang menderita demam, ia keluar juga setelah disirami tujuh kirbat air; ia keluar dengan membawa beban pikiran yang sangat berat: Pasukan Usama, nasib Anshar kemudian hari, nasib orang-orang Arab yang kini telah dipersatukan oleh agama baru itu dengan persatuan yang sangat kuat. Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya ia berusaha hendak bangun memimpin sembahyang seperti biasanya, ternyata ia sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata:
“Suruh Abu Bakr memimpin orang-orang sembahyang.”
Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan salat mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.
“Tapi Abu Bakr orang yang lembut hati, suaranya lemah dan suka menangis kalau sedang membaca Qur’an,” kata Aisyah.
Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan suara lebih keras Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih dirasakannya:
“Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan Yusuf. Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!”
Kemudian Abu Bakr datang memimpin sembahyang seperti diperintahkan oleh Nabi.
Pada suatu hari karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai pengganti Abu Bakr. Oleh karena Umar orang yang punya suara lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
“Mana Abu Bakr?” tanyanya. “Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian.”
Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Tatkala sakitnya sudah makin keras, panas demamnya makin memuncak, isteri-isteri dan tamu-tamu yang datang menjenguknya, bila meletakkan tangan di atas selimut yang dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat meletihkan itu. Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang menengok. Ia sangat mencintai puterinya itu, cinta seorang ayah kepada anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan. Apabila ia datang menemui Nabi, ia menyambutnya dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk. Tetapi setelah sakitnya demikian payah, puterinya itu datang menemuinya dan mencium ayahnya.
“Selamat datang, puteriku,” katanya. Lalu didudukkannya ia disampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika itu, Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain Fatimah pun jadi tertawa. Bila hal itu oleh Aisyah ditanyakan, ia menjawab:
“Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah s.a.w.”
Tetapi setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian dibisikkannya lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.
Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi air dingin diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka. Begitu tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang sudah sangat payah sekali. Karena perasaan sedih yang menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu:
“Alangkah beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawabnya.
Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan penderitaan.
Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak orang, ia berkata:
“Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat.”
Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada kita sudah ada Qur’an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan:
Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata:
“Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi.”
Tetapi Ibn ‘Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang waktu karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman:
“Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu.” (Qur’an, 6:38)
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usama dan anak buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah. Bila Usama kemudian masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya Usama, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya kepada Usama sebagai tanda mendoakan.
Melihat keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat hendak membantunya dengan pengobatan. Asma’ - salah seorang kerabat Maimunah - telah menyediakan semacam minuman, yang pernah dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan karena demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya:
“Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?”
“Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput dada,” kata ‘Abbas pamannya.
“Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu kepadaku.”
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah - supaya meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang berpuasa.
Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai terasa berat. Kuatir bila ia meninggal harta masih di tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan. Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya kepada mereka: Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu? Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:
“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya.”
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali b. Abi Talib dan Fadzl bin’l-‘Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira melihat semua itu.
Abu Bakr merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad mendorongnya dari belakang seraya katanya Pimpin terus orang bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu Bakr dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
Selesai sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai ke luar mesjid:
“Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang dihalalkan oleh Qur’an, juga aku tidak akan mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur’an. Laknat Tuhan kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai mesjid.”
Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju, bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama b. Zaid datang menghadap kepadanya dan minta ijin akan membawa pasukan ke Syam, dan Abu Bakrpun datang pula menghadap dengan mengatakan:
“Rasulullah!. Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?”
Nabi pun mengijinkan. Abu Bakr segera berangkat pergi ke Sunh di luar kota Medinah - tempat tinggal isterinya. Umar dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, - sebab sebelum itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya semakin keras sampai ia pingsan.
Sekarang ia kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat lemah sekali.
Dipandangnya laki-laki itu oleh Aisyah, dengan kalbu yang penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang penuh rasa iba hati karena ia lemah, ia sakit. Ia ingin sekiranya ia dapat mencurahkan segala yang ada dalam dirinya untuk mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.
Akan tetapi, kiranya perginya Nabi ke mesjid itu adalah suatu kesadaran batin, yang akan disusul oleh kematian. Setelah memasuki rumah, tiap sebentar tenaganya bertambah lemah juga. Ia melihat maut sudah makin mendekat. Tidak sangsi ia bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja lagi. Ya, kiranya apakah yang diperhatikannya pada detik-detik yang masih ada sebelum ia berpisah dengan dunia ini? Adakah ia mengenangkan hidupnya sejak diutus Tuhan sebagai pembimbing dan sebagai nabi, mengenangkan segala yang pernah dialaminya selama itu, kenikmatan yang diberikan Tuhan kepadanya sampai selesai, kemudian hati merasa lega karena kalbu orang-orang Arab itu sudah terbuka menerima agama yang hak? Ataukah selama itu ia tinggal hanya membaca istighfar - meminta pengampunan Tuhan dan dengan seluruh jiwa ia menghadapkan diri seperti yang biasanya dilakukan selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam saat-saat terakhir itu ia harus menahan penderitaan sakratulmaut sehingga tidak lagi punya tenaga akan mengingat?
Dalam hal ini beberapa sumber masih sangat berlain-lainan sekali keterangannya. Sebagian besar menyebutkan bahwa pada hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu - 8 Juni 632 - ia minta disediakan sebuah bejana berisi air dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga Abu Bakr datang ke tempat Aisyah dengan sebatang siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi. Kemudian dengan itu ia menggosok dan membersihkan giginya. Sementara ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri kepada Allah sambil berdoa, “Allahumma ya Allah! Tolonglah aku dalam sakratulmaut ini.”
Aisyah berkata - yang pada waktu itu kepala Nabi berada di pangkuannya, “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Handai Tertinggi dari surga.”
“Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada. dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w. berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”
Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih menjadi perselisihan orang ketika itu, sehingga hampir-hampir timbul fitnah di kalangan mereka dengan segala akibat yang akan menjurus kepada perang saudara, kalau tidak karena Tuhan Yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan agama yang sebenarnya ini.
__
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haekal, Jakarta: Tintamas, 1972