Mengenang Anas Ma'ruf, Budayawan Pejuang - Mochtar Lubis
Mengenang Anas Ma'ruf, Budayawan Pejuang
oleh Mochtar Lubis
KAWACA.COM | Namanya tidak tercantum di bawah judul banyak buku sastra, akan tetapi Anas Ma'ruf adalah seorang sastrawan, seorang budayawan dan seorang pejuang.
Badannya selalu kurus, seakan apapun yang dimakannya tidak dapat membuatnya bertambah gemuk. Akan tetapi kekuatan jiwanya senantiasa terpancar melalui matanya yang bersinar kuat, dan jika dia berbicara penuh semangat mengenai sesuatu hal, maka semangatnya yang berapi-api melontarkan pula lidah-lidah api lewat matanya.
Ketika proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dilontarkan ke dunia, Anas Ma'ruf termasuk di antara sekian banyak pemuda Indonesia yang tanpa sesuatu keraguan menceburkan diri ke dalam revolusi merebut kemerdekaan bangsa dari bekas penjajah Belanda yang datang kembali untuk mengembalikan kekuasaan penjajahannya di negeri kita. Dia menulis dalam surat kabar Berita Indonesia yang diasuh oleh sekelompok pemuda, lalu memimpin pula berbagai penerbitan majalah, dan Indonesia di Jakarta setelah kedaulatan bangsa Indonesia diakui kemudian dia aktif bekerja dalam redaksi majalah budaya Indonesia Belanda, dan dia aktif menjabat sekretaris Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional hingga akhirnya BMKN dibuat tidak dapat lagi berfungsi oleh tekanan-tekanan Lekra PKI.
Anas Ma'ruf terlalu jujur dan terbuka untuk dapat hidup tenteram dalam lingkungan budaya feodal di tanah airnya. Dia tidak mengenal ”tepo seliro”, dan karena dalam pergaulan dengan banyak orang lain, dia dianggap seakan seorang yang kasar, dan ucapan-ucapannya yang terus terang dan tegas terasa seakan melukai perasaan sasaran-sasarannya. Dia tak sabar dengan orang yang suka menukar pendirian atau sikap dengan mudah. Dia benci pada orang yang mudah berbohong. Dia tak senang dengan teman sekerja yang malas dan kurang bertanggung-jawab. Dia sendiri bekerja selalu penuh tanggung jawab, dan tidak berhitung dengan teman-teman yang fain. Karena itu dalam organisasi biasanya banyak kerja dibebankan ke atas bahunya.
Dia seorang anak manusia yang sangat mencintai kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan kebenaran, Tulisannya banyak bertebaran di berbagai harian dan majalah. Semoga dokumentasi H.B, Jassin cukup banyak memiliki hasil-hasil karyanya. agar pada suatu hari kelak, dapat kiranya dikumpulkan dan dibukukan. Karena pandangan sikap-sikap Anas Ma'ruf mencerminkan jiwa perjuangan pemuda Indonesia dari masa tahun empat puluh limaan yang berharga untuk dibaca kembali tidak saja oleh generasi yang lebih muda, akan tetapi juga oleh generasi 45 sendiri.
Selama orde lama berkuasa dengan Lekranya PKI menjagoi arena budaya, Anas Ma'ruf merasa sangat tertekan.
Tak lama setelah orde baru menggantikan orde lama, Anas: Ma'ruf mendapat kesempatan untuk mengajar bahasa Indonesia di Jepang. Dia memutuskan untuk berangkat, dan saya masih ingat dia mengatakan pada saya sebelum dia berangkat, bahwa dia hendak mempelajari bahasa Jepang di sana, karena dia ingin mempelajari sastra Jepang dan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga ingin mempelajari masyarakat dan budaya Jepang dari dekat, karena ingin tahu apa yang menggerakkan bangsa Jepang yang negerinya begitu miskin, menjadi sebuah negeri berekonomi maju.
Beberapa kali saya berjumpa dengan Anas Ma'ruf jika saya melawat ke Jepang. Senantiasa dia memberikan saya berbagai buku yang diterbitkan di Jepang yang dianggapnya perlu saya baca. Pada suatu kali saya berkunjung ke Jepang, dia ikut menemani saya pergi berkunjung dan bercakap-cakap dengan pengarang Jepang Kawabata yang memenangkan Hadiah Nobel, dan keterangan-keterangan Anas Ma'ruf mengenai masyarakat Jepang sangat membantu saya memahami perkembangan masyarakat Jepang ini.
Demikianlah orangnya, senantiasa gembira dapat menolong teman-teman dan siapa saja dengan apa yang dapat ditolongnya. Sangat sayang, di Jepang istrinya jatuh sakit dan mengidap penyakit bertahun-tahun pula. Keadaan ini merupakan bukan saja tekanan jiwa dan pikiran, akan tetapi pula tekanan keuangan yang amat berat pada Anas Ma'ruf. Dia menceritakannya padaku dengan terus-terang. Keperluan keuangan untuk hidup mereka sekeluarga, ongkos perawatan istrinya, telah mendorong Anas Ma'ruf bekerja keras, mengajar, menulis, menyalin, hingga mungkin hal ini tanpa dirasakannya telah pula merusak kesehatannya.
Setelah istrinya meninggal dunia terlebih dahulu di Jakarta, Aras Ma'ruf kembali memutuskan untuk pergi bekerja lagi di Jepang. Kali ini, katanya padaku, dia ingin memberikan kesempatan pada anak-anaknya untuk belajar dengan baik.
Sayang sungguh, di Jepang dia sendiri jatuh sakit, karena gaya hidupnya bekerja terus menerus tanpa kenal lelah itu, akhirnya menyebabkan dia tidak dapat memenuhi cita-citanya, Gan dia terpaksa kembali ke Indonesia dengan tujuan beristirahat untuk menguatkan tubuhnya kembali.
Tuhan Yang Maha Kuasa telah memanggilnya. Semoga Anas Ma'ruf menemukan kebahagiaan, ketenteraman hati dan damai di sisi Tuhan. Karena dia sendiri pun di tahun-tahun belakangan ini merasa gerah dengan berbagai perkembangan di tanah air yang dicintainya.
Indonesia kehilangan seorang tokoh budayawan yang banyak berbuat, seorang budayawan-pejuang yang banyak berjasa bagi perkembangan budaya bangsanya.
oleh Mochtar Lubis
KAWACA.COM | Namanya tidak tercantum di bawah judul banyak buku sastra, akan tetapi Anas Ma'ruf adalah seorang sastrawan, seorang budayawan dan seorang pejuang.
Badannya selalu kurus, seakan apapun yang dimakannya tidak dapat membuatnya bertambah gemuk. Akan tetapi kekuatan jiwanya senantiasa terpancar melalui matanya yang bersinar kuat, dan jika dia berbicara penuh semangat mengenai sesuatu hal, maka semangatnya yang berapi-api melontarkan pula lidah-lidah api lewat matanya.
Ketika proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dilontarkan ke dunia, Anas Ma'ruf termasuk di antara sekian banyak pemuda Indonesia yang tanpa sesuatu keraguan menceburkan diri ke dalam revolusi merebut kemerdekaan bangsa dari bekas penjajah Belanda yang datang kembali untuk mengembalikan kekuasaan penjajahannya di negeri kita. Dia menulis dalam surat kabar Berita Indonesia yang diasuh oleh sekelompok pemuda, lalu memimpin pula berbagai penerbitan majalah, dan Indonesia di Jakarta setelah kedaulatan bangsa Indonesia diakui kemudian dia aktif bekerja dalam redaksi majalah budaya Indonesia Belanda, dan dia aktif menjabat sekretaris Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional hingga akhirnya BMKN dibuat tidak dapat lagi berfungsi oleh tekanan-tekanan Lekra PKI.
Anas Ma'ruf terlalu jujur dan terbuka untuk dapat hidup tenteram dalam lingkungan budaya feodal di tanah airnya. Dia tidak mengenal ”tepo seliro”, dan karena dalam pergaulan dengan banyak orang lain, dia dianggap seakan seorang yang kasar, dan ucapan-ucapannya yang terus terang dan tegas terasa seakan melukai perasaan sasaran-sasarannya. Dia tak sabar dengan orang yang suka menukar pendirian atau sikap dengan mudah. Dia benci pada orang yang mudah berbohong. Dia tak senang dengan teman sekerja yang malas dan kurang bertanggung-jawab. Dia sendiri bekerja selalu penuh tanggung jawab, dan tidak berhitung dengan teman-teman yang fain. Karena itu dalam organisasi biasanya banyak kerja dibebankan ke atas bahunya.
Dia seorang anak manusia yang sangat mencintai kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan kebenaran, Tulisannya banyak bertebaran di berbagai harian dan majalah. Semoga dokumentasi H.B, Jassin cukup banyak memiliki hasil-hasil karyanya. agar pada suatu hari kelak, dapat kiranya dikumpulkan dan dibukukan. Karena pandangan sikap-sikap Anas Ma'ruf mencerminkan jiwa perjuangan pemuda Indonesia dari masa tahun empat puluh limaan yang berharga untuk dibaca kembali tidak saja oleh generasi yang lebih muda, akan tetapi juga oleh generasi 45 sendiri.
Selama orde lama berkuasa dengan Lekranya PKI menjagoi arena budaya, Anas Ma'ruf merasa sangat tertekan.
Tak lama setelah orde baru menggantikan orde lama, Anas: Ma'ruf mendapat kesempatan untuk mengajar bahasa Indonesia di Jepang. Dia memutuskan untuk berangkat, dan saya masih ingat dia mengatakan pada saya sebelum dia berangkat, bahwa dia hendak mempelajari bahasa Jepang di sana, karena dia ingin mempelajari sastra Jepang dan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga ingin mempelajari masyarakat dan budaya Jepang dari dekat, karena ingin tahu apa yang menggerakkan bangsa Jepang yang negerinya begitu miskin, menjadi sebuah negeri berekonomi maju.
Beberapa kali saya berjumpa dengan Anas Ma'ruf jika saya melawat ke Jepang. Senantiasa dia memberikan saya berbagai buku yang diterbitkan di Jepang yang dianggapnya perlu saya baca. Pada suatu kali saya berkunjung ke Jepang, dia ikut menemani saya pergi berkunjung dan bercakap-cakap dengan pengarang Jepang Kawabata yang memenangkan Hadiah Nobel, dan keterangan-keterangan Anas Ma'ruf mengenai masyarakat Jepang sangat membantu saya memahami perkembangan masyarakat Jepang ini.
Demikianlah orangnya, senantiasa gembira dapat menolong teman-teman dan siapa saja dengan apa yang dapat ditolongnya. Sangat sayang, di Jepang istrinya jatuh sakit dan mengidap penyakit bertahun-tahun pula. Keadaan ini merupakan bukan saja tekanan jiwa dan pikiran, akan tetapi pula tekanan keuangan yang amat berat pada Anas Ma'ruf. Dia menceritakannya padaku dengan terus-terang. Keperluan keuangan untuk hidup mereka sekeluarga, ongkos perawatan istrinya, telah mendorong Anas Ma'ruf bekerja keras, mengajar, menulis, menyalin, hingga mungkin hal ini tanpa dirasakannya telah pula merusak kesehatannya.
Setelah istrinya meninggal dunia terlebih dahulu di Jakarta, Aras Ma'ruf kembali memutuskan untuk pergi bekerja lagi di Jepang. Kali ini, katanya padaku, dia ingin memberikan kesempatan pada anak-anaknya untuk belajar dengan baik.
Sayang sungguh, di Jepang dia sendiri jatuh sakit, karena gaya hidupnya bekerja terus menerus tanpa kenal lelah itu, akhirnya menyebabkan dia tidak dapat memenuhi cita-citanya, Gan dia terpaksa kembali ke Indonesia dengan tujuan beristirahat untuk menguatkan tubuhnya kembali.
Tuhan Yang Maha Kuasa telah memanggilnya. Semoga Anas Ma'ruf menemukan kebahagiaan, ketenteraman hati dan damai di sisi Tuhan. Karena dia sendiri pun di tahun-tahun belakangan ini merasa gerah dengan berbagai perkembangan di tanah air yang dicintainya.
Indonesia kehilangan seorang tokoh budayawan yang banyak berbuat, seorang budayawan-pejuang yang banyak berjasa bagi perkembangan budaya bangsanya.