Cinta Hanya Perihal Mata - Qoiro Basyir
Cinta Hanya Perihal Mata
oleh Qoiro Basyir
KAWACA.COM | Sepasang mata kutangkap dari atas panggung di antara rerimbun penonton yang datang sebagai suporter. Mataku lalu kugerakkan. Ke kanan, ke kiri, kanan, terus begitu sampai akhirnya kutahu melalui matanya dia masih memikat hatiku. Kedua alisnya hampir bertautan. Tampak sekali kalau ia sedang memerhatikanku, wawas mengoreksi takut-takut terjadi kesalahan pada bacaanku melebihi para juri yang tak melepas edar penglihatan dan fokus pendengarannya dariku.
Aku kenapa, pikirku. Selalu kucoba fokus pada lintang juri, namun gagal. Rasa-rasanya aku selalu salah bila diperhatikan begitu. Ah, gede rasa. Sudah lama ia memutus komunikasi denganku, mana mungkin secara tiba-tiba ia memerhatikanku sekarang. Aku tidak boleh lengah, meskipun pesonanya, memang, kuakui, masih dalam bekas tancapannya di hatiku. Aku tidak lupa, begitu pula kecintaanku yang tak berubah padanya.
Keraguan demi keraguan merajaiku. Setiap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan juri tak satupun yang kujawab dengan mantap. Hapalan dan rapalan yang kulakukan selama ini serasa tak ada guna. Lidahku terasa kelu, juga kedua mataku melotot memperjelas kerut apa yang menjaraki kedua alisnya juga sinar apa yang ada di matanya hingga membuat ketertarikanku tak lekang sampai saat ini. Oh, Tuhan, indahnya.
Aula besar ini bukan hanya berisi aku dengan dia bukan? Pagi ini bukan hanya ada sinarnya bukan? Pikiranku berkelana, mestinya dia tidak boleh membuat buruk penampilanku di panggung ini. Coba kualihkan lagi pandanganku darinya, mencoba menghitung berapa banyak orang yang datang. Hampir seratus, hitungan mataku, sedangkan hatiku hanya menghitung satu. Otakku, yang dipengaruhi hatiku, memutar-mutar memori tentangnya.
Dahulu, ia satu-satunya lelaki yang berani kuceritakan pada Abah, orang yang hampir tidak pernah mengajakku berbicara perihal cinta, dan Abah terlihat baik saja mendengarkannya. Dia satu-satunya lelaki yang mampu membuatku merapal apa yang ia rapal, mengahapal apa yang ia hapal, menekuni apa yang ia tekuni, menyukai apa yang ia sukai, menjauhi apa yang ia tidak sukai, dan tersenyum sebagaimana ia tersenyum. Yang terpenting, ia membuatku bercerita dengan Abah lebih banyak dari biasanya.
Dahulu ia memanggilku hûrul ‘ain, dalam bahasa arab, yang berarti bidadari bermata bening seperti yang tertera pada QS. Al-Rahmáºn. Katanya, aku selalu indah seperti bidadari. Kita saling mengenal di sebuah acara yang mempertemukan secara legal santri putra dengan santri putri di luar wilayah pesantren. Perkenalan kita berlanjut via telepon. Kita saling mendiskusikan sesuatu, bercerita, tertawa bersama, sangat dekat.
Kini, beberapa bulan setelah ia memilih pergi dari hingar-bingarku tanpa alasan yang masuk akal dan salam yang santun, kita lagi-lagi dipertemukan dalam sebuah ajang perlombaan yang menuntut kembalinya pertautan mata. Lama sudah kita tidak bertemu, pula aku yang memilih menjauh menghindarinya sebab itu hanya akan membuka luka hati yang belum kering, toh walaupun sudah kering pasti akan luka lagi. Hari ini terjadi, dan benar saja, hatiku sakit, tetapi pesonanya mengalihkan rasa sakitku menjadi rasa penasaran yang teramat.
Perlombaan terus berlanjut. Sepertinya juri masih ingin berlama-lama denganku, dan sesekali mengalihkan pandangannya ke belakang mengikuti arah pandangku. Tetapi mereka tak akan menemukannya, ini hanya aku.
“Sebutkan kaidah yang menjelaskan bahwasanya mubtada’ di-rafa’-kan oleh ‘amil ma’nawi ibtida’.”
Oh, tidak, apa kata juri, aku benar-benar tidak jelas mendengarnya. Pertanyaan itu bersamaan dengan langkah perginya keluar. Aku benar-benar kehilangan fokus. Apa yang harus kulakukan. Apa boleh aku meminta pertanyaan diulang. Ah, tidak, jangan. Lalu apa. Pikiranku kacau, daripada jawabanku semakin ngawur, aku diam saja. Oke, mungkin lebih baik begini.
“Ya, sudah. Silakan kembali ke tempat,” kata juri tiba-tiba.
Astaga, lega rasanya. Aku hendak menyusulnya. Ya, itu yang kulakukan. Dia duduk di luar aula besar ini berdua dengan seorang temannya. Kini aku duduk di depannya. Ah, indah sekali matanya. Biru. Putihnya agak buram. Dan, dia mampu tidak berkedip pada durasi waktu yang lama. Hey, benar saja, aku tidak pernah melihatnya berkedip. Pun dia tidak merespon keberadaanku di depannya. Eh, kenapa jadi aneh rasanya.
Aku bertanya pada temannya dengan bahasa isyarat, apakah dia melihatku? Dia menjawab ‘tidak’. Lalu aku bertanya lagi, apakah dia mencintaiku? Dia jawab ‘iya’. Terakhir, aku berkata sambil beranjak pergi, sampaikan salamku padanya, aku pulang duluan. Temannya mengangguk, lalu aku bergegas pulang.
____
Qoiro Basyir. Aktif di AJMI Iksaputra, Teater al-Fatihah, LSO Forum Literasi Santri (FRASA), dan komunitas #SaveSpeaker “langkah sederhana menjaga kesehatan telinga kita.”
oleh Qoiro Basyir
KAWACA.COM | Sepasang mata kutangkap dari atas panggung di antara rerimbun penonton yang datang sebagai suporter. Mataku lalu kugerakkan. Ke kanan, ke kiri, kanan, terus begitu sampai akhirnya kutahu melalui matanya dia masih memikat hatiku. Kedua alisnya hampir bertautan. Tampak sekali kalau ia sedang memerhatikanku, wawas mengoreksi takut-takut terjadi kesalahan pada bacaanku melebihi para juri yang tak melepas edar penglihatan dan fokus pendengarannya dariku.
Aku kenapa, pikirku. Selalu kucoba fokus pada lintang juri, namun gagal. Rasa-rasanya aku selalu salah bila diperhatikan begitu. Ah, gede rasa. Sudah lama ia memutus komunikasi denganku, mana mungkin secara tiba-tiba ia memerhatikanku sekarang. Aku tidak boleh lengah, meskipun pesonanya, memang, kuakui, masih dalam bekas tancapannya di hatiku. Aku tidak lupa, begitu pula kecintaanku yang tak berubah padanya.
Keraguan demi keraguan merajaiku. Setiap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan juri tak satupun yang kujawab dengan mantap. Hapalan dan rapalan yang kulakukan selama ini serasa tak ada guna. Lidahku terasa kelu, juga kedua mataku melotot memperjelas kerut apa yang menjaraki kedua alisnya juga sinar apa yang ada di matanya hingga membuat ketertarikanku tak lekang sampai saat ini. Oh, Tuhan, indahnya.
Aula besar ini bukan hanya berisi aku dengan dia bukan? Pagi ini bukan hanya ada sinarnya bukan? Pikiranku berkelana, mestinya dia tidak boleh membuat buruk penampilanku di panggung ini. Coba kualihkan lagi pandanganku darinya, mencoba menghitung berapa banyak orang yang datang. Hampir seratus, hitungan mataku, sedangkan hatiku hanya menghitung satu. Otakku, yang dipengaruhi hatiku, memutar-mutar memori tentangnya.
Dahulu, ia satu-satunya lelaki yang berani kuceritakan pada Abah, orang yang hampir tidak pernah mengajakku berbicara perihal cinta, dan Abah terlihat baik saja mendengarkannya. Dia satu-satunya lelaki yang mampu membuatku merapal apa yang ia rapal, mengahapal apa yang ia hapal, menekuni apa yang ia tekuni, menyukai apa yang ia sukai, menjauhi apa yang ia tidak sukai, dan tersenyum sebagaimana ia tersenyum. Yang terpenting, ia membuatku bercerita dengan Abah lebih banyak dari biasanya.
Dahulu ia memanggilku hûrul ‘ain, dalam bahasa arab, yang berarti bidadari bermata bening seperti yang tertera pada QS. Al-Rahmáºn. Katanya, aku selalu indah seperti bidadari. Kita saling mengenal di sebuah acara yang mempertemukan secara legal santri putra dengan santri putri di luar wilayah pesantren. Perkenalan kita berlanjut via telepon. Kita saling mendiskusikan sesuatu, bercerita, tertawa bersama, sangat dekat.
Kini, beberapa bulan setelah ia memilih pergi dari hingar-bingarku tanpa alasan yang masuk akal dan salam yang santun, kita lagi-lagi dipertemukan dalam sebuah ajang perlombaan yang menuntut kembalinya pertautan mata. Lama sudah kita tidak bertemu, pula aku yang memilih menjauh menghindarinya sebab itu hanya akan membuka luka hati yang belum kering, toh walaupun sudah kering pasti akan luka lagi. Hari ini terjadi, dan benar saja, hatiku sakit, tetapi pesonanya mengalihkan rasa sakitku menjadi rasa penasaran yang teramat.
Perlombaan terus berlanjut. Sepertinya juri masih ingin berlama-lama denganku, dan sesekali mengalihkan pandangannya ke belakang mengikuti arah pandangku. Tetapi mereka tak akan menemukannya, ini hanya aku.
“Sebutkan kaidah yang menjelaskan bahwasanya mubtada’ di-rafa’-kan oleh ‘amil ma’nawi ibtida’.”
Oh, tidak, apa kata juri, aku benar-benar tidak jelas mendengarnya. Pertanyaan itu bersamaan dengan langkah perginya keluar. Aku benar-benar kehilangan fokus. Apa yang harus kulakukan. Apa boleh aku meminta pertanyaan diulang. Ah, tidak, jangan. Lalu apa. Pikiranku kacau, daripada jawabanku semakin ngawur, aku diam saja. Oke, mungkin lebih baik begini.
“Ya, sudah. Silakan kembali ke tempat,” kata juri tiba-tiba.
Astaga, lega rasanya. Aku hendak menyusulnya. Ya, itu yang kulakukan. Dia duduk di luar aula besar ini berdua dengan seorang temannya. Kini aku duduk di depannya. Ah, indah sekali matanya. Biru. Putihnya agak buram. Dan, dia mampu tidak berkedip pada durasi waktu yang lama. Hey, benar saja, aku tidak pernah melihatnya berkedip. Pun dia tidak merespon keberadaanku di depannya. Eh, kenapa jadi aneh rasanya.
Aku bertanya pada temannya dengan bahasa isyarat, apakah dia melihatku? Dia menjawab ‘tidak’. Lalu aku bertanya lagi, apakah dia mencintaiku? Dia jawab ‘iya’. Terakhir, aku berkata sambil beranjak pergi, sampaikan salamku padanya, aku pulang duluan. Temannya mengangguk, lalu aku bergegas pulang.
____
Qoiro Basyir. Aktif di AJMI Iksaputra, Teater al-Fatihah, LSO Forum Literasi Santri (FRASA), dan komunitas #SaveSpeaker “langkah sederhana menjaga kesehatan telinga kita.”