Buku: Di Kaki Gunung Bintan - Antologi Puisi Jazirah 3
Di Kaki Gunung Bintan
Antologi Puisi Jazirah 3
Copyright © 2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Kepri
Copyright © 2019 Dewan Kesenian Kepri
Copyright © 2019 Yayasan Jembia Emas
All rights reserved
Cetakan Pertama : Oktober 2019
Editor Penyelaras : Rida K Liamsi
Perancang Cover dan Penata Isi : Dobby Fachrizal
Penerbit:
Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau
Dewan Kesenian Kepulauan Riau Yayasan Jembia Emas
bekerja sama dengan
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Setia yang Tak Sudah oleh: Husnizar Hood vii
Abdul Kadir Ibrahim 1
A Aris Abeba 11
Alang Dilaut 16
Almukhlis 22
Bambang Widiatmoko 31
Cak Sudi 39
Dheni Kurnia 43
DM.Ningsih 53
Griven H. Putera (HES) 55
Hang Kafrawi 61
Hasan Aspahani 63
Hasan Bisri BFC 70
Husnizar Hood 78
Jasman Bandul 82
Juhendri Chaniago 86
Kunni Masrohanti 95
M. Febriyadi 99
Mohd. Khatim Othman 107
Mohd Rosli Bakir 114
Muhammad Natsir Tahar 125
Muhammad Salleh 128
Musa Ismail 132
Pilo Poly 139
Rahmat Ali 142
Ratna Ayu Budhiarti 152
Refdinal Muzan 156
Rida K Liamsi 163
Rini Intama 167
Rissa Churria 171
Roslan Madun 179
Roymon Lemosol 187
Syafaruddin 192
Tarmizi 196
Taufik Ikram Jamil 203
Yuanda Isha 209
Zainal Takdir 213
Zamhir Arifin 216
Kata Pengantar
Setia yang Tak Sudah
oleh Husnizar Hood
JIKA ditanya kepada saya apakah yang paling saya ingat ketika disebut nama Hang Tuah? Jawabnya seperti judul tulisan ini: Setia yang Tak Sudah. Karena itulah dialog yang digambarkan dalam film Puteri Gunung Ledang dalam adegan antara Hang Tuah dan Retno Dumilah yang menyebutnya terlalu setia kepada Raja.
Karena itu ketika Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) tahun 2018 tema yang diusulkan adalah “Menyusuri Jejak Hang Tuah”, saya langsung saja menyetujuinya. Bagi saya, Hang Tuah itu bukan hanya seorang sosok atau individu Laksamana Melayu, tapi dia juga adalah kita, orang-orang yang mengaku sebagai seorang yang paling setia.
Setia kepada negeri, setia kepada cinta, setia kepada akal budi, dan tentu saja setia kepada sastra sebagai jalan hidup yang kita pilih. Dan atas kesetiaan itu semua, maka buku kumpulan puisi yang berada di tangan Tuan dan Puan ini terbit.
Kenapa buku ini saya sebut dengan sebuah kesetiaan? Karena menurut Dato’ Sri Lela Budaya Rida K Liamsi, setiap tahun buku ini akan terus tumbuh berkembang. Jika 38 penyair yang tercatat dalam kumpulan puisi kali ini sebagai peserta FSIGB tahun 2018, maka kelak pada tahun 2020 akan membuat 38 penyair peserta 2018 ditambah peserta tahun 2019 dan begitu seterusnya.
Bukankah itu namanya kesetiaan? Dan bagi siapa yang tak setia, maka dia akan hilang dalam catatan panjang itu.
Ada banyak tempat pernah kita singgahi. Dan mengikuti kegiatan seperti ini, pertemuan sastrawan atau apalah namanya, selalu kita mendapatkan buku kumpulan puisi di awal kegiatannya saja. Kalau pun ada, adalah kemudian buku diterbitkan setelah semuanya bersurai, kemudian mengirimkan catatan dan karya yang lahir dari perjalanan kita itu dan tentu berniat bertemu kembali tahun depan.
FSIGB menerbitkan kedua-duanya. Di awal dan kenangan setelah pertemuan itu. Seorang kawan baik saya bernama Mahmud, mengatakan sambil tersenyum, “Inilah yang dikatakan orang, datang nampak karya pulang nampak buku.”
Saya mendengarnya sambil mengerutkan kening. Saya tahu kawan saya itu ingin bergurau. Dia sebenarnya ingin mengatakan sebuah pepatah, “datang nampak muka pulang nampak punggung”, yang artinya datang dengan baik-baik dan pulang juga memberitahu dengan baik-baik juga.
Kita sudah melakukan semuanya, mengirim karya dengan baik dan menulis kenangan itu dengan baik pula. Meskipun itu mungkin hanya ada pada saya dan soal keterbatasan kemampuan saya membaca karya-karya yang ada dalam buku ini. Tapi saya melihat semuanya ingin menulis yang terbaik dan ingin memberikan jejak yang jelas seperti jejak Hang Tuah yang pernah kita telusuri bersama dulu itu.
Dan di kata pengantar saya yang tak seberapa ini, saya ingin memberikan sebuah penghormatan kepada Dato’ Sri Lela Budaya Rida K Liamsi, bahwa buku kumpulan puisi ini sepenuhnya adalah gagasan beliau dan kami menyambutnya dengan kekaguman. Itu semakin membuktikan tentang kesetiaan beliau yang tak pernah sudah pada sastra.
Entah bisa sesetia itukah kita? Semoga buku ini akan menjawabnya. Dia mencatatnya karya-karya kita dari tahun ke tahun, dan kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi di kaki Gunung Bintan yang menawan.
Tanjungpinang, 18 September 2019
Antologi Puisi Jazirah 3
Copyright © 2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Kepri
Copyright © 2019 Dewan Kesenian Kepri
Copyright © 2019 Yayasan Jembia Emas
All rights reserved
Cetakan Pertama : Oktober 2019
Editor Penyelaras : Rida K Liamsi
Perancang Cover dan Penata Isi : Dobby Fachrizal
Penerbit:
Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau
Dewan Kesenian Kepulauan Riau Yayasan Jembia Emas
bekerja sama dengan
TareBooks
(Taretan Sedaya International)
Jl. Jaya 25, Kenanga IV, Cengkareng
Jakarta Barat 11730
0811 198 673 tarebooks@gmail.com
www.tarebooks.com
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Setia yang Tak Sudah oleh: Husnizar Hood vii
Abdul Kadir Ibrahim 1
A Aris Abeba 11
Alang Dilaut 16
Almukhlis 22
Bambang Widiatmoko 31
Cak Sudi 39
Dheni Kurnia 43
DM.Ningsih 53
Griven H. Putera (HES) 55
Hang Kafrawi 61
Hasan Aspahani 63
Hasan Bisri BFC 70
Husnizar Hood 78
Jasman Bandul 82
Juhendri Chaniago 86
Kunni Masrohanti 95
M. Febriyadi 99
Mohd. Khatim Othman 107
Mohd Rosli Bakir 114
Muhammad Natsir Tahar 125
Muhammad Salleh 128
Musa Ismail 132
Pilo Poly 139
Rahmat Ali 142
Ratna Ayu Budhiarti 152
Refdinal Muzan 156
Rida K Liamsi 163
Rini Intama 167
Rissa Churria 171
Roslan Madun 179
Roymon Lemosol 187
Syafaruddin 192
Tarmizi 196
Taufik Ikram Jamil 203
Yuanda Isha 209
Zainal Takdir 213
Zamhir Arifin 216
Kata Pengantar
Setia yang Tak Sudah
oleh Husnizar Hood
JIKA ditanya kepada saya apakah yang paling saya ingat ketika disebut nama Hang Tuah? Jawabnya seperti judul tulisan ini: Setia yang Tak Sudah. Karena itulah dialog yang digambarkan dalam film Puteri Gunung Ledang dalam adegan antara Hang Tuah dan Retno Dumilah yang menyebutnya terlalu setia kepada Raja.
Karena itu ketika Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) tahun 2018 tema yang diusulkan adalah “Menyusuri Jejak Hang Tuah”, saya langsung saja menyetujuinya. Bagi saya, Hang Tuah itu bukan hanya seorang sosok atau individu Laksamana Melayu, tapi dia juga adalah kita, orang-orang yang mengaku sebagai seorang yang paling setia.
Setia kepada negeri, setia kepada cinta, setia kepada akal budi, dan tentu saja setia kepada sastra sebagai jalan hidup yang kita pilih. Dan atas kesetiaan itu semua, maka buku kumpulan puisi yang berada di tangan Tuan dan Puan ini terbit.
Kenapa buku ini saya sebut dengan sebuah kesetiaan? Karena menurut Dato’ Sri Lela Budaya Rida K Liamsi, setiap tahun buku ini akan terus tumbuh berkembang. Jika 38 penyair yang tercatat dalam kumpulan puisi kali ini sebagai peserta FSIGB tahun 2018, maka kelak pada tahun 2020 akan membuat 38 penyair peserta 2018 ditambah peserta tahun 2019 dan begitu seterusnya.
Bukankah itu namanya kesetiaan? Dan bagi siapa yang tak setia, maka dia akan hilang dalam catatan panjang itu.
Ada banyak tempat pernah kita singgahi. Dan mengikuti kegiatan seperti ini, pertemuan sastrawan atau apalah namanya, selalu kita mendapatkan buku kumpulan puisi di awal kegiatannya saja. Kalau pun ada, adalah kemudian buku diterbitkan setelah semuanya bersurai, kemudian mengirimkan catatan dan karya yang lahir dari perjalanan kita itu dan tentu berniat bertemu kembali tahun depan.
FSIGB menerbitkan kedua-duanya. Di awal dan kenangan setelah pertemuan itu. Seorang kawan baik saya bernama Mahmud, mengatakan sambil tersenyum, “Inilah yang dikatakan orang, datang nampak karya pulang nampak buku.”
Saya mendengarnya sambil mengerutkan kening. Saya tahu kawan saya itu ingin bergurau. Dia sebenarnya ingin mengatakan sebuah pepatah, “datang nampak muka pulang nampak punggung”, yang artinya datang dengan baik-baik dan pulang juga memberitahu dengan baik-baik juga.
Kita sudah melakukan semuanya, mengirim karya dengan baik dan menulis kenangan itu dengan baik pula. Meskipun itu mungkin hanya ada pada saya dan soal keterbatasan kemampuan saya membaca karya-karya yang ada dalam buku ini. Tapi saya melihat semuanya ingin menulis yang terbaik dan ingin memberikan jejak yang jelas seperti jejak Hang Tuah yang pernah kita telusuri bersama dulu itu.
Dan di kata pengantar saya yang tak seberapa ini, saya ingin memberikan sebuah penghormatan kepada Dato’ Sri Lela Budaya Rida K Liamsi, bahwa buku kumpulan puisi ini sepenuhnya adalah gagasan beliau dan kami menyambutnya dengan kekaguman. Itu semakin membuktikan tentang kesetiaan beliau yang tak pernah sudah pada sastra.
Entah bisa sesetia itukah kita? Semoga buku ini akan menjawabnya. Dia mencatatnya karya-karya kita dari tahun ke tahun, dan kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi di kaki Gunung Bintan yang menawan.
Tanjungpinang, 18 September 2019