Puisi Pilihan Muhammad lqbal Baraas
KAWACA.COM | Muhammad lqbal Baraas, lahir 14 November 1972 di Banyuwangi. Jebolan Stikosa AWS Surabaya, lalu menyelesaikan Studi Sarjana Hukum di Universitas Putra Bangsa (kini Universitas Pelita Harapan), serta S2 di Universitas Dr. Soetomo, keduanya di Surabaya. Pada tahun 1988 mendirikan Komunitas Teater Padepokan Gelar Tikar di kampung halamannya, Banyuwangi. Sempat bergabung dengan sejumlah kelompok teater di Surabaya. Selain di Surabaya, Iqbal pernah lama menetap di Loloan, Jembrana dan Batubulan, Gianyar, Bali. Sempat pula hidup merantau di Jepara, Jawa Tengah, tempat ia bersama Alie Emje, Sunardi KS, dan Masudi Dec membangun komunitas kesenian "Berjanji".
Karyanya berupa cerpen dan puisi dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan majalah, seperti Suara Pembaruan, Swadesi, Nusa Tenggara, Bali Post, Surabaya Post, Ujungpandang Post, Al Hikmah dan Suara Muhammadiyah. Bukunya yang pernah terbit Si Penjual Payung dan Bunga Abadi (kumpulan puisi) dan Pesta hujan di Mata Shinta (kumpulan cerpen, 2008). Naskah teaternya "Opera Serdadu" terpilih sebagai naskah Terbaik Festival Teater di Banyuwangi (2005) dan "Monolog Patung- Patung Berkepala Botak" terpilih sebagai Naskah Terbaik dan Sutradara Terbaik dalam Festival Teater di Banyuwangi (2006). Sementara itu, buku puisinya Mawar Gandrung menjadikannya meraih Anugerah Sutasoma sebagai Karya Sastra Indonesia Terbaik (2018).
Sekarang ia bermukim di Genteng, Banyuwangi, mengasuh Padepokan Gelar Tikar dan mengajar di Institut Agama Islam Ibrahimy, sambil menjalankan hobinya beternak burung.
Lahir Antara Kematian
:Umbu Landu Paranggi
lahir antara kematian
kuda putihku
tak pula merujuk bulan keperakan
membius bias dalam matamu
sedangkan bila ia tidur
maka daun-daun pun bernyanyi
lahir antara kematian
kuda putihku
ringkiknya membelah sepi
menerkam rumputan di dalamnya
dan mengibaskan ekor kemenangan
lahir antara kematian
ialah kuda putihku
yang senantiasa gagal
meloncati jurang
1996
Kesaksian
Yang akan membawa kita
lalah kesaksian
Jarum jam yang lancip
Pisau berkilau
Dan bom waktu yang senantiasa
Menyelip di dadamu
(ayo, ikut kita saudara)
Yang akan membawa kita
Ialah kesaksian
Harapanku; doa tetes embun
Tak cuma jatuh di subuh hari
Karena kedatangan
Dan kepergian, seperti juga
Selongsong peluru
Yang kau tinggalkan di bibirku
Tak pernah terucap
2000
Sajak
kau menikam mawar
tapi pisaumu malah berdarah
bilamana kau memetiknya
pada daunan dan tangkai jemari
yang renta- sembunyi
terjaga- menjaga tetes embun liarmu
(ada yang meneropongku terus-menerus
mengawasi waktu-celaka
menggenggam pisau
nafas lebih dekat dari darah)
harum yang luar biasa
tajam yang luar biasa
menikung di rentang tuaku
ke liang sajak terdalam
2000
Jakarta Menjelang Senja
acapkali kamu mengikat leher
dan kakimu
boneka mungil yang
lalu kepalamu terpental-pental
bagai bola api
berputar-putar berkibaran
menembus lorong-lorong
gang-gang, sudut-sudut kota
taman kota, kali coklat, bantaran kelam
senyum tangis kelabu,
menghibur serangga, kawin, beranak lendir
banjir, tiga belas ribu mikroba biru
meluap sepanjang kota
berpendaran
kelap-kelip bagai kunang-kunang
menyerbu lampu
menempuh mati
meski berbaring dalam kemiskinan
acapkali sebait malam
tak pernah menyisakan embun di paginya
seperti langit yang kubus
rapat
dan tertutup
tapi seakan masih ada yang berderik
bergerak-gerak
memutar kincirnya
memanggil-manggil namaku
sepanjang kota
sepanjang yang tak berakhir
meski kamboja karatan dan berlumut
acapkali di sepanjang jalan
terlalu banyak yang tak terucapkan
2002
Di Rumah Saja
: Laili
Di rumah saja aku menatapmu- seperti ribuan lalat
yang mendoakan kematianku
Sebagaimana kau ceritakan pada tiap bibir untuk tak jadi pendusta
Tapi siapa yang pernah percaya bahwa kita
sepasang gagak tersesat?
Aku tak pernah tahu menjelmakan hutanku dalam mimpiku
Bukankah kita memastikan diri untuk duduk dan bertatapan
Sampai pagi- sampai embun jatuh- atau sampai maut tak lagi dikenali
Kalaupun pergi ke kamar mandi- aku menatapmu di sana
Di bak mandi-hijau lumut-seakan menyimpan kenangan
akan penyesalanmu. Ribuan tangan gemetar
Closet warna hitam mencacimu
dengan air mata
Di rumah saja aku menatapmu
Karena di luaran bagimu terus berpejam
2006