Puisi Pilihan Ali lbnu Anwar
KAWACA.COM | Ali lbnu Anwar, lahir di Jember 1986. Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di almamaternya (2005-2007) Pembina Sanggar Sastra Al-Amien dan Sanggar Sastra Remaja Indonesia (2004-2007) bekerjasama dengan Majalah Horison. Penyiar di Radio Suara Dakwah Al-Amien (2005).
Karya-karyanya tersiar di berbagai media: Majalah Horison, MPA, Jawa Pos, Riau Pos dan beberapa media lain. Karyanya terkumpul dalam beberapa antologi puisi; ODe (Pustaka SSA, 2003), Yaasin (Balai Bahasn Surabaya, 2005), Kepada Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan (DKJT dan Balai Bahasa, 2007), Negeri Cincin Api (Lesbumi, 2011), Labirin Warna (Pustaka Ranggon. 2016), Rumah Ingatan (Pustaka Ranggon, 2018), Asmara Luka (Pustaka Ranggon, 2018), Seyuman Lembah ljen (Taresi, 2018). Sesapa Mesra Selinting Cinta (PPN XI, 2019), Pesisiran (DNP 9, 2019).
Kumpulan puisi tunggal, diantaranya, Reuni (Pustaka SSA, 2006), Sepasang Mata yang Cemburu (Pustaka SSA; Horison, 2010), Bayang bayang Luka (Pustaka Ranggon, 2015). Penggagas dan bergiat di Komunitas Ranggon Sastra, Jakarta. Kini tinggal di Jember, sebagai petani dan editor lepas beberapa buku dan majalah.
di sudut kakbah
kucium udara wangi kiswah pada tanah sekitar kakbah.
tubuhku ditimbun gelisah, sebab hati tak pasrah-pasrah
jiwaku berputar gemetar, serasa getar pada senar gitar.
ragaku berhenti bertengkar dengan tubuh-tubuh kekar
niatku di ambang gelombang pada dada yang membentang.
air mata jatuh tak terbilang, masuk ke dalam nyeri lubang
di sudut-sudut kakbah, tangan-tanganku tengadah.
mendaki tangga langit merah, sambil menyunggi dosa
sehamparan lembah
makkah 2015
berkawan malam
berkawan malam tanpa rembulan. bintang-bintang
bercermin pada jalanan. lampu-lampu kota menerangi
abad-abad yang menuju lenyap
di dahan-dahan jembatan, cahaya menggali kesepian yang
diusik deru mesin proyek. menertawakan tubuhku yang
merenung di pusar kota yang bacin
seharusnya tempatku bukan di sini. tapi di ladang-ladang
tempat menanam padi. ditemani siul angin gunung yang
mengajak daun-daun merenung
namun terlanjur tubuhku terempas. pada belahan pantat-
pantat gedung yang menganga ke udara lepas. walau tanpa
ditemani rembulan, kuajak bintang mengetuk pintu langit
jakarta 2007
ziarah batu-batu
;makam keluarga bagi
angin berembus dari sayap jibril. bulu-bulunya
menjadi batu kerikil. tumbuh sebagai batu-batu bukit.
menombaki kening lelangit
jiwaku berenang di tanah-tanah berbatu. berkelindan
di antara batu-batu rindu. elang putih mencengkeram
sukmaku, yang raganya jarum waktu
ziarahku melumuti batu-batu. antara jiwaku, jiwamu,
tegaklah batu yang satu. mencagaki langit biru
madinah 2015
terdorong tarikanmu
gunung masih matahari masih menyusu panda puting langit biru
tanah putih itu menarik tubuhku, ke puneak bukit bebatu
maha suci engkau, sang pemilik pukau
aku sedikit ragu. mana tanah mana bebatu, hanya
satu yang kutahu, kau tersenyum di situ
tiada engkau, selain engkau
gelombang magnet tanganmu, mengulur ke segala
penjuru. maka ringanlah ragaku, terdorong tarikanmu
madinah 2015
seribu perigi
; masjid bir ali
di sebelah masjid yang dulunya pohon akasia, tumbuhlah
subur pohonan kurma. merindangi hati yang tengadah,
sebab rindunya wewangi kiswah
masjid dengan seribu perigi, tempat singgah telapak nabi.
jejak-jejaknya mengental pada kelenjar tanah tawakal:
/1/
siapa penggali sumur tua itu? sumbernya deras bertalu-
talu. sesap menyesap pada batu-batu. lebih sembilu dari
mata peluru
/2/
pada langit-langit kubah itu, warna-warna membelai bulu
perindu. menarilah rakaat debu-debu, mendenyuti inti
nadimu
/3/
kupenuhi panggilan rindu, yang meneguk sukmaku.
sukmaku meneguk sukmamu. teguk meneguk keduanya
ke langit biru
madinah 2015