Penyair Hepi dan Sajak-Sajak Remmy Novaris DM - Adek Alwi
Penyair Hepi dan Sajak-Sajak Remmy Novaris DM
oleh Adek Alwi
KAWACA.COM | Penyair hepi atawa bahagia, sadar bahwa sajak di negeri ini tak akan membawanya macam selebriti juga politisi, pun di negeri ini -yang digelimangi popularitas dan juga materi. Orientasi penyair bahagia atawa hepi juga tidak itu. Orientasi penyair bahagia hepi pengenalan/penghayatan yang intens pada hidup/kehidupan, waktu, alam, Tuhan, manusia serta diri -meski sadar selaku insan ia takkan tiba di pengenalan/penghayatan yang hakiki.
Meski tahu tak akan sampai di pengenalan/ penghayatan yang hakiki, penyair bahagia atawa penyair hepi tidak henti mengenali/menghayati. Sepenuh diri ia tujukan ke situ, sebab dengan begitu ia tangkap isyarat yang melintas dalam imajinasi; membentuknya jadi sajak. Dan nilainya terletak di situ.Pada proses pengenalan/ penghayatan yang tak henti dijalani, tercermin di dalam sajak-menyiratkan kearifan dalam keindahannya.
Remmy Novaris DM tergolong penyair serupa itu. Sejak SMA, akhir 1976, ia gauli sastra. Otomatis, tentu juga dia jalani proses pengenalan/ penghayatan terhadap tingkat. Puisi-puisi dia, cerpen dan lainnya bertebar di media massa, dan tidak henti hingga kini, di usianya ke-54. Keistikamahan di jalan sastra itulah yang menyebabkan dia di mata saya duduk di meja para penyair hepi atau penyair bahagia.
Hanya saja, ada tak eloknya kelewat terpatok selaku penyair hepi, dalam artian fokus saja ke pencarian atau pengenalan/penghayatan tadi, mengekspresikan di dalam sajak, namun abai menghimpunnya dalam buku. Karena riwayat karya, pun diri, kiranya laik pulalah diingat/ hargai. Dan Remmy Novaris, penyair hepi jenis itu: lalai menghimpun karya, menerbitkan kumpulan sajak. Ia fasih amat berucap "ya Bang" bila diingatkan, misalnya menjelang tahun 2000 ketika waktu saya rasa selalu melesat bergegas karena memimpin surat kabar yang terbit setiap hari, dan bila kami jumpa, sesekali, saya lalu ingat dana yang dapat diproduktifkan menerbitkan kumpulan sajak dia (serta Hardho Sayoko SPB, yang waktu itu berkelakuan serupa: enggan atau abai menerbitkan sajak dalam wujud buku; hepi amat tampaknya selaku penyair bahagia atawa penyair hepi).
Ironisnya lagi, di kasus Remmy, belakangan ia juga punya penerbit (non-profit). Teras Budaya ia beri nama. Sekian kumpulan sajak sudah terbit lewat penerbit ini. Dia yang tangani tata-letak, dia yang semua itu tadi, bertahap-tahap bertingkat bikin kover, urus cetakan, urus ISBN, dan lain sebagainya, dengan asyik, dengan khusyuk pula (Eh, bukankah ini juga bisa dibaca wujud lain dari "langkah" penyair bahagia?) Tetapi, itulah, tetap saja ia lalai menangani/menerbitkan kumpulan sajak sendiri, dan juga begitu dengan rekannya Foeza Hutabarat -sementara sobat mereka Hardho Sayoko SPB, sudah "sadar-insyaf" dengan menerbitkan antologi sajak "Penyair Negeri Rembulan", lewat Teras Budaya itu pula.
Jadi rada repot juga memang melacak sajak-sajak Remmy yang bertebaran di pelbagai media mana saja itu, plus di fesbook yang setiap saat pula dapat saya lihat (lantaran hidup, toh, tak cuma buat buka-buka fb), ataupun di antologi entah apa saja itu, untuk penulisan macam begini. Syukurlah, suatu hari awal Juni lalu, tak ada angin petir pun tak (walau syukur pula "Hujan Bulan Juni" Sapardi Djoko Damono nan sedap-nikmat itu tetap teringat), juga entah makhluk apa pula hinggap di kepalanya, mendadak saja dia serahkan beberapa sajak (yang umumnya bertahun cipta di atas tahun 2000), saat saya singgah ke rumah dia usai kasih ceramah perkara jurnalistik -sisi lain dari lakon kehidupan yangsaya jalani pula.
***
Tulisan ini pun jadinya tidak berangkat dari sebanyak-banyak sajak Remmy, hanya dari sejumlah sajak tadi itu. Tapi, meski dari sajak-sajak itu tadi saja, tetap bisa dilihat proses pengenalan/ penghayatan sang penyair ini terhadap pelbagai hal itu: manusia serta diri, alam, Tuhan, waktu, hidup dan kehidupan.
Di puisi "Ziarah" yang terdiri atas tiga bait, dengan jumlah larik tak sama di tiap bait, ia tulis tahun 2012 atau berpuluh-puluh tahun setelah proses pengenalan-penghayatan (dalam hal ini terhadap diri) dia jalani (sejak Remmy menggauli sastra), misalnya, tak juga didapat jawaban perihal apa-siapa "aku", atau apasiapa "manusia". Boleh jadi di suatu waktu bagai sudah dikenali, tetapi usai itu tak, menjadi asing ia kembali sebab nyawa toh masih menghuni badan, kan? Begini Remmy mengungkapkan penghayatan terhadap diri atau terhadap "aku" itu, di dalam "Ziarah":
Kini aku ziarahi diriku kembali
di kubur pagi
sebelum matahari terbit
tubuhku pun dikafani
udara dingin,
aku memanggil menyebut
namaku sendiri
:"aku tak mengenalmu!"
aku pun tak lagi mengenal
batas malam dan siang
sebab mataku
tak bisa lagi terpejam
aku pun tak lagi mengenal
batas impian dan kenyataan
sebab langkahku
tak bisa lagi menapaki
jejakku sendiri
dan aku hanya dapat melumuri diriku
dengan taburan kelopak mawar
kaki dan kepalaku pun tumbuh nisan
tanpa namaku tertulis di situ
Dan memang, manusia tak akan pernah sampai di finis dalam mengenali diri, manusia lain, hidup-kehidupan, waktu, alam, serta sang Pencipta-karena keterbatasan yang la anugerahkan. Tetapi tak pula berarti upaya pengenalan/ penghayatan itu menjadi sia-sia. Justru dalam proses pengenalan/penghayatan yang intens, tiada henti, bersua kearifan, yang mendekatkan kita kepada yang tak akan pernah bisa kita capai itu. Atau dengan begitu sadar manusia bahwa ia makhluk terbatas. Ada kearifan yang tumbuh; dan oleh karenanya dadaku, dadamu, tak perlulah kita busung-busungkan amat penanda merasa lebih dibanding manusia lain. Hanya Dia Maha Sempuma.
Berikut ini sajak Remmy lainnya lagi, "Tanah Kelahiran", yang menyiratkan kearifan dalam menyikapi masa lampau ("mencatatnya dalam puisi yang tak pemah selesai") yang hilang, lenyap, dibawa sang Waktu tak jelas ke mana rimbanya atau, Anda tahu di mana masa lalu Anda, dam bisa menjalaninya lagi selain dalam sisa ingatan?:
Di lembang kenangan itu memanjang
Di antara punggung bukit tangkuban yang membayang
Di sini tanah kelahiran yang hilang
Di mana kanak-kanak itu sekarang?
Aku melenggang dalam kabut yang surut di pelataran hotel
Menggigil mengurut usia yang menegang
Jalan-jalan yang selalu basah memantulkan kenangan
Di sini telapak kaki-kaki kecilku berlarian
Mengejar sebuah dakocan hitam yang jatuh di atas
rumputan
Topi bulu yang kubeli di kaki gunung tangkuban
Tak juga dapat menghangatkan seluruh ingatan
Aku pun menjadi pelancong asing bagi diriku sendiri
Yang mencoba mencuri isi lemari dari masa lalu
Selebihnya, mencatatnya dalam puisi yang tak
pernah selesai
Lantas, macam mana dengan pengenalan/ penghayatan pada hidup dan kehidupan, pun manusia lain, di luar diri? Tema-tema ini dapat pula dijumpai pada sajak-sajak "Penari Topeng", "Fragmen", "Dongeng Kematian", "Perempuan Dalam Botol", serta sajak-sajak Remmy yang terdapat dalam antologi 35 penyair anggota Dapur Sastra Jakarta, "Pinangan (Teras Budaya, Jakarta, 2012). Berikut puisi "Fragmen sebagai misal:
selalu aku melihat senja di matamu
berlapis pelangi
seharusnya ada kupu-kupu di situ
dan lembah berbunga
"itu semusim yang lalu," katamu
bibirmu bergetar menahan gigil
tak lagi kutemukan seulas senyum di situ
yang ada hanya biru membeku
"ia sudah berlalu," bisikmu
dengan kalimat terlipat pada lidahmu
kepalamu tertunduk dalam
kemudian tengadah satu helaan nafas
dan melangkah...
(tak berpaling...)
Atau simak pulalah puisi "Dongeng Kematian"ini:
Hanya sebuah hotel, orang datang orang pergi
Dari kota-kota tak dikenal. Mengabarkan ajal
(Siapa yang terpelanting dari lantai tujuh,
Menyisakan teriakan di pelataran yang panas?)
Ada roh tiba-tiba menguap dari batu
Ada wajah mengering di atas debu
Tapi hujan tiba-tiba datang
Menyapu semua dongeng tentang kematian
Serta pengenalan/penghayatan terhadap sang Pencipta, dapat dijumpai di sajak-sajak "Perjamuan", "Jalan Putus", "Ketika Tuhan Bertengkar". Sajak Jalan Putus", yang ditulis Remmy tahun 1987 itu, dan yang saya kutip utuh di bawah ini, berangkat dari mimpi yang saya alami ketika itu-sewaktu proses religi dalam diri terasa meningkat-menggelisahkan. Mimpi itu saya ceritakan ke kawan-kawan, seperti saat kami kumpul di Balai Budaya, kantor Majalah "Horison" di Il Gereja Theresia, atau kawan-kawan yang tiba berkunjung ke kantor saya, Majalah "Anita", Tebet Barat Dalam VII. Salah seorang yang saya ceritakan mimpi itu adalah Remmy.
Beberapa waktu berselang saat jumpa lagi, Remmy ketawa-tawa. "Ini puisiku, Bang!" ia bilang. Saya baca. Dan kembali gemetar, seperti sewaktu mimpi itu dialami. Tetapi kiranya itu tak penting amat. Lebih penting dari itu, tak mungkin Remmy bisa menulis puisi itu (dan konon banyak dipuji pula), tanpa bermodalkan pengenalan/ penghayatan yang intens terhadap sang Pencipta dengan segala kebesaran rahasia-Nya. Mimpi saya itu hanyalah pencetus atau pembangkit, karena di dalam diri Remmy sendiri waktu itu niscaya tengah berlangsung atau meningkat pula proses pengenalan/ penghayatan itu. Seperti ini lengkapnya sajak tersebut:
JALAN PUTUS
-kepada Adek Alwi
Jalan putus dalam mimpi putus
Kemana diri akan pergi?
Subuh belum lagi ditabuh orang
Siapa mengabarkan ajal
Engkaukah?
Mengusung keranda waktu
Terkubur dalam kamar
Ziarahi diri sendiri
Pikirzikir takbir
Kajimengaji puji
:Allahuakbar!
Perjalanan ibadah
Membentangkan sajadah
Sampai...
***
Sajak-sajak Remmy Novaris DM, wabil khusus yang dia serahkan awal Juni lalu itu, bagi saya membawa haru, dalam arti tak melankolik tak cengeng namun menggugah; membangunkan yang tidur/lena di dalam diri. Dan saya pikir, hakikat sajak atau puisi-puisi yang baik demikian adanya. Hal itu terbangun tak hanya lantaran makna atau isi, juga dari bentuk atau cara ungkap/mengekspresikan. Paduan yang elok-kompak atawa solid-serasi dua unsur itulah yang memesona rasa (estetik) dan pikir kita -saat sebuah sajak yang baik/membawa haru tengah kita baca, bahkan usai dibaca.
Dan di dalam proses membangun bentuk/ cara ungkap itu Remmy berada di jalan yang dipelopori oleh Chairil Anwar-atau mungkin lebih tepat: tradisi yang dirintis Chairil dan "dibenahi" sana-sini oleh generasi setelah dia dengan mendayagunakan rupa-rupa tanda-baca macam titik-koma, titik-dua, tanda-petik, serta lain sebagainya (lihat Dami N Toda, Majalah "Horison" No.8 Agustus 1981 Thn XVI). Tradisi persajakan Chairil itu, kita tahu, bertumpu ke kekuatan kata -yang keampuhannya, disebut sang pelopor, macam "sinar rontgen yang menembus ke putih-tulang"
Oleh karena itu, diksi, pemilihan kata yang tepat, yang cermat, menjadi amat penting. Ingat sajalah bagaimana Chairil kemana-mana membawa-bawa sajak yang sedang dia tulis (konon menurut HB Jassin), dengan baju kusai tambah rambut acak-acakan pula, "hanya" untuk mendapatkan kata yang tepat-cermat bagi sajaknya. Namun, kita yang tak sempat jumpa dengan"binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang" ini, tak pelak pula, memang mewarisi sajak-sajak yang indah dahsyat dari sang pelopor itu.
Di sajak-sajak Remmy pun terkesan hal itu; terlihat pergulatan untuk memperoleh kata yang tepat, sekaligus pendayagunaan rupa-rupa tanda-baca tadi -meski untuk semua itu tak harus pulalah ia kusai-kusai baju juga bikin acak-acakan rambut. Pergulatan itu ia perbuat, ya untuk itu: menangkap isyarat-isyarat yang melintas dalam imajinasi lalu mewujudkannya jadi sajak, dalam rangka proses pengenalan/penghayatan yang terus pula hendak-nya meningkat intensitasnya, terhadap hidup dan kehidupan, alam, waktu, manusia juga diri, dan sang Pencipta.
Jika begitu simpulannya, memang tak elok kelewat terpatok selaku penyair hepi atawa penyair bahagid dalam artian abai terus menerbitkan kumpulan sajak sendiri. Karena, antologi yang memuat sajak-sajak yang lahir dari berbagai pengalaman batin itu, akan besar pula manfaatnya bagi manusia lain dalam upaya menikmatinya.
Jakarta, Minggu, 10 Juni 2012
oleh Adek Alwi
KAWACA.COM | Penyair hepi atawa bahagia, sadar bahwa sajak di negeri ini tak akan membawanya macam selebriti juga politisi, pun di negeri ini -yang digelimangi popularitas dan juga materi. Orientasi penyair bahagia atawa hepi juga tidak itu. Orientasi penyair bahagia hepi pengenalan/penghayatan yang intens pada hidup/kehidupan, waktu, alam, Tuhan, manusia serta diri -meski sadar selaku insan ia takkan tiba di pengenalan/penghayatan yang hakiki.
Meski tahu tak akan sampai di pengenalan/ penghayatan yang hakiki, penyair bahagia atawa penyair hepi tidak henti mengenali/menghayati. Sepenuh diri ia tujukan ke situ, sebab dengan begitu ia tangkap isyarat yang melintas dalam imajinasi; membentuknya jadi sajak. Dan nilainya terletak di situ.Pada proses pengenalan/ penghayatan yang tak henti dijalani, tercermin di dalam sajak-menyiratkan kearifan dalam keindahannya.
Remmy Novaris DM tergolong penyair serupa itu. Sejak SMA, akhir 1976, ia gauli sastra. Otomatis, tentu juga dia jalani proses pengenalan/ penghayatan terhadap tingkat. Puisi-puisi dia, cerpen dan lainnya bertebar di media massa, dan tidak henti hingga kini, di usianya ke-54. Keistikamahan di jalan sastra itulah yang menyebabkan dia di mata saya duduk di meja para penyair hepi atau penyair bahagia.
Hanya saja, ada tak eloknya kelewat terpatok selaku penyair hepi, dalam artian fokus saja ke pencarian atau pengenalan/penghayatan tadi, mengekspresikan di dalam sajak, namun abai menghimpunnya dalam buku. Karena riwayat karya, pun diri, kiranya laik pulalah diingat/ hargai. Dan Remmy Novaris, penyair hepi jenis itu: lalai menghimpun karya, menerbitkan kumpulan sajak. Ia fasih amat berucap "ya Bang" bila diingatkan, misalnya menjelang tahun 2000 ketika waktu saya rasa selalu melesat bergegas karena memimpin surat kabar yang terbit setiap hari, dan bila kami jumpa, sesekali, saya lalu ingat dana yang dapat diproduktifkan menerbitkan kumpulan sajak dia (serta Hardho Sayoko SPB, yang waktu itu berkelakuan serupa: enggan atau abai menerbitkan sajak dalam wujud buku; hepi amat tampaknya selaku penyair bahagia atawa penyair hepi).
Ironisnya lagi, di kasus Remmy, belakangan ia juga punya penerbit (non-profit). Teras Budaya ia beri nama. Sekian kumpulan sajak sudah terbit lewat penerbit ini. Dia yang tangani tata-letak, dia yang semua itu tadi, bertahap-tahap bertingkat bikin kover, urus cetakan, urus ISBN, dan lain sebagainya, dengan asyik, dengan khusyuk pula (Eh, bukankah ini juga bisa dibaca wujud lain dari "langkah" penyair bahagia?) Tetapi, itulah, tetap saja ia lalai menangani/menerbitkan kumpulan sajak sendiri, dan juga begitu dengan rekannya Foeza Hutabarat -sementara sobat mereka Hardho Sayoko SPB, sudah "sadar-insyaf" dengan menerbitkan antologi sajak "Penyair Negeri Rembulan", lewat Teras Budaya itu pula.
Jadi rada repot juga memang melacak sajak-sajak Remmy yang bertebaran di pelbagai media mana saja itu, plus di fesbook yang setiap saat pula dapat saya lihat (lantaran hidup, toh, tak cuma buat buka-buka fb), ataupun di antologi entah apa saja itu, untuk penulisan macam begini. Syukurlah, suatu hari awal Juni lalu, tak ada angin petir pun tak (walau syukur pula "Hujan Bulan Juni" Sapardi Djoko Damono nan sedap-nikmat itu tetap teringat), juga entah makhluk apa pula hinggap di kepalanya, mendadak saja dia serahkan beberapa sajak (yang umumnya bertahun cipta di atas tahun 2000), saat saya singgah ke rumah dia usai kasih ceramah perkara jurnalistik -sisi lain dari lakon kehidupan yangsaya jalani pula.
***
Tulisan ini pun jadinya tidak berangkat dari sebanyak-banyak sajak Remmy, hanya dari sejumlah sajak tadi itu. Tapi, meski dari sajak-sajak itu tadi saja, tetap bisa dilihat proses pengenalan/ penghayatan sang penyair ini terhadap pelbagai hal itu: manusia serta diri, alam, Tuhan, waktu, hidup dan kehidupan.
Di puisi "Ziarah" yang terdiri atas tiga bait, dengan jumlah larik tak sama di tiap bait, ia tulis tahun 2012 atau berpuluh-puluh tahun setelah proses pengenalan-penghayatan (dalam hal ini terhadap diri) dia jalani (sejak Remmy menggauli sastra), misalnya, tak juga didapat jawaban perihal apa-siapa "aku", atau apasiapa "manusia". Boleh jadi di suatu waktu bagai sudah dikenali, tetapi usai itu tak, menjadi asing ia kembali sebab nyawa toh masih menghuni badan, kan? Begini Remmy mengungkapkan penghayatan terhadap diri atau terhadap "aku" itu, di dalam "Ziarah":
Kini aku ziarahi diriku kembali
di kubur pagi
sebelum matahari terbit
tubuhku pun dikafani
udara dingin,
aku memanggil menyebut
namaku sendiri
:"aku tak mengenalmu!"
aku pun tak lagi mengenal
batas malam dan siang
sebab mataku
tak bisa lagi terpejam
aku pun tak lagi mengenal
batas impian dan kenyataan
sebab langkahku
tak bisa lagi menapaki
jejakku sendiri
dan aku hanya dapat melumuri diriku
dengan taburan kelopak mawar
kaki dan kepalaku pun tumbuh nisan
tanpa namaku tertulis di situ
Dan memang, manusia tak akan pernah sampai di finis dalam mengenali diri, manusia lain, hidup-kehidupan, waktu, alam, serta sang Pencipta-karena keterbatasan yang la anugerahkan. Tetapi tak pula berarti upaya pengenalan/ penghayatan itu menjadi sia-sia. Justru dalam proses pengenalan/penghayatan yang intens, tiada henti, bersua kearifan, yang mendekatkan kita kepada yang tak akan pernah bisa kita capai itu. Atau dengan begitu sadar manusia bahwa ia makhluk terbatas. Ada kearifan yang tumbuh; dan oleh karenanya dadaku, dadamu, tak perlulah kita busung-busungkan amat penanda merasa lebih dibanding manusia lain. Hanya Dia Maha Sempuma.
Berikut ini sajak Remmy lainnya lagi, "Tanah Kelahiran", yang menyiratkan kearifan dalam menyikapi masa lampau ("mencatatnya dalam puisi yang tak pemah selesai") yang hilang, lenyap, dibawa sang Waktu tak jelas ke mana rimbanya atau, Anda tahu di mana masa lalu Anda, dam bisa menjalaninya lagi selain dalam sisa ingatan?:
Di lembang kenangan itu memanjang
Di antara punggung bukit tangkuban yang membayang
Di sini tanah kelahiran yang hilang
Di mana kanak-kanak itu sekarang?
Aku melenggang dalam kabut yang surut di pelataran hotel
Menggigil mengurut usia yang menegang
Jalan-jalan yang selalu basah memantulkan kenangan
Di sini telapak kaki-kaki kecilku berlarian
Mengejar sebuah dakocan hitam yang jatuh di atas
rumputan
Topi bulu yang kubeli di kaki gunung tangkuban
Tak juga dapat menghangatkan seluruh ingatan
Aku pun menjadi pelancong asing bagi diriku sendiri
Yang mencoba mencuri isi lemari dari masa lalu
Selebihnya, mencatatnya dalam puisi yang tak
pernah selesai
Lantas, macam mana dengan pengenalan/ penghayatan pada hidup dan kehidupan, pun manusia lain, di luar diri? Tema-tema ini dapat pula dijumpai pada sajak-sajak "Penari Topeng", "Fragmen", "Dongeng Kematian", "Perempuan Dalam Botol", serta sajak-sajak Remmy yang terdapat dalam antologi 35 penyair anggota Dapur Sastra Jakarta, "Pinangan (Teras Budaya, Jakarta, 2012). Berikut puisi "Fragmen sebagai misal:
selalu aku melihat senja di matamu
berlapis pelangi
seharusnya ada kupu-kupu di situ
dan lembah berbunga
"itu semusim yang lalu," katamu
bibirmu bergetar menahan gigil
tak lagi kutemukan seulas senyum di situ
yang ada hanya biru membeku
"ia sudah berlalu," bisikmu
dengan kalimat terlipat pada lidahmu
kepalamu tertunduk dalam
kemudian tengadah satu helaan nafas
dan melangkah...
(tak berpaling...)
Atau simak pulalah puisi "Dongeng Kematian"ini:
Hanya sebuah hotel, orang datang orang pergi
Dari kota-kota tak dikenal. Mengabarkan ajal
(Siapa yang terpelanting dari lantai tujuh,
Menyisakan teriakan di pelataran yang panas?)
Ada roh tiba-tiba menguap dari batu
Ada wajah mengering di atas debu
Tapi hujan tiba-tiba datang
Menyapu semua dongeng tentang kematian
Serta pengenalan/penghayatan terhadap sang Pencipta, dapat dijumpai di sajak-sajak "Perjamuan", "Jalan Putus", "Ketika Tuhan Bertengkar". Sajak Jalan Putus", yang ditulis Remmy tahun 1987 itu, dan yang saya kutip utuh di bawah ini, berangkat dari mimpi yang saya alami ketika itu-sewaktu proses religi dalam diri terasa meningkat-menggelisahkan. Mimpi itu saya ceritakan ke kawan-kawan, seperti saat kami kumpul di Balai Budaya, kantor Majalah "Horison" di Il Gereja Theresia, atau kawan-kawan yang tiba berkunjung ke kantor saya, Majalah "Anita", Tebet Barat Dalam VII. Salah seorang yang saya ceritakan mimpi itu adalah Remmy.
Beberapa waktu berselang saat jumpa lagi, Remmy ketawa-tawa. "Ini puisiku, Bang!" ia bilang. Saya baca. Dan kembali gemetar, seperti sewaktu mimpi itu dialami. Tetapi kiranya itu tak penting amat. Lebih penting dari itu, tak mungkin Remmy bisa menulis puisi itu (dan konon banyak dipuji pula), tanpa bermodalkan pengenalan/ penghayatan yang intens terhadap sang Pencipta dengan segala kebesaran rahasia-Nya. Mimpi saya itu hanyalah pencetus atau pembangkit, karena di dalam diri Remmy sendiri waktu itu niscaya tengah berlangsung atau meningkat pula proses pengenalan/ penghayatan itu. Seperti ini lengkapnya sajak tersebut:
JALAN PUTUS
-kepada Adek Alwi
Jalan putus dalam mimpi putus
Kemana diri akan pergi?
Subuh belum lagi ditabuh orang
Siapa mengabarkan ajal
Engkaukah?
Mengusung keranda waktu
Terkubur dalam kamar
Ziarahi diri sendiri
Pikirzikir takbir
Kajimengaji puji
:Allahuakbar!
Perjalanan ibadah
Membentangkan sajadah
Sampai...
***
Sajak-sajak Remmy Novaris DM, wabil khusus yang dia serahkan awal Juni lalu itu, bagi saya membawa haru, dalam arti tak melankolik tak cengeng namun menggugah; membangunkan yang tidur/lena di dalam diri. Dan saya pikir, hakikat sajak atau puisi-puisi yang baik demikian adanya. Hal itu terbangun tak hanya lantaran makna atau isi, juga dari bentuk atau cara ungkap/mengekspresikan. Paduan yang elok-kompak atawa solid-serasi dua unsur itulah yang memesona rasa (estetik) dan pikir kita -saat sebuah sajak yang baik/membawa haru tengah kita baca, bahkan usai dibaca.
Dan di dalam proses membangun bentuk/ cara ungkap itu Remmy berada di jalan yang dipelopori oleh Chairil Anwar-atau mungkin lebih tepat: tradisi yang dirintis Chairil dan "dibenahi" sana-sini oleh generasi setelah dia dengan mendayagunakan rupa-rupa tanda-baca macam titik-koma, titik-dua, tanda-petik, serta lain sebagainya (lihat Dami N Toda, Majalah "Horison" No.8 Agustus 1981 Thn XVI). Tradisi persajakan Chairil itu, kita tahu, bertumpu ke kekuatan kata -yang keampuhannya, disebut sang pelopor, macam "sinar rontgen yang menembus ke putih-tulang"
Oleh karena itu, diksi, pemilihan kata yang tepat, yang cermat, menjadi amat penting. Ingat sajalah bagaimana Chairil kemana-mana membawa-bawa sajak yang sedang dia tulis (konon menurut HB Jassin), dengan baju kusai tambah rambut acak-acakan pula, "hanya" untuk mendapatkan kata yang tepat-cermat bagi sajaknya. Namun, kita yang tak sempat jumpa dengan"binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang" ini, tak pelak pula, memang mewarisi sajak-sajak yang indah dahsyat dari sang pelopor itu.
Di sajak-sajak Remmy pun terkesan hal itu; terlihat pergulatan untuk memperoleh kata yang tepat, sekaligus pendayagunaan rupa-rupa tanda-baca tadi -meski untuk semua itu tak harus pulalah ia kusai-kusai baju juga bikin acak-acakan rambut. Pergulatan itu ia perbuat, ya untuk itu: menangkap isyarat-isyarat yang melintas dalam imajinasi lalu mewujudkannya jadi sajak, dalam rangka proses pengenalan/penghayatan yang terus pula hendak-nya meningkat intensitasnya, terhadap hidup dan kehidupan, alam, waktu, manusia juga diri, dan sang Pencipta.
Jika begitu simpulannya, memang tak elok kelewat terpatok selaku penyair hepi atawa penyair bahagid dalam artian abai terus menerbitkan kumpulan sajak sendiri. Karena, antologi yang memuat sajak-sajak yang lahir dari berbagai pengalaman batin itu, akan besar pula manfaatnya bagi manusia lain dalam upaya menikmatinya.
Jakarta, Minggu, 10 Juni 2012