Target dari Masyarakat untuk yang Berumur 25 Tahun
Target dari Masyarakat untuk yang Berumur 25 Tahun
oleh Shela Kusumaningtyas
KAWACA.COM | Entah mengapa, undangan pernikahan teman silih-berganti menghampiri rumah atau bertengger di pesan media sosial saya. Tenang, saya justru berbahagia karena teman-teman saya akhirnya menjalani fase baru dalam hidup, berkomitmen dengan pasangan.
Lantas, banyak celetukan yang turut menanggapi banyaknya undangan yang saya terima. Mungkin memang lagi musim menikah karena bagi beberapa orang, ada waktu-waktu tertentu yang dianggap baik untuk melangsungkan sebuah ikrar suci pernikahan. Faktor lain mengapa saya mendapatkan banyak undangan pernikahan dari teman semasa masih bocah TK hingga teman kerja karena memang saya memasuki umur yang dinilai tepat untuk menjalani pernikahan.
Maka tidak mengherankan kalau teman-teman mengundang saya hadir ke resepsi atau akad nikah mereka.
Tentu saja, saya akan diberondong pertanyaan tentang kapan akan menyusul menikah. Jika saya menjawab, belum berkeinginan menikah; sudah bisa dipastikan respons berikutnya dari lawan bicara tersebut. Mereka langsung menghujani saya serentetan pemahaman bahwa menikah tidak usah ditunda-tunda. Apalagi buat perempuan. Sudah seharusnya, perempuan yang berusia seperempat abad memiliki pasangan dan berniat melangkah ke jenjang serius.
Sungguh aneh, kami yang berusia 25 tahun seolah jadi sasaran empuk atas konstruksi yang dibangun masyarakat. Semua orang terdekat bahkan kerap membandingkan pencapaian kita dengan sebaya. Misalnya, teman kita sudah dikarunia bayi lucu. Sementara kita masih asyik mengurusi kura-kura yang kelaparan karena seharian ditinggal bekerja. Tentu kita juga melihat sendiri faktanya bahwa usia 25 tahun dilalui dengan berbeda oleh kita dan teman-teman lainnya. Ada yang sedang merangkak merintis karier, ada yang sudah menyandang status sebagai manajer atau pendiri usaha. Ada yang masih sibuk menyelesaikan skripsi untuk merampungkan gelar S1, ada yang sedang bersiap memulai pendidikan S3. Ada yang patah hati berulang kali hingga memutuskan untuk tidak menikah dulu. Ada pula yang tengah mereguk kebahagiaan bulan madu.
Pasti kita juga kerap menjumpai kasus begini. Ada yang mengeluh gajinya sebatas dua digit. Sementara ada yang penuh syukur karena berhasil mengentaskan anak-anak dari buta huruf di pedalaman. Padahal, bayaran yang diterima tidak seberapa.
Tenang saja, tidak usah panik kalau misal kita belum mencapai titik seperti orang-orang. Hidup bukan perlombaan. Setiap orang menjalani fasenya sendiri-sendiri. Apalagi kita tidak pernah tahu, seberapa besar perjuangan yang harus ditebus seseorang untuk meraih semua yang berhasil ia genggam di usia 25 tahun. Kita pun tentu telah melalui banyak masalah yang semakin menguatkan diri dalam menapaki hari.
Tepis semua keraguan dan tetap yakin bahwa kebahagiaan tiap individu bersumber dari diri sendiri. Bukan dengan mengukur kelayakan raihan orang.
Tutup telinga semisal masih mendengar ocehan nyinyir yang mengorek pencapaian kita. Biarkan dan saatnya membuktikan bahwa kita akan segera menorehkan kesuksesan versi kita. Bebaskan diri ini dari rasa iri dengki yang tidak berguna. Lebih baik fokus mengejar mimpi dan nikmati setiap prosesnya.
Jangan terjerat pada target-target yang dirancang masyarakat. Hanya diri ini yang berhak menentukan setiap keputusan yang diambil. Jangan mematok kebahagiaan dari luar diri. Akan bikin kesal dan mudah tersulut emosi kalau tidak berhasil mewujudkannya.
Lantas, mengapa orang gemar menuntut seseorang harus mencapai ini itu di rentang waktu tertentu? Karena sedari kecil kita dididik menjadi seragam. Ingatkah kita kalau dulu untuk masuk sebuah jenjang pendidikan, ada aturan batas usia yang harus ditepati. Lalu lamanya waktu menempuh studi juga telah ditentukan, hingga bangku SMA.
Dari mulai pakaian hingga pelajaran yang didapat juga sama seperti murid pada umumnya.
Keseragaman ini berlangsung hingga kita lulus SMA. Kebiasaan yang selalu bersama-sama teman, harus dihentikan saat kuliah.
Kuliah mulai menempa pribadi seseorang. Kita dituntut menjadi pribadi mandiri. Dosen hanya memberikan panduan materi. Untuk selanjutnya dipelajari sendiri.
Lagipula, semasa kuliah, seseorang seakan lepas dari sangkar yang mengurungnya ketika sekolah. Ada yang memilih aktif berorganisasi. Ada yang sibuk mengikuti kompetisi. Ada yang mulai berani membuka usaha. Ada yang masih menyesali keputusan mengambil jurusan kuliah. Bermacam masalah mulai menimpa dan terasa lebih berat. Inilah permulaan dari masa-masa usia 20-an yang terus berlanjut.
Makanya, jalan hidup seseorang mulai terlihat berbeda. Jadi, mulai sekarang harus berempati. Kadang kita tahu bagaimana beratnya masalah seseorang. Meski terlihat tidak ada apa-apa, bisa jadi orang tersebut memikul beban berat dan menyembunyikannya. Makanya, tahan diri untuk berkomentar. Latih diri agar tidak buru-buru menghakimi seseorang. Misalnya kenapa ia tidak lulus kuliah tepat empat tahun. Pernahkah kita tahu bagaimana ia harus berkuliah sambil bekerja menyambung hidup? Atau jangan-jangan, ada satu semester yang ia habiskan untuk merawat ibunya yang sakit. Banyak hal yang melatari jalan hidup seseorang. Sehingga lebih baik tidak usah ikut campur.***
Shela Kusumaningtyas, lahir di Kendal, 24 November 1994. Suka membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarananya untuk mengabadikan berbagai hal sekaligus melatih diri untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Karyanya berupa puisi, opini, dan feature pernah dimuat di berbagai media massa, seperti Detik, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Tribun Jateng, Bangka Pos, Bali Pos, Radar Lampung, Malang Voice, dan Koran Sindo. Bukunya yang sudah terbit, Racau (puisi), Gelisah Membuah (esai). Kontak: shelakusumaningtyas@gmail.com
oleh Shela Kusumaningtyas
KAWACA.COM | Entah mengapa, undangan pernikahan teman silih-berganti menghampiri rumah atau bertengger di pesan media sosial saya. Tenang, saya justru berbahagia karena teman-teman saya akhirnya menjalani fase baru dalam hidup, berkomitmen dengan pasangan.
Lantas, banyak celetukan yang turut menanggapi banyaknya undangan yang saya terima. Mungkin memang lagi musim menikah karena bagi beberapa orang, ada waktu-waktu tertentu yang dianggap baik untuk melangsungkan sebuah ikrar suci pernikahan. Faktor lain mengapa saya mendapatkan banyak undangan pernikahan dari teman semasa masih bocah TK hingga teman kerja karena memang saya memasuki umur yang dinilai tepat untuk menjalani pernikahan.
Maka tidak mengherankan kalau teman-teman mengundang saya hadir ke resepsi atau akad nikah mereka.
Tentu saja, saya akan diberondong pertanyaan tentang kapan akan menyusul menikah. Jika saya menjawab, belum berkeinginan menikah; sudah bisa dipastikan respons berikutnya dari lawan bicara tersebut. Mereka langsung menghujani saya serentetan pemahaman bahwa menikah tidak usah ditunda-tunda. Apalagi buat perempuan. Sudah seharusnya, perempuan yang berusia seperempat abad memiliki pasangan dan berniat melangkah ke jenjang serius.
Sungguh aneh, kami yang berusia 25 tahun seolah jadi sasaran empuk atas konstruksi yang dibangun masyarakat. Semua orang terdekat bahkan kerap membandingkan pencapaian kita dengan sebaya. Misalnya, teman kita sudah dikarunia bayi lucu. Sementara kita masih asyik mengurusi kura-kura yang kelaparan karena seharian ditinggal bekerja. Tentu kita juga melihat sendiri faktanya bahwa usia 25 tahun dilalui dengan berbeda oleh kita dan teman-teman lainnya. Ada yang sedang merangkak merintis karier, ada yang sudah menyandang status sebagai manajer atau pendiri usaha. Ada yang masih sibuk menyelesaikan skripsi untuk merampungkan gelar S1, ada yang sedang bersiap memulai pendidikan S3. Ada yang patah hati berulang kali hingga memutuskan untuk tidak menikah dulu. Ada pula yang tengah mereguk kebahagiaan bulan madu.
Pasti kita juga kerap menjumpai kasus begini. Ada yang mengeluh gajinya sebatas dua digit. Sementara ada yang penuh syukur karena berhasil mengentaskan anak-anak dari buta huruf di pedalaman. Padahal, bayaran yang diterima tidak seberapa.
Tenang saja, tidak usah panik kalau misal kita belum mencapai titik seperti orang-orang. Hidup bukan perlombaan. Setiap orang menjalani fasenya sendiri-sendiri. Apalagi kita tidak pernah tahu, seberapa besar perjuangan yang harus ditebus seseorang untuk meraih semua yang berhasil ia genggam di usia 25 tahun. Kita pun tentu telah melalui banyak masalah yang semakin menguatkan diri dalam menapaki hari.
Tepis semua keraguan dan tetap yakin bahwa kebahagiaan tiap individu bersumber dari diri sendiri. Bukan dengan mengukur kelayakan raihan orang.
Tutup telinga semisal masih mendengar ocehan nyinyir yang mengorek pencapaian kita. Biarkan dan saatnya membuktikan bahwa kita akan segera menorehkan kesuksesan versi kita. Bebaskan diri ini dari rasa iri dengki yang tidak berguna. Lebih baik fokus mengejar mimpi dan nikmati setiap prosesnya.
Jangan terjerat pada target-target yang dirancang masyarakat. Hanya diri ini yang berhak menentukan setiap keputusan yang diambil. Jangan mematok kebahagiaan dari luar diri. Akan bikin kesal dan mudah tersulut emosi kalau tidak berhasil mewujudkannya.
Lantas, mengapa orang gemar menuntut seseorang harus mencapai ini itu di rentang waktu tertentu? Karena sedari kecil kita dididik menjadi seragam. Ingatkah kita kalau dulu untuk masuk sebuah jenjang pendidikan, ada aturan batas usia yang harus ditepati. Lalu lamanya waktu menempuh studi juga telah ditentukan, hingga bangku SMA.
Dari mulai pakaian hingga pelajaran yang didapat juga sama seperti murid pada umumnya.
Keseragaman ini berlangsung hingga kita lulus SMA. Kebiasaan yang selalu bersama-sama teman, harus dihentikan saat kuliah.
Kuliah mulai menempa pribadi seseorang. Kita dituntut menjadi pribadi mandiri. Dosen hanya memberikan panduan materi. Untuk selanjutnya dipelajari sendiri.
Lagipula, semasa kuliah, seseorang seakan lepas dari sangkar yang mengurungnya ketika sekolah. Ada yang memilih aktif berorganisasi. Ada yang sibuk mengikuti kompetisi. Ada yang mulai berani membuka usaha. Ada yang masih menyesali keputusan mengambil jurusan kuliah. Bermacam masalah mulai menimpa dan terasa lebih berat. Inilah permulaan dari masa-masa usia 20-an yang terus berlanjut.
Makanya, jalan hidup seseorang mulai terlihat berbeda. Jadi, mulai sekarang harus berempati. Kadang kita tahu bagaimana beratnya masalah seseorang. Meski terlihat tidak ada apa-apa, bisa jadi orang tersebut memikul beban berat dan menyembunyikannya. Makanya, tahan diri untuk berkomentar. Latih diri agar tidak buru-buru menghakimi seseorang. Misalnya kenapa ia tidak lulus kuliah tepat empat tahun. Pernahkah kita tahu bagaimana ia harus berkuliah sambil bekerja menyambung hidup? Atau jangan-jangan, ada satu semester yang ia habiskan untuk merawat ibunya yang sakit. Banyak hal yang melatari jalan hidup seseorang. Sehingga lebih baik tidak usah ikut campur.***
Shela Kusumaningtyas, lahir di Kendal, 24 November 1994. Suka membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarananya untuk mengabadikan berbagai hal sekaligus melatih diri untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Karyanya berupa puisi, opini, dan feature pernah dimuat di berbagai media massa, seperti Detik, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Tribun Jateng, Bangka Pos, Bali Pos, Radar Lampung, Malang Voice, dan Koran Sindo. Bukunya yang sudah terbit, Racau (puisi), Gelisah Membuah (esai). Kontak: shelakusumaningtyas@gmail.com