Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Riwayat Kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim

Riwayat Kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim

Riwayat Kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim
Riwayat Kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim

Menjaga “Tradisi” Kreativitas


KAWACA.COM | Abdul Kadir Ibrahim (Akib) sebagai satu di antara penyair Indonesia modern (mutakhir), sudah berkiprah dalam kepenyairan ketika masih belia, tatkala di bangku Madrasah Aliah Negeri (MAN) I, di Pekanbaru, Riau dalam tahun 1985. Akib memulai kiprahnya di bidang sastra, dengan menulis cerita dan skenario teater untuk dipentaskan sekolahnya. Di samping karya sendiri, dia juga menulis skenario dari novel karya sastrawan Indonesia, yang antara lain karya Hamka “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Selanjutnya dia menulis cerpen dan puisi, yang dibacakan di sekolahnya dan dipublikasikan di beberapa radio dan koran lokal di Pekanbaru. Kemudian aktif di kegiatan teater dan memperkuat beberapa kali pementasan teater di Pekanbaru dan PadangSumatera Barat. Menjadi wartawan. Terus merambah dan hendak menggapai ke kenikmatan-kenikmatan suatu karya sastra. Berproses. Lalu, menjadi!


Bukti kepenyairannya “yang tidak main-main” dan “samasekali bukan sekedar ikut-ikutan”, maka terbitlah buku kumpulan puisinya yang sulung 66 menguak (Bengkel Teater Bersama, Pekanbaru, 1991). Kumpualan puisi ini, benar-benar menjadi tonggak penting kepenyairan Akib dan sekaligus juga bagi pertumbuh-kembangan kepenyairan di tanah Melayu dan Indonesia. Buku ini mendapat sambutan positif di tengah pertumbuh-kembangan kepenyairan di Pekanbaru-Riau. Adalah budayawan Melayu dari Riau, UU Hamidy dalam tulisannya berjudul “Menguak Lintasan Metafor Kumpulan Puisi Abdul Kadir Ibrahim”, yang mengatakan, bahwa didapati, pada penghujung tahun 1980-an belantara budaya Melayu—mendedahkan Abdul Kadir Ibrahim dalam usia 25 tahun sebagai seorang penyair. Pucuk kemunculan dan kedatangannya dalam dunia perpuisian di Riau, dan umumnya Indonesia niscayalah menggembirakan. Pertama, dia telah memperkaya citra perpuisian Melayu di Riau khususnya (dan di Indonesia umumnya) sehingga yang kedua, dia secara numeral menambah jumlah deretam nama sastrawan dan penyair di belahan Riau. Dia juga kelihatan membuat lintasan di antara beberapa penyair pendahulunya, sehingga penerokaannya yang tekun dalam menjelajahi dunia puisi Melayu. Napas puisi penyair Abdul Kadir Ibrahim menggapai beberapa arah filosofis religius— hal ini dapat menjadi bekal baginya dalam perjalanan panjang sebagai seorang penyair dan hamba Tuhan (UU. Hamidy: Bahasa Melayu dan Kreativitas Sastra di Daerah Riau, Unri Press, Pekanbaru, 1994).




Dan, hampir 14 tahun kemudian barulah Akib menerbitkan kembali kumpulan puisi yang kedua berjudul negeri airmata (Unri Press, Pekanbaru, 2004). Buku kumpulan puisi ini, diluncurkan dan dibincangkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakrta (2004)— yang ditaja oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan diterajui oleh Maman S Mahayana, Agus R Sarjono dan Jamal D Rahman— dengan pembicara Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Waktu itu Akib membaca sejumlah puisinya, yang juga bersama penyair Junewal Muchtar (Lawen) yang membacakan beberapa puisinya pula. Buku kumpulan puisi yang kedua tersebut, dikatakan Akib sebagai “menjawab tantangan” UU Hamidy dan sastrawan Taufik Ikram Jamil, yang sepertinya masih “tidak puas” sangat berharap banyak ada “gebrakan dan lompatan besar” untuk menggubah puisi-puisi selanjutnya, bila ditilik dari kumpulan puisi pertama 66 menguak yang terbit perdana itu.


Adalah hingga tahun 2019 (sudah 34 tahun) Abdul Kadir Ibrahim tetap aktif-produktif menulis dan menyelenggarakan atau mengikuti kegiatan seni lainnya. Satu di antara perhelatan akbar bertaraf nasional yang “monumental” adalah ketika Akib menjadi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, bertindak sebagai Penanggungjawab dan Ketua Pelaksana Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III, di Tanjungpinang, Kepulauan Riau (2010), yang menurut mayoritas pemakalah dan peserta perhelatan “gawai sastra” itu sukses besar!Akib, adalah sastrawan Indonesia yang tak hanya menulis puisi, tetapi sekaligus menulis cerita pendek, novel, esai bahasa, sastra, budaya, seni, agama, politik dan lainnya. Dalam kesehariannya di samping menjadi pejabat, juga aktif sebagai Imam Shalat Fardhu di Masjid dan Ustad yang berceramah di berbagai kesempatan.


Kiprah Akib dalam dunia sastra, khasnya puisi, sebagaimana diungkapkan Raudal Tanjung Banua, yang dikenal sebagai salah seorang sastrawan berusia relatif muda, dan terkemuka di Indonesia (Nusantara), dalam catatannya untuk buku kumpulan puisi Abdul Kadir Ibrahim Mantra Cinta (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2013) adalah penyair yang berproses dengan gigih dalam melahirkan puisi-puisinya. Ini dapat diamati “rekam-jejak” atau “latar” perjalanan kepengarangannya sejak awal dalam tahun 1980-an sehingga dewasa ini. Bagaimana diketahui dan dipahami, di mana sejak semula jadi, sastra Indonesia, khususnya puisi, diramaikan oleh berbagai bentuk pencarian dan pengucapan estetik, pengolahan bentuk, hingga penggalian nilai-nilai tempatnya tumbuh. Hal ini dilakukan terus-menerus oleh para kreator kita yang gigih, berkesinambungan dari generasi ke generasi. Pada beberapa titik, pencarian dan pengolahan itu membuahkan sejumlah fenomena, baik menyangkut unsur instrinsik maupun unsur ekstrinsik, kadang memantik kontroversi, meski tak jarang pula berhenti sebagai sensasi. Apapun, ruang eksprimentasi telah memberi kemungkinan pada pencapaian yang ditorehkan sejumlah penyair pada masanya. Menariknya, dalam proses tersebut, spirit tradisi yang menjadi latar ekstrinsik masing-masing penyair, berhasil diangkat ke tataran instrinsik yang mewarnai khazanah sastra modern Indonesia yang kemudian memicu munculnya wacana muatan lokal atau lokalitas dalam sastra Indonesia. Atau sastra (yang) kembali ke akar, kembali ke sumber sebagaimana diusung Abdul Hadi WM.


Abdul Kadir Ibrahim atau akrab disapa Akib, jelas Raudal Tanjung Banua, merupakan salah seorang penyair tanah air (Indonesia) yang berada di kisaran wacana dan fenomena yang disebutkan. Puisinya berupaya bermuka-muka dengan tradisi tempatan, yakni tradisi Melayu Riau, yang capaian estetiknya antara lain ditandai khazanah pantun, gurindam, hingga mantra. Tentu saja khazanah tersebut bukan hanya milik Melayu, namun harus diakui, dalam tamadun Melayu, pantun, gurindam pun mantra, memiliki aksentuasi dan muatannya sendiri. Salah sebuahnya ialah kekentalannya dengan nafas Islam.


Dari latar ini, bentuk dan isi, urai Raudal Tanjung Banua yang dikenal tersohor sebagai salah seorang cerpenis Indonesia mutakhir, puisi-puisi Akib bertolak dan bermuara. Pantun dan gurindam misalnya, dalam beberapa sajak memang digubah Akib dalam batas konvensional (selayaknya pantun dan gurindam tradisional). Namun di bagian lain gubahannya terasa sangat bebas dan eksprimental sehingga tidak hanya berpengaruh pada tipografi, juga pengucapan, dan tentu saja makna. Jejak pencarian dan upaya eksprimentasinya kian terlihat, jika bukan memuncak, dalam sajak yang bertolak dari mantra. Tipografinya terlihat acak, selayaknya mantra yang diasosiasikan “liar”. Tapi jika dihayati dengan mata batin, dalam tampilan yang acak itu, sebenarnya ada benang merah yang membuatnya tertib rapi. Kita bisa melihat unsur-unsur simetris dari larik dan bait yang membentuk tipografi tetap dipertahankan. Semacam ruh harmoni dalam disharmoni. Begitu pula isi. Rujukan nilai-nilai islami menjadi muatan yang membuat mantra modern Akib kontekstual, terkadang juga normatif.


Menyikapi “sejarah dunia literasi Akib”, Budayawan Malayu, tokoh pers nasional, dan sastrawan Rida K Liamsi, selaku Ketua Dewan Pembina Sagang, menegaskan tentang alasan sehingga Akib diganjar dengan sebuah anugerah seni-sastra, yakni Anugerah Sagang Seniman Serantau tahun 2013. Ditabalkannya Anugerah tersebut kepada Abdul Kadir Ibrahim, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Mengapa?! Karena Akib, seorang yang sejak kecil sudah menggeluti dunia seni—anak band, dengan keahlian memainkan gitar—ini meskipun setelah ia masuk dalam jajaran birokrat di Pemerintah Kota Tanjungpinang namun kifrahnya di bidang seni budaya tak luntur. Terbukti dari keseriusannya dalam keterlibatan sebagai penggagas event budaya, ia juga masih aktif menulis dan produktif menerbitkannya. (Riau Pos, Sabtu, 9 November 2013/ ERDEKA.Com, Minggu, 17 November 2013).


Sebagai ikhtiar tetap dalam peran “peneraju literasi” maka dalam tahun 2017, Abdul Kadir Ibrahim menjadi satu di antara ratusan sastrawan Indonesia yang ikut Musyawarah Sastrawan Indonesia (MUNSI) II, di Jakarta, 18-20 Juli 2017. Dalam perhelatan akbar bertaraf nasional itu antara lain tampak juga Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, dan sastrawan senior Abdul Hadi WM, Rida K. Liamsi, Joserizal Manua, Darman Moenir, LK Ara, dan lain-lain. Dalam perhelatan nasional itu, menghadirkan sejumpah pemakalah dengan beragam topik seputar sastra Indonesia. Salah seorang Pemakalah, yakni Prof. Dr. Suminto A. Sayuti membincangkan “Kultur-etnik dalam Sastra Kita: Terminal Keberangkatan dan Kembali”, yang antara lain menuliskan tentang peran Abdul Kadir Ibrahim dalam khazanah puisi Indonesia modern dari dan kembali ke etnik.


Selepas ikut MUNSI II, Akib menyertai pula Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara Majelis Sastra Asia Tenggara, di Jakarta, 11-12 September 2017 dengan tema “Teori dan Kritik Sastra Lokal (Sastra Tempatan)”. Pemakalah dari perwakilan negara-negara Asia Tenggara ditampilkan. Adalah satu di antara memakalah dalam perhelatan internasional itu Prof. Dr. Suminto A. Sayuti membentangkan makalah dengan tajuk “Lokalitas (dalam) Sastra Indonesia: Beberapa Kemungkinan”. Antara lain menjelaskan sebagai contoh nyata, konkrit karya sastra, khususnya puisi yang “mengusung sastra tempatan” antara lain telah dilakukan oleh Abdul Kadir Ibrahim sebagai generasi Melayu yang berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah. Dari Jawa Gunawan Muhammad berbeda dengan Subagio Sastrowardoyo. Linus Suryadi berbeda dengan Umar Kayam, dan sama-sama dari Madura Abdul Hadi, Zamawi Imran berbeda dengan Jamal D Rahman ataupun Mahwi Air Tawar dan seterusnya.


Dalam perhelatan Majelis Sastra negara-negara ASEAN itu, tepatnya pada malam kesenian, hanya tampil dua pergelaran kesenian, yakni Pembacaan Puisi tunggal oleh Abdul Kadir Ibrahim dan Pementasan Teater oleh ISI-Surakarta. Akib membaca tiga puisi dari kumpulan puisi Doa mekar Cinta mekar Laut mekar Langit. Selepas itu, Akib ikut beberapa perhelatan pembacaan puisi secara nasional dan internasional, baik di Kepulauan Riau maupun di beberapa kota, antara lain Jakarta.


Sebagai seorang birokrat di daerah, tepatnya di jajaran Pemerintah Kota Tanjungpinang, Akib tetap tunak dengan tradisi kepengarangannya. Untuk itu dia mesti pandai-pandai “mencuri waktu” sehingga aktivitas kepengarangan tidak mengganggu tugas dan tanggungjawab sebagai aparatur sipil negera dan demikian juga sebaliknya. Akib yang juga Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Provinsi Kepulauan Riau, aktif pula dalam pelestarian, pembinaan dan pengembangan tradisi lisan di Kepulauan Riau, dan Indonesia. Bersama Ketua ATL Indonesia Prof. Dr. Pudentia dan Pembina ATL Indonesia Dr. Mukhlis PaEne serta Abdul Malik dan Raja Malik Hafrizal, sepanjang tahun 2015-2017 telah menyiapkan naskah sinopsis beberapa tradisi dan tradisi lisan untuk diusulkan menjadi warisan nasional. Antara lain, Pantun, Gurindam Dua Belas, Gazal, Dang Kung, Mak Yong, Mendu, Zapin, Gobang, dan lain-lain yang sebagian besar sudah ditetapkan menjadi Warisan Nasional.


Dalam tahun 2017, Akib bersama Abdul Malik dan Raja Malik Hafrizal dipilih oleh ATL Indonesia dan Masyarakat Sejarawan Indonesia sebagai narasumber tutur dalam pembuatan Film Dokumenter Arus-Balik Melayu-Bugis yang berkenaan dengan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, terutama keberadaan Daeng Marewah, Daeng Celak, Raja Haji dan Sultan Mahmud Riayat Syah dengan Pulau Penyengat bersama Engku Puteri Raja Hamidah. Film ini ditayangkan atas kerjasama dengan Kementerian Kebudayaan RI dalam tahun 2018. Sejak tahun 2014, Akib juga dilibatkan oleh Lembaga Sensor Film Indonesia sebagai narasumber (pemakalah) dalam pembentukan Lembaga Sensor Film Daerah Provinsi Kepulauan Riau dan sosialisasi “Swa Sensor Film”.


Akib dalam ketepatannya “mencuri waktu” dapat ikut bersama sejumlah pemakalah dari dalam dan luar negeri (Amerika Serikat, Australia, Filipina dan Malaysia) untuk Seminar Internasional Lisan X “Memory and Tradition for Better Future”, Mataram, Nusa Tenggaran Barat, 25-28 Oktober 2017. Adapun judul makalahnya: “Mengungkai Tradisi Lisan Tumbuhkan Toleransi Keberagaman”, yang pada intinya menjelaskan sastra lisan Melayu-Kepulauan Riau, Indonesia, yakni mantra, sapah-serapah, pantun, ungkapan melayu lama, dan pantang-mali (pantang larang) menjadi arus darah kehidupan orang Melayu, yang dengan tradisi itu juga berkaitan dengan lahirnya dan berkembangnya sastra MelayuIndonesia modern, terutama di tangan Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Rida K Liamsi serta beberapa penyair di Riau dan Kepulauan Riau di belakangnya.


Dalam tahun 2017 Akib bersama-sama teman-teman penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura menerbitkan antologi puisi “khas FB”, yang di antaranya Api (Majalah Hudan, Majalah Sastra Maya dan Tulus Pustaka, Cimahi, Jawa Barat, September 2017). Suatu yang paling monumental, Abdul Kadir Ibrahim (Wakil Ketua) bersama Abdul Malik (Ketua), Mukhlis PaEne, Susanto Zuhdi, Didik Pradjoko, Ina Mirawati, Raja Malik Hafrizal, Suarman, Rida K Liamsi, Kamarul Zaman dan Lazuardy—yang menyusun naskah akademik Perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) dalam “Strategi Gerilya Laut melawan Belanda & Inggris (17871795)”—berhasil mengantarkan Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud III) diangkat oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Pahlawan Nasional, pada November 2017!


Pada 15-20 Februari 2019 Akib bersama Agus R Sarjono (Pimpinan Delegasi), Joni Ariadinata, Tatang Abdullah dan Irsyad Muhammad memenuhi undangan (jemputan) Festival Puisi Internasional di Vietnam. Pada perhelatan4 Th international Conference Promoting Vietnamese Literature & The 3 Rd International Poetry Festival, Hanoi-Quang Ninh, Vietnam itu diikuti penyair yang mewakili lebih 50 negara yang berasal dari Asean, Asia, Afrika, Amerika, Australia, dan Erofa. Dalam serangkaian parade baca puisi penyair-penyair dunia tersebut, Akib tampil membaca puisinya.


Torehan dalam Kepenyairan Indonesia


Akib adalah anak laut! Dia, dilahirkan dan pada masa kanakkanaknya “bersemayam” bersigau di Bunguran, Natuna, Kepulauan Riau. Setelah berkeluarga akhirnya menetap di MidaiNatuna dan kemudian di Tanjungpinang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Menulis puisi, baginya adalah “amanat laut” yang mesti dibendangkan secara luas, molek, sergam, sanggam dan pukau sehingga “terasa/ berasa” bagi dirinya sendiri sehingga manyauk ke sum-sum dan sesiapa saja yang membaca dan mendengarnya.


Bila dikaitkan puisi-puisi Akib dengan laut atau sebaliknya, sungguh tidak asing. Laut telah menjadi pengucapannya yang khas dalam menulis puisi. Tentang laut dimaksud, sebenarnya puisipuisi Akib—yang terhimpun dalam buku kumpulan puisinya yang sulung menguak (1991), negeri airmata (2004), nadi hang tuah (2010), mantra cinta (2012), doa cinta mekar laut langit (2017), dan kumpulan Jikalau Laut Dinyalakan, ini serta di dalam berbagai antologi puisi—memang sudah kentara atau dominan sekali. Ini dapat dimengerti, karena dia memang “orang laut” di Pulau Natuna (Kawasan Pulau Tujuh), Kepulauan Riau. Yang menjadi penting adalah Akib di dalam menulis puisi telah mengambil laut sedemikian rupa, cermat dan menukik sehingga puisi-puisinya benar-benar menciri dan mencitrakan laut (bahari/ maritim) secara luas dan mendalam. Dia seolah telah bersebati dengan laut dan sebaliknya laut dengan dirinya sendiri.Debur, desau dan debar laut dalam dirinya!


Akademisi Dr. Ahmad Badrun (2007) dalam tulisannya “Akib yang Bertutur dan Bermistik” menyebutkan Akib telah menciptakan puisi-puisi berkaitan dengan laut sedemikian mencolok—dimensi kemistikan—sebagai seorang yang hidup di daerah kepulauan. Hidup dan tinggal di daerah kepulauan tidak semudah hidup di daerah daratan (pulau) yang luas. Setiap hari orang harus berhubungan dengan dan menantang laut. Perjalanan dari satu pulau ke pulau lainnya adalah sesuatu yang menantang dan kalau kapal atau perahu yang ditumpangi karam, habislah riwayatnya. Gambaran seperti itulah yang terlihat pada bentukbentuk atau tipografi sajak Akib. Tipografi sajak Akib, kalau boleh saya katakan adalah mirip dengan perjalanan kapal yang menantang gelombang: lurus dan berbelok-belok (Penyelenggara Joni Ariadinata: Abdul Kadir Ibrahim Penyair Cakrawala Sastra Indonesia, Akar Indonesia, Yogyakarta, 2008).


Penyair, dan Budayawan Rida K Liamsi (2019) dalam pendapat singkatnya sebagai Indorsment buku “Jikalau Laut Dinyalakan”, ini menegaskan, puisi-puisi Akib adalah laut dengan sejuta misterinya. Laut dan sejuta misterinya, adalah darah dan nadi puisi Abdul Kadir Ibrahim. Dari deru gelombang, dari oleng kolek dan sampan, dia menimba inspirasi untuk puisi-puisinya. Karena itu puisi-puisinya seperti deru ombak, seperti deru angin. Bernyanyi dan menggelegar. Bukan hanya pada diksi dan pilihan metafornya, tapi juga dalam bentuk dan tipograpi puisi-puisinya. Akib begitu panggilan akrab Abdul Kadir Ibrahim, karena itu singkatan namanya, juga sangat Melayu. Dia lahir di gugusan Pulau Tujuh (Anambas dan Natuna sekarang), karena itu puisi-puisinya seakan Samudera kata-kata Melayu yang sudah menjadi kata arkais. Tetapi di dalam puisi Akib kata-kata itu seakan hidup dan berhamburan mencari para penuturnya dan membuat puisi-puisinya itu mudah dipahami oleh komunitas budaya lain.


Lebih menukik dikatakan Rida K Liamsi, jika ada yang secara sungguh-sungguh menyelongkar kata-kata melayu dari puisi-puisi Akib itu, maka akan ada sebuah senarai kata-kata lama yang sangat kaya dengan latar dan sentuhan budaya Melayu. Alam Melayu sangat beruntung punya seorang penyair bernama Akib karena dengan puisi-puisinya itulah negeri Segantang Lada atau kawasan maritimnya yang dijuluki Segara Sakti Rantau Bertuah ini menjadi ingatan dan catatan perjalanan budaya Melayu di tengah pertembungan dengan budaya dunia lainnya. Kehebohan lain penyair ini, karena latar belakang pendidikannya adalah Institut Agama Islam, maka nafas islami dalam balutan sastra Melayu, meniadi warisan budaya yang sangat berharga. Itulah yang sudah disumbangkan Akib melalui puisi puisinya. Tabik!


Sementara itu Dr. Abdul Malik, M.Pd, seorang Akademisi, Budayawan dan Dekan FKIP-UMRAH, berpendapat satu perkara yang juga menyerlah dalam kumpulan puisi Akib adalah laut. Puisipuisi yang terhimpun—berlatar laut, berkisah tentang suka-duka kehidupan manusia yang hidup di wilayah laut, menggunakan diksi yang akrab dalam masyarakat laut, mengikuti tradisi perpuisian yang terwarisi dari masyarakat laut, dan diciptakan oleh penyair yang dilahirkan, dibesarkan, dan dididik di pulau yang dikepung oleh laut. Berhubung dengan kenyataan itu, kumpulan ini benarbenar berisi puisi maritim yang sesungguhnya. Dari aspek ontologisnya, kumpulan ini memenuhi kualitas seri gunung dan seri pantai sehingga dapat diklasifikasikan sebagai karya kelas utama (makalah “AKIB: Dengan Puisi Bertanam Budi”, dibacakan dalam acara “Peluncuran Buku Abdul Kadir Ibrahim Doa Cinta mekar Laut Langit,” di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang, Sabtu, 13 Januari 2018).


Malik lebih lanjut menjelaskan, Abdul Kadir Ibrahim (Akib)”AKIB: Dengan Puisi Bertanam Budi” tergolong sastrawan multitalenta. Pasalnya, beliau tak hanya seorang penyair, tetapi juga cerpenis, novelis, esais, bahkan pengkaji sastra. Itu bermakna bahwa beliau menceburkan dan meleburkan diri ke dalam semua cabang kesusastraan. Tak banyak sastrawan yang dapat bergelut secara total dalam bidang kesusastraan seperti itu, padahal beliau juga adalah birokrat di pemerintahan. Kentara bangat perhatian dan minat besar beliau dalam bidang kesusastraan. Beliau seolaholah telah mewakafkan diri dalam pergulatan dan perjuangan di bidang kesusastraan.


Jikalau ditilik kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim di tengah kepenyairan Indonesia modern (modern Indonesia), dan Melayu, sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dalam Pengantar kumpulan puisi Abdul Kadir Ibrahim, Doa Langit mekar Cinta Laut (Akar Indonesia, Yogyakart, 2017), bahwa puisi-puisi Akib adalah jejak puisi Melayu yang tidak berhenti pada sifatnya yang “mantra-like, pantun-like, syair-like ataupun gurindam-like,” yang menandai bahwa puisi Melayu berposisi sebagai semacam referensi dalam lintasan kreatif Akib, yang secara sadar mengambil “spirit” yang terdapat di balik berbagai bentuk puisi Melayu. Adalah hal yang wajar jika Akib terlibat habis-habisan dalam khazanah perpuisian Melayu. Sebagai penyair modern sejati, Akib me-”wajib”-kan dirinya untuk membaca tradisi sebaik-baiknya. Karena apa? Karena dia sadar bahwa dengan melibatkan diri secara suntuk dalam tradisi, dia akan menjadi bagiannya. Dia akan menemukan ruang dan peluang yang terbuka untuk melanggengkannya, yakni dengan cara menafsirkan dan memaknainya sesuai dengan konteks personalitasnya sebagai kreator modern.


Puisi-puisi Akib di pentas perpuisian modern Indonesia, dan Melayu umumnya, telah diteroka sejumlah penulis dan disiarkan beberapa media massa tersohor di Indonesia, baik lokal maupun nasional. Misalnya, “Rubrik” SOSOK, Harian Kompas (Rabu, 26 Oktober 2016) menurunkan tulisan khusus tentang sastrawan Indonesia asal Kelarik Ulu, Bunguran Utara, Natuna, Kepulauan Riau, Abdul Kadir Ibrahim ini—yang juga dikenal sebagai salah seorang diklarator Hari Puisi Indonesia, di Pekanbaru (2012)— dengan judul “Penerus Raja Ali Haji dari Natuna”. Harian Kompas, mengutif pendapat pakar bahasa Indonesia, Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana, dalam tulisan pengantarnya terhadap buku Tanah Air Bahasa Indonesia yang ditulis Abdul Kadir Ibrahim (Komodo Books, 2013). Sebagaimana tulisan di Harian Kompas, yang menegaskan bahwa masyarakat Kepulauan Riau beruntung karena kiprah budayawan Abdul Kadir Ibrahim (Akib)—yang karya kreatif dan kepeduliannya mewakili kejayaan masyarakat Melayu abad ke-20 dan ke-21. – priode yang bersambung ke masyarakat Indonesia modern, pewaris langsung masyarakat Melayu Riau.Karya-karya—membuktikan bahwa Akib menjalankan perannya sebagai eksponen kedua priode kebudayaan itu.


Harian Media Indonesia menurunkan laporan khusus tentang sosok sastrawan ini, dengan judul Abdul Kadir Ibrahim Penjaga Sastra Melayu Modern (Rabu, 15 Januari 2014), yang menegaskan bahwa Akib berhasil menggali khazanah budaya di Kepulauan Riau untuk dimasukkan ke karya sastra. Dia menjadi penjaga sastra

Melayu agar bisa dilihat generasi mendatang. Sebagai sastrawan Akib selalu mengangkat khazanah daerah setempat untuk dimasukkan sebagai bahan sebagai penulisan karya sastra (puisi, cerpen dan novel). Kepiawaian dalam kesusastraan daerah Melayu membawa dia menjadi seorang sastrawan—yang diperhitungkan dalam dunuia sastra di tanah air (Indonesia). Baginya—tetap ingin menjadikan kesusastraan Melayu untuk menambah khazanah budaya Indonesia.

Sapardi Djoko Damono,yang akademisi sebagai Guru Besar Bidang Sastra, dan Penyair kenamaan, dalam senaraiannya ketika mengulas puisi Akib, di Taman Ismail Marzuki (12 Oktober 2004), menyebutkan Puisi Akib dalam Sastra Indonesia Modern Ciptakan Metafor dan Segarkan Bahasa.Ulasannya tersebut, selanjutnya disiarkan Harian Batam Pos (17 Oktober 2004) dan Majalah Budaya Sagang—yang dibiduki Hasan Junus—(Nomor 74/VI, November 2004).Sapardi berpendapat, puisipuisi Akib, tampak sekali—cenderung untuk “bermian-main” dengan kata-kata dan menghidupkan kembali tradisi mantra di dalam perkembangan puisi Indonesia modern. Puisi mantra pada mulanya, dikenal pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Dan— ketika membaca puisi-puisi Akib, khususnya negeri airmata ataupun 66 Menguak—kembali berhadapan dan merasakan mantra yang hebat, sesuatu yang baru, dan metafora-metafora yang sama sekali segar bagi menyegarkan bahasanya (Melayu-Indonesia). Sungguh merasa asyik sekali membaca puisi-puisi Akib.


Puisi Akib, jelas Sapardi, mempunyai ciri dan keunikan tersendiri dibanding puisi penyair lainnya. Ciri dan keunikan puisipuisinya sungguh penting pula bagi pertumbuh-kembangan puisi (kepenyairan) Indonesia mutakhir. Setelah Sutardji Calzoum Bachri, puisi-puisi Akib telah menyentakkan kita kembali, bahwa peyair dari Riau-Kepulauan Riau, tetap menampakkan bahwa kawasan itu senantiasa mempunyai ciri, keunikan, khas dan segar dalam menciptakan puisi sebagai sumbangan terhadap pertumbuhkembangan perpuisian (kepenyairan) Indonesia modern. Adalah Sapardi Djokodamono, sekali lagi menguraikan panjang lebar “suatu ciri khas-unik” puisi-puisi Akib di dalam pertumbuhkembangan puisi modern Indonesia tatkala peluncuran kumpulan puisi “gabungan” menguak-negeri airmata: nadi hang tuah, di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu, 10 April 2010.


Sejalan pendapat di muka, Prof. Dr. Budi Darma, yang juga seorang sastrawan ternama, dalam makalahnya Dermaga Sastra Indonesia, tatkala peluncuran dan diskusi buku Dermaga Sastra Indonesia, di Bentara Budaya, Jakarta (Selasa, 29 Maret 2011), yang dipublikasikan Majalah Sastra Horison (Tahun XLV, No.5/ 2011, Mei 2011), mengatakan, Akib sebagaimana pendahulunya, Sutardji Calzoum Bachri, dan Ibrahim Sattah merupakan individuindividu mandiri dalam sebuah kelompok sastrawan dari satu kawasan yang sama. Sutarji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan AKIB (Abdul Kadir Ibrahim) sama-sama menyuarakan puisi-puisi mantra, tetapi pada hakikatnya mereka berbeda. Sutarji Calzoum Bachri lebih menekankan pada aspirasi untuk membebaskan diri dari tradisi puisi, Ibrahim Sattah lebih banyak menyuarakan kegundahan hati, dan AKIB lebih menekankan aspirasi bahwa bentuk atau form tidak mungkin diabaikan. Anggapan umum menyatakan, bahwa penciptaan bentuk atau form lebih rumit dibanding dengan penciptaan isi atau content. Seseorang yang mampu menciptakan ide tertentu, belum tentu mampu menciptakan bentuk atau form—yang di sinilah letak perbedaan antara AKIB dan penyair-penyair mantra yang lain, antara lain Sutarji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah.


Maman S. Mahayana, yang melambung namanya dikenal luas sebagai kritikus handal di Indonesia dan negeri-negeri rantau, dalam tulisannya Simbolisme Petak—Umpet: “Menguak—Negeri Airmata” Abdul Kadir Ibrahim(2007),yang dimuat dalam buku Abdul Kadir Ibrahim Penyair Cakrawala Sastra Indonesia (Penyelenggara: Joni Ariadinata, Akar Indonesia, Yogyakarta, 2008), berpendapat, Abdul Kadir Ibrahim, adalah salah seorang penyair dari sekian banyak penyair lain yang lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan Melayu. Kehadirannya dalam kesusastraan Indonesia terjadi sekitar pertengahan tahun 1980-an. Meski awal kepenyairannya, Akib bergerak di seputar Tanah Melayu, kemunculannya belakangan cukup mengejutkan. Akib secara meyakinkan tampil sebagai sosok penyair yang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu, yang di satu pihak, ia menyerap estetika pantun, syair, gurindam, dan mantra, dan di lain pihak, ia berusaha justru melakukan perombakan atas tradisi estetik yang diserapnya sendiri. Ia secara serius tampak berusaha melakukan penggalian dan pencarian model estetik yang hendak ditawarkannya. Di sinilah posisi kepenyairannya seperti telah sampai pada jati dirinya yang khas yang tidak gampang dipersamakan dengan penyair lain.


Puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, sambung Maman lagi, meneroka tradisi leluhurnya, tampak dari bertaburannya kosa-kata arkais bahasa Melayu, sebagaimana yang pernah dieksploitasi Amir Hamzah. Bagus-hebatnya, Akib tidak berhenti sampai di sana. Ia justru kemudian mencoba menghancurkan tradisi estetik yang pernah dibangun penyair lain. Di sinilah posisi kepenyairan Akib seperti bergerak sendiri di jalannya, menempati kotaknya sendiri yang khas, unik, tetapi sekaligus juga menyentuh aspek universalitas kemanusiaan.Sebuah tarian kata-kata dalam bangunan tipografi yang beraneka telah berhasil dikukuhkan Abdul Kadir Ibrahim sebagai menumen kepenyairannya.


Dalam Catatan Singkat Atas Sajak-Sajak: Abdul Kadir Ibrahim, Korrie Layun Rampan (2007), yang dimuat dalam Abdul Kadir Ibrahim Penyair Cakrawala Sastra Indonesia (2008), menjelaskan bahwa sajak-sajak Abdul Kadir Ibrahim merupakan sajak-sajak unik di tengah perpuisian Indonesia modern—yang berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah—yang polanya terbukti dalam sajak-sajak Akib—66 Menguak (1991) dan negeri airmata (2004). Akib menandai sajak-sajaknya dengan kepercayaannya yang tinggi pada kata sebagai sarana ekspresi yang ekskotis rohani dengan menempatkan kata sebagai alat dan pengertian. Sebagai alat, kata memenuhi fungsinya sebagai pengantar pengertian, dan sebagai pengertian kata otonom di dalam sebuah sintaksis yang mencirikan makna imajinatif dan makna vocabuler. Hal ini tampak jelas jika sajak Akib dibandingkan dengan sajak Ibrahim Sattah yang sama-sama mencirikan penemuan terhadap keakukan.


Dalam tulisan bertajuk Menemui Akib dari Cakrawala Sastra Indonesia Ahamadun Yosi Herfanda (Republika, 18 September 2005), berpendapat sajak-sajak Akib yang terkumpul dalam negeriairmata cukup merepresentasikan masih tetap kuatnya pengaruh mantra, bahkan terasa lebih kental dan lebih primitif dibanding para pendahulunya, Ibrahim Sattah dan Sutardji Calzoum Bachri. Banyak sajak-sajak Akib yang tidak hanya membebaskan kata dari beban makna, tapi juga dari ‘beban daya sugesti’, sehingga muncul layaknya gumam manusia primitif yang benar-benar tanpa beban makna dan tanpa beban sugesti.


Melihat sajak-sajak anehnya, menurut Ahmadun lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa upaya penggalian terhadap khazanah dan tradisi sastra Melayu lama yang dilakukan oleh Akib ‘lebih ekstrem’ dibanding yang dilakukan Sutardji maupun Ibrahim Sattah. Yang dilakukan Akib tidak hanya berhenti pada mantra, ataupun sekadar membebaskan kata dari beban makna, tapi sampai ke pengucapan-pengucapan yang paling primitif dimana masyarakat Melayu belum begitu mahir menyusun kalimat-kalimat bermakna dan komunikasi antarmanusia masih dilakukan dengan kata-kata lepas disertai isyarat tangan, karena makna kata-kata itu masih bersifat arbiter.


Pada sajak-sajak Sutardji, urai Ahmadun, meskipun ditulis dalam semangat membebaskan kata dari beban makna, makna rangkaian kata-katanya masih dapat diraba. Setidaknya, ada irama atau rentetan bunyi yang dibangun melalui rangkaian kata-kata untuk menimbulkan daya sugestif. Tapi, pada sajak-sajak Akib rangkaian kata-kata sugestif itu pun tidak ada. Kata-kata kembali kepada asalnya, sebagai perpaduan bunyi vokal dan konsonan yang meletup begitu saja sebagai gumam atau ucapan manusia primitif yang tanpa makna dan tanpa tujuan. Dan, Akib telah memerankan sajak-sajaknya dengan sangat baik ikut menyegarkan tradisi kepenyairan Indonesia mutakhir.


Jauh sebelum beberapa penulis berpendapat tentang puisi-puisi Akib tersebut, ternyata cendikia Melayu dari Riau Al Azhar telah membuka “jalan seneraian” pertama, awal-mula yang membahas puisi-puisi Akib dari kumpulan puisi 66 Menguak (Bengkel Teater Bersama, Pekanbaru, 1991), sewaktu Akib baca puisi tunggal di Teater Arena, Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Riau (1992). Al Azhar mengatakan, puisi Akib terlihat bertolak dari mantra. Ada tiga penyair mantra Riau, yakni Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah dan Abdul Kadir Ibrahim. Meski sama dari mantra, tapi nyata perbedaan sajak-sajak antara ketiga penyair tersebut. Sajaksajak Sutardji Calzoum Bachri berangkat dari mantra, tetapi katakata puisinya bebas makna. Ibrahim Sattah berangkat dari mantra, tetapi kata-kata puisinya adalah permainan anak-anak. Abdul Kadir Ibrahim, berangkat dari mantra, tetapi kata-kata bermakna. Puisinya dibangun oleh kata dasar, dan setiap kata mempunyai makna.


Puisi-puisi Akib, menurut Prof. Dr. Hasanuddin WS dalam tulisan” Persoalan Lisan, Tulisan, Bahasa dan Puisi”, sungguh terdapat perbedaan khas dengan puisi-puisi penyair lainnya, termasuk dengan Sutardji Calzoum Bachri ataupun Ibrahim Sattah. Hasanuddin mengakui, bahwa membaca sajak-sajak penyair manapun, hal yang pertama-tama menggoda tidak bisa tidak biasanya adalah tampilan fisik sajak-sajak tersebut (tipografi, enjambemen), selanjutnya barulah merayap pada makna yang terkandung di dalamnya. Hal yang sama—berlaku pula ketika berhadapan dan membaca sajak-sajak Abdul Kadir Ibrahim. Bedanya, sajak-sajak Akib—termasuk sedikit dari sajak-sajak istimewa, dimana melalui tampilan fisiknya, tidak saja tampilan fisik itu menggoda, tetapi sudah memberikan efek sugestif tersendiri. Dengan penulisan yang sedemikian rupa, sajak-sajak Akib secara fisik dapat berbentuk seperti piramid, piramid terbalik, kubah, bujur telur, melingkar, dan sebagainya.


Adapun Jamal D. Rahman dalam tulisannya Melayu, Puisi, dan Mantra yang dimuat Harian Kompas (4 April 2008) dan majalah sastra Horison (XLII/4/2008, April 2008), menyebutkan Akib adalah penyair generasi muasir asal Melayu Riua, yang juga mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu Riau untuk puisi-puisinya. Lahir dari rahim sejarah Melayu yang panjang, Akib adalah satu eksamplar dari kebudayaan Melayu-Indonesia hari ini. Dengan demikian, dia adalah kesinambungan sekaligus perubahan dari kebudayaan Melayu Riau (termasuk Kepulauan Riau, kini) dalam konteks sastra Indonesia modern.


Menurut Jamal, dalam kaitan itu, Akib mencoba menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu antara lain dengan menerbitkan puisinya dalam aksara Arab Melayu; dia menawarkan perubahan kebudayaan Melayu misalnya dengan menafsir ulang mantra sebagai tradisi Melayu dalam puisi-puisinya (sebagaimana lebih dahulu dilakukan oleh penyair sekampungnya yang senior, Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah). Inilah satu eksamplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern. Adapun Abdul Kadir Ibrahim (Akib), ialah satu eksamplar dari kebudayaan Melayu-Indonesia modern hari ini.


Proses kreatif Akib dalam dunia sastra, yang senantiasa dilakoni dan ditekuninya (dengan tunak) sejak masih muda-belia dan dapat beriringan dengan berbagai kesibukan dan tanggungjawabnya sebagai salah seorang pejabat “biasa” (sejak 2002) dan kemudian pejabat tinggi di pemerintah daerah Kota Tanjungpinang (sejak 2007) hingga sekarang, membutnya “terpandang”sebagai salah seorang sastrawan modern Melayu (Indonesia). Melihat ragam karya sastra dengan pengucapan yang khas, lahir dari tangannya berupa buku kumpulan cerpen, novel, cerita anak, esai bahasasastra, dan khasnya beberapa kumpulan puisi, serta dalam bidang lainnya tentang agama Islam dan politik sehingga “Mbah Cerpenis Indonesia” Joni Ariadinata dalam berbagai kesempatan, termasuk di media sosial pun mendaulat (menahbiskan) Abdul Kadir Ibrahim (Akib) sebagai Raja Penyair Melayu.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.