Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi-Puisi Jufri Zaituna

Puisi-Puisi Jufri Zaituna

KAWACA.COM | Jufri Zaituna, lahir di Bragung, Sumenep, Madura, 15 Juli 1987. Pribadi penyendiri ini, mula-mula belajar menulis puisi secara serius sejak menjadi santri di Pondok Pesantren Annuqayah, Lubangsa, Guluk-Guluk, Sumenep. Keseriusannya dalam menulis puisi, kian kuat saat dia mengembara ke Yogya, kota seribu penyair itu. Jufri dikenal oleh kawan-kawannya, bukanlah penyair yang produktif 'melahirkan' puisi. Padahal sebenarnya dia sangat produktif dalam hal 'menulis' puisi. Namun puisi yang ditulisnya itu 'tak jadi-jadi', barangkali puisi bagainya adalah 'telur' yang perlu eram untuk menetas.

Di antara puisinya yang menetas, seebagian telah dimuat Majalah Sastra Horison, Harian Jogja, Merapi, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Merdeka, Jurnal Sajak, Harian Sumut, Radar Madura, Radar Surabaya, dan sejumlah antologi bersama dalam berbagai pergelaran sastra.

Jufri kini selain menulis puisi, juga membatik di Seraci Batik Betawi, dan bermukim di Bekasi sambil menyiapkan antologi puisi tunggalnya terkait perkawinan antara puisi dan batik atau puisi batik-batik.


MENUNGGU PUASA, MEMBUKA BUKU LAMA

Adalah cara untuk menemukan jalan
Agar bisa mengingat arah tujuan
Dan arti kekosongan menuju batin
Dari lahir sampai akhirnya tenggelam
Dalam muara cahaya Tuhan

Buku-buku lama yang tersimpan
Di pundak, di hati dan pikiran
Kubuka kembali dengan perut kosong
Dengan beban perjalanan membingungkan

Lembar demi lembar hari kutuntaskan
Membaca kata demi luka dan duka
Kalimat demi kalimat menyesatkan
Tetapi langkahku tetap satu
Aku menunggumu di perjalanan
Walau tak juga sampai di titik keberadaan

Bingung, membolak balik buku harian
Buku lama yang tersimpan
Di dalam lambung perempuan

Bekasi, 2019

KEGILAAN DALAM PENCARIAN

Sebelum aku gila, aku harus menemukan kegilaanku
Pada setiap pencarian, akan kutinggalkan diriku sendirian
Agar matiku tak hanya batu nisan kesepian di hamparan rerumputan

Bila tidak kutemukan kegilaanku
Maka jalan pikiran akan kugambar di mata kekasih
Ketika getar bibir mengisyaratkan, bahwa matiku hanya untuk aku

Sebelum aku mati, perkenankan diriku memanggil
Apa saja yang telah dianggap sia-sia
Akan ku ajak berbincang-bincang
Tentang bumi dan air yang ingin kutinggalkan dengan bahagia
Sambil kukecup luka dan membekukan airmata

Bila mereka tidak mendatangiku
Akan kubacakan sajak paling sedih
Tentang pagi yang lenyap
Bersama nama-nama yang pernah kucatat sebagai senjata

Karena gila dan matiku, sama-sama tidak akan menemukan
Di mana sejarah dimulai, di mana kehancuran
menyatu dalam kibaran bendera

Sumenep, 2018

GELAP DALAM TERANG

kita tak lagi bisa mengenang awal keberadaan
kecuali kita masih sama-sama mengingat dan melupakan
tak perlu menunggu sampai di bukit-bukit maut itu
semoga kenangan kita semanis jagung bakar di atas batu-batu kebencian
sampai asap, debu, dan arang menuliskan kedewasaan ini
yang kian mengubah arah musim bertandang
meriwayatkan nama-nama rindu yang belum sempurna mengukir pertemuan

dekaplah tubuh kita masing-masing
sampai aroma kebisuan memaknai peristiwa percakapan
di antara mimpi-mimpi yang sesaat, lalu pergi tanpa saksi
karena sejak itulah kita akan bahwa kesedihan dan kegembiraan
terseret langkah kanak-kanak dan tawa yang terus mengabarkan nyanyian luka
bagi rerimbun usia seiring embusan angin menyertai jejak dongeng-dongeng
menyibak ruang rahasia menjadi beling-beling yang siap menikam jantung kita

langkah jiwa tak kunjung lenyap membuntuti pikiran
walau aku lari menyebut nama tuhan sampai semuanya menghilang
tapi kita selalu merasa gelap dalam terang
sebab hidup hanya melayari kesakitan demi kesakitan
yang kita ucapkan dalam belukar pertapaan
di mana tersimpan segala tempat kedatangan dan keberangkatan
dari pengap merisaukan segala kegalauan

2010

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.