Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi-Puisi Bagus Likurnianto

Puisi-Puisi Bagus Likurnianto

Puisi-Puisi Bagus Likurnianto

KAWACA.COM | Bagus Likurnianto, lahir di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Puisinya pernah disiarkan Cakra Bangsa, Koran Tempo, Media Indonesia, Sastra Purnama, Pikiran Rakyat, Harian Ekspres Malaysia, Buruan.co, Banjarmasin Post, Malang Post, Solopos, Lampung Post, HariPuisi, Minggu Pagi, dan media lainnya. Sempat menjadi penyair terpilih World Poet Convention yang diselenggarakan Persatuan Penyair Malaysia tahun 2018. Kini tinggal Banjarnegara. 

Bagus Likurnianto
Di Balik Tabir Bahari

bermula dari nubuat rindu
seorang tua mengolah gelondong kayu
merakit perahu kanak-kanakmu
untuk berlayar mengarungi waktu
temali tempat angin masa kecil menari
tiang tinggi tempat bendera lusuh mengasuh riuh
buritan, kemudi, dan haluan mengaji lautan
membawa nelayan yang hendak
menafsir tadarus ombak gelombang
menaksir kedalaman sebelum ikan-ikan
terjala ke dalam batinnya
lambung kapal mengetahui kemilau garam
hanya setelah membaur deburan air asin
maka bentangan tangan nahkoda
musti bersedia menjangka jarak dan takdir
laut yang menjadi balong perniagaan menabalkan
gelisah malam di pulau-pulau peradaban
dari segala badai kenestapaan

akulah air yang direstui laut dan ibu
tetes resah yang menunjam bersama ombak
menjelma samudera duka masa kecilku;
mengapa, saat seorang nelayan pulang usai
mengibar layar saudagar tak sabar
bertemu anaknya yang sejak semalam menahan lapar
ia membawa sekeranjang gelinjang ikan segar
untuk dijual fajar hari selepas
bumbu dalam tumbu dan beras
dalam kantung usia kembali mengimbu rahasia
namun kau seolah tak pernah percaya
lihatlah! bukankah bahari dan pertiwi
bergelora saban hari, bakul-bakul ramai
di tepi dermaga, tiang-tiang terpancang,
lampu subuh serupa bola mata tua nyalang
memandang jalan petang menandakan
bahtera yang berlabuh mampu mengampu
peluh dan bersedia menyusuri perjalanan jauh

aku seringkali mencoba memahami
betapa ibu sekian lama membuai laut di dalam perut,
anak-anak pasir berlarian di telapak kakinya
dengannya akar-akar bakau bertasbih dan menjadi wingit
menjelma tangan yang menuai zikir-zikir pasir
pun pancaran dari tambak udang menyilaukan
kilau masa lalu dari kehidupan azalimu
kepakkan sayap camar yang terbang
di atas geladak dan mercusuar mengibas
banyak peluh yang bersimpuh
mestinya kau tak perlu menanyakan
ihwal perempuan pesisir memanggul sanggul
hidup agar bekal mesti cukup
demikianlah bocah-bocah berwajah cerah
senantiasa meremas butir garam
atau menebarkan jala-jala menangkap matahari
dan kawanan burung yang bertengger
di reranting umurmu

pada senja di telapak tanganmu
tengadah rindu berpeluk angin menangkup
matahari dengan tangan pencahari, lihat!
garis jingga di bibir lautmu serupa tuhan
mengombakkan harapan bagi para petani garam
lantas heningku hanya bisa termangu dan menunggu
pantulan tambak memancarkan kemilau cahaya
sebelum musim-musim dihamburkan
tak luput rumput-rumput keriput
meliukkan udara dan menabur takabur
kini, matahari telah tenggelam ke dalam matamu
orang-orang kembali menuju dekapan ibu,
maka nyanyian kesunyian dikumandangkan,
dingin mengharum, pohon kelapa bertambah ranum
dan lampu-lampu kehidupan yang nyala
listriknya dari hilir pengharapan dan kincir air
di arus sungai waktu yang terus mengalir itu
menjadi tanda bahwa nasibmu kembali berputar

Cilacap, Januari 2019

Penjual Kesunyian dan Bunga

pagimu cerah matahari pecah
di kerajaan rambut panjangmu orang-orang
yang menyusun pagi
dengan dada sumringah bersedia
memetik dingin di pagi hari

merambahlah sunyi pada tetes embun yang ranum
jatuh bersama sekelopak anggrek merah
yang kau dapat dari perempuan
yang semalam menabur bunga dan hatinya
di emperan toko pinggir jalan

--ia adalah penjaja wangian malam yang
di keranjang tubuhnya penuh nganga luka dan bunga yang
mekarkan harum kesunyian di sepanjang jalan pulang
dan gang-gang petang yang lengang--

Banjarnegara, Januari 2019

Raava dan Vaatu

tercelup aku ke dalam danau
yang merahasiakan kedalaman rahimmu
sebelum kau berubah menjadi bening
dan merayakan tubuhmu bersama hening
air agak terlena mengalir dari sekujur wujudmu
menuju basah segala desah dan resah
kedua tanganku terendam
di muara cinta yang sederhana
di hadapan sepasang dada
dan serumpun kecebong
sibuk menampi sepi
sembari berenang
di balong
sunyi

vaatu adalah cahaya yang diciptakan
untuk membahagiakanku, katamu.
kau menuduhku sebagai penggibah
yang menjerumuskanmu ke dalam surga
disentuhlah olehmu
anyir sekujur tubuh dari ujung
kaki hingga kerajaan rambutmu
menyimpan kebasahan sepanjang malam
di seberang balongan
pada sekuntum cuaca yang remang
raava menetas di tanah kelahiran larva
resam sedekat mati
sayapnya membentangkan
jampi tertinggi

bicaralah engkau, raava
perihal kecantikkan paling purba
sebagaimana terjelma
di wajah bulan yang pernah
kaulabuhkan di bibirku
kukecup cinta yang mahacahaya
ia pun memandang ufuk
tempat lahirnya kelam segala lubuk
kepergianmu tidak akan
dikenang, vaatu
terlebih senyummu masih berupa
kepiting yang dengan susah payah
melubangi lubuk hatiku
yang agak dalam

takdir telah ditancapkan ke dadamu, raava
agar ruhmu semakin kudus
sebelum vaatu menyantap tubuh
dan darahmu
kebahagiaanmu kian terbang
langit yang terpuji
membawa jernih getar sayapmu
manghablur pada kabut maut yang lembut
apa lagi yang akan diembunkan
kepada daun-daun waktu
yang diambangkan puja-puji?
kesedihan membias di wajah pagi
sementara labirin suci
masih menuntunmu tinggalkan matahari

Banjarnegara, Agustus 2019

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.