Puisi Esai, Apa dan Mengapa Harus Ditolak? - Weni Suryandari
oleh Weni Suryandari
WWW.KAWACA.COM | “Jika politik kotor, sastra membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra meluruskannya.” JF Kennedy. Ungkapan dalam tanda kutip tersebut adalah ungkapan yang telah sering kita dengar berulang kali. Namun bagaimana jika ranah sastra dikotori oleh orang-orang politik? Siapa yang membersihkannya? Polemik kelahiran buku 33 TSPB sejak tahun 2014 hingga tahun ini diperparah dengan makin getolnya Denny JA membangun jaringan yang diklaimnya sebagai “gerakan puisi esei” melalui kekuatan modalnya. Publik sastra seakan-akan dipertontonkan pada penciptaan sejarah sastra yang digagas oleh aroma perilaku politikus yang menghalalkan segala cara kotor termasuk uang untuk membeli dukungan.
Melalui cara-cara kotor manipulative dengan melakukan persuasi kepada calon-calon “korban” yang diiming-imingi uang 5 juta sampai 10 juta rupiah, Denny JA hendak melegitimasi dirinya menjadi tokoh sastra (sejak polemik 33 TSPB, 2014) dan “pelopor puisi esei” dengan jumlah pengikut yang banyak. Sastrawan di seluruh Indonesia tentu saja marah dan melakukan perlawanan melalui berbagai respon di hampir semua media sosial dan beberapa media cetak. Gerakan perlawanan digagas pula oleh seluruh sastrawan yang “lurus” dan mencintai sastra dengan tulus. Forum Penyair Muda Indonesia membuat petisi Tolak Puisi Esai melalui change.org. Petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 3500 orang dari seluruh Indonesia, baik para sastrawan, pemerhati sastra bahkan simpatisan gerakan tersebut telah diteruskan kepada Kemendikbud untuk ditindaklanjuti. Gerakan manipulasi dilawan dengan gerakan anti manipulasi secara massal.
Dalam buku 33 TSPB (setelah saya baca seusai peluncuran) terdapat banyak nama yang pantas masuk dalam daftar tokoh tetapi ada pula yang asing bagi saya. Kemunculan nama Denny JA sebagai “pelopor puisi esai” -- demikian ia disebut di dalam buku itu, membuat saya dan warga sastra terkejut karena tidak ada satu pun warga sastra mengenal namanya sebagai sastrawan, apalagi “berpengaruh”! Menelisik kriteria yang ditulis dalam bab pendahuluan tentang metodologi penetapan keberpengaruhan, saya mendapati beberapa kejanggalan. Beberapa teman seperti Makyun Subuki, Krisna Pabhicara sudah menuliskan kriteria beserta turunan pertanyaan yang mengiringinya dan hampir semuanya mengandung cacat metodologis. Itu baru satu hal dari segi teknis penentuan “keberpengaruhan” tokoh sastra.
Dalam benak saya yang awam ini, “keberpengaruhan” dapat dilihat dalam karya-karya sesudahnya yang di antaranya mengandung intertekstualitas, atau epigonisme atau bahkan memadukan gaya modern dengan tanpa melepaskan diri dari konvensi lama. Pengaruh semacam itu bisa dibuktikan melalui pembacaan bertahun-tahun, berabad-abad. Para penyair Melayu Klasik seperti Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi dan Hamzah Fansuri, sebagai pelopor sastra Melayu, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan lain-lainnya sezaman, kemudian muncul nama Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra dan beberapa nama lainnya (dalam era yang lebih modern) bisa ditelusuri jejak pengaruhnya pada karya-karya sastra yang lahir di dasawarsa berikutnya. Bahkan beberapa penyair kontemporer yang kuat bisa melepaskan diri dari intertekstualitas atau epigonisme dan menemukan bentuk pengucapannya sendiri. Jika nama seorang Denny JA baru saja “dimunculkan”, dari mana saya atau public sastra bisa mengukur keberpengaruhannya?
Upaya seorang Denny JA dalam menasbihkan dirinya untuk minta “diakui” dalam daftar nama sastrawan berpengaruh tidaklah semelarat sastrawan yang bergelimang keringat dan upaya berdarah-darah untuk menunjukkan kecintaannya pada dunia sastra-- dalam hal ini puisi, melalui jalan yang benar. Denny JA dengan gelimang harta dan kuasa modalnya membayar orang-orang yang ditunjuk untuk membantu mengukuhkan namanya dalam sejarah sastra Indonesia. Pemaksaan kehendak untuk pengakuan melalui cara-cara manipulative itu membuat masyarakat sastra menjadi jengah, risih dan marah. Penyesatan sejarah dengan tanpa malu-malu adalah aib bagi kaum intelektual. Puisi adalah musuh abadi manipulasi. Bagaimana mungkin cara-cara manipulasi dilakukan untuk sebuah klaim “pembaharu genre sastra”? (Hikmat Gumelar).
Keberpengaruhan apakah yang bisa diukur, jika jejak epigonnya yang diklaim 170 orang dari 34 propinsi, baru mau berkarya jika melalui transaksi modal di atas kontrak perjanjian bermaterai? Apalagi, menurut beberapa sumber yang kemudian diketahui mengundurkan diri (11 orang), dalam mempersuasi penulis bayaran itu, mereka diminta untuk menyertakan catatan kaki dalam karyanya, harus 45 halaman, harus mengandung cerita tentang kondisi zaman dan kondisi daerahnya atau kejadian fenomenal di lingkungannya. Secara logika sederhana saya, bukan saja pengaruh ansich yang hendak diciptakannya tetapi pengikut yang bodoh dan buta untuk menjual isi kepala dan kreativitas orisinalnya dengan menulis puisi pesanan “prabayar” sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Denny sendiri, sekali lagi: demi membaptis dirinya untuk sebuah gelar “pembaharu sastra”.
Sebuah buku “pengakuan” yang diposisikan sebagai buku sejarah tidak lepas dari apa, mengapa dan siapa yang ditulis dan menuliskannya. Selayaknya validitas sebuah buku sejarah, adalah menjadi satu keharusan menuliskannya berdasarkan data-data yang akurat, akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan secara objektif. Setidak-tidaknya, sekali pun ada versi berbeda-beda tergantung pada sisi siapa yang menulisnya, tetapi ketepatan data tetap menjadi acuan utama. Pengukuhan Denny JA dalam buku 33 TPSB belum merupakan sebuah ketepatan sejarah sastra Indonesia. Tidak heran jika beberapa tokoh sastra yang dicantumkan dalam buku itu seperti Goenawan Mohamad dan Remy Silado menolak namanya dimasukkan ke dalam buku yang “rekayasa” itu.
Sepanjang sejarah sastra Indonesia, tidak ada satupun sastrawan yang sedemikian hinanya mengemis pengakuan pada khalayak dengan mengeluarkan uang ratusan juta rupiah. Selain itu, berbagai lomba menulis puisi esai dengan hadiah puluhan hingga ratusan juta rupiah juga diselenggarakan dengan kekuatan modalnya sendiri. Berbagai kritik dan esai tentang “puisi esai” dimintanya untuk dituliskan dengan bayaran tertentu yang hingga tulisan ini dibuat, seorang Narudin Pituin yang mendaku sebagai kritikus sastra (ngawur) ikut membelanya secara membabi buta (meskipun sebelumnya ia mengkritik habis-habisan). Kini ia tanpa malu-malu menyuarakan pembelaannya di jejaring social FB. Buku kritik Narudin atas puisi esei Denny JA Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang kemudian dibagikannya secara gratis. Publik sastra (termasuk saya) yang telah mencium bakal adanya gelagat rekayasa klaim “buku laris”, beramai-ramai mengembalikannya melalui alamat LSI. Sahlul Fuad, setelah menelusuri situs online Denny JA dan mengecek angka jutaan viewer puisi esai Denny JA, menemukan bahwa semua tampilan visual itu hanyalah rekayasa digital dunia internet. Sebuah dusta yang lain dari sepak terjang Denny JA. Dengan demikian saya masih berpikir positif bahwa para penggagas buku 33 TPSB itu barangkali telah salah mempercayai Denny JA perihal keberpengaruhannya.
Di sisi yang lain, sebagai sebuah karya, “puisi esai” sendiri bukanlah sebuah kebaruan dalam sejarah sastra. Puisi esai telah ditulis berabad-abad sebelumnya oleh Alexander Pope, dan bukan pula dalam bentuk “harus bercataan kaki”. Dalam genre sastra, esai tidak bercatatan kaki. Puisi juga tidak bercatatan kaki. Jika apa yang diklaim Denny JA sebagai kebaruan genre sastra, sesungguhnya ia telah menyesatkan publik dan merusak sejarah sastra Indonesia dengan klaim “pengakuan” itu. Sebagai awam, saya berpendapat jika Denny JA (dalam tulisannya) mengatakan bahwa puisi esai adalah jenis historical fiction, atau true story yang difiksikan, bagaimana mungkin antara kebenaran sejarah dan fiksi (cerita rekaan, khayalan) dijadikan satu dalam satu istilah? Jika Denny mengatakan bahwa puisi esai adalah potret zaman dengan menampilkan catatan kaki, bagaimana dengan W.S. Rendra, Wiji Thukul, Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem), nama-nama sastrawan yang selalu memotret kondisi sosial politik di zamannya? Jika Denny JA menganggap puisi-puisi mereka termasuk puisi naratif (dalam pleidoinya di jejaring sosial) mengapa tidak ia sebut saja puisinya sebagai puisi naratif dan tidak perlu mengemis pengakuan sebagai “puisi esai” melalui modalnya? Bahkan dari “puisi esai” nya yang saya baca, Saputangan Fang Yin, saya menilai tulisan itu lebih mirip reportase berita dari pada puisi. Tanpa catatan kaki pun pembaca segera tahu peristiwa yang melatarinya. Perbedaannya hanya terletak pada enjambemennya saja jika ingin menyebutnya puisi. Para kritikus sastra sejati seperti Ahda Imran, Ahmad Yulden Erwin, Hikmat Gumelar, Nuruddin Asyhadie, termasuk Saut Situmorang (yang dikriminalisasi) dan lain-lain telah menulis berbagai argument ilmiah.
Mencermati beberapa penyair senior yang telah lama bergulat di dunia kata-kata dan ikut ambil bagian menjadi penyair “prabayar”, saya memandangnya sebagai sebuah katarsis dari kegelisahan atas krisis popularitas. Bertumbuhnya penyair-penyair muda dengan karya-karya yang segar dan kemudian diakui kepenyairannya, maka kalangan “senior” seakan tidak mau minggir, melainkan ikut memainkan peran hingga mencapai nama sebagai “angkatan puisi esai” sebagaimana sering digaungkan oleh Denni JA. Sesungguhnya kerja sastra adalah kerja kejujuran. Jika ingin menulis puisi sesuai konteks zaman, tulislah puisi yang “puisi”, jika ingin menulis esai, tulislah esai. Mencampur adukkan dan mengaburkan kategori yang tidak ilmiah dan tidak bertanggung jawab adalah sebuah sikap hipokrit, apalagi dengan janji honorarium di atas kertas bermaterai.
Beberapa ungkapan Denny JA menyoal kecemburuan komunitas-komunitas sastra di setiap daerah yang dianggap masih sedikit, menimbulkan kelucuan tersendiri. Jika Denny JA begitu ngotot meminta diakui sebagai sastrawan berpengaruh dengan klaim “pelopor puisi esai” atau “pembaharu sastra”, mengapa dia begitu buta atas menjamurnya jumlah komunitas-komunitas sastra di setiap daerah, bukan hanya tingkat propinsi melainkan hingga wilayah kota, kabupaten, bahkan beberapa komunitas juga sering terdapat dalam satu propinsi. Bukankah mestinya Denny JA lebih hafal betul seluk beluk kantong-kantong sastra di semua daerah?
Hal lain yang juga menjadi catatan miris adalah ketika pro-kontra puisi esai dikategorikan sebagai “polemic sastra” atau “polemic kebudayaan”. Bagaimana mungkin sebuah klaim kosong yang sedang dilawan, disebut sebagai sebuah polemik? Polemik adalah perbedaan sudut pandang atas sesuatu yang diyakini dan tetap berdasarkan acuan berpikir yang tepat secara akademik. Tetapi dalam hal puisi esai dan pengukuhan Denny JA sebagai “pelopor puisi esai”, itu bukanlah sebuah polemik. Saya memandang tidak ada polemik. Yang terjadi adalah perlawanan dan penyudahan atas gerakan-gerakan manipulasi sejarah sastra Indonesia. Kita tentu mengharapkan, mengalirnya perubahan demi perubahan dalam sastra Indonesia akan turut memberi pembelajaran dan memberi andil dalam menciptakan peradaban melalui ranah pendidikan. Jika buku rekayasa dan segala klaim pengakuan melalui pesanan memasuki ranah sastra dalam pendidikan, alangkah sangat tidak bertanggung jawab secara akademis. Jadi sangat terang benderang bahwa bukan polemik yang terjadi, melainkan gerakan anti skandal penyesatan sejarah sastra Indonesia.
Tulisan ini hanya sekadar opini atas berbagai alasan penolakan terhadap perusakan sejarah sastra Indonesia. Semoga warga sastra tetap melangkah di jalan yang diridhai-Nya.
Bogor, 15 Maret 2018
___Weni Suryandari, lahir di Surabaya 4 Februari. Saat ini tinggal di Bekasi. Puisi-puisinya dimuat di Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Indopos, Batam Pos, Suara Karya, Suara Merdeka, Suara Merapi, Padang Ekspress, Story Magazine dan berbagai antologi bersama terbitan KosaKataKita; Perempuan Dalam Sajak, Fiksi Mini, Kartini 2012, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Puisi Titik Temu (Komunitas Kampoeng Jerami), Antologi puisi 6 th Sastra Reboan, Kumpulan Puisi 6 tahun Majelis Sastra Bandung (2015), Antologi Perempuan Laut, Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Madura (2016), Festival Puisi Bangkalan (2017), dan lain lain.
Buku Kumpulan Cerpen pertamanya “Kabin Pateh” terbit tahun 2013. Cerpen-cerpennya juga dimuat di beberapa media, majalah Kartini, Tabloid Masjid Nusantara, Jurnal Nasional, Suara Kary, Tabloid Nyata (Cerbung, 2008). Kumpulan Puisinya “Sisa Cium di Alun ALun (Taresi 2016)
WWW.KAWACA.COM | “Jika politik kotor, sastra membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra meluruskannya.” JF Kennedy. Ungkapan dalam tanda kutip tersebut adalah ungkapan yang telah sering kita dengar berulang kali. Namun bagaimana jika ranah sastra dikotori oleh orang-orang politik? Siapa yang membersihkannya? Polemik kelahiran buku 33 TSPB sejak tahun 2014 hingga tahun ini diperparah dengan makin getolnya Denny JA membangun jaringan yang diklaimnya sebagai “gerakan puisi esei” melalui kekuatan modalnya. Publik sastra seakan-akan dipertontonkan pada penciptaan sejarah sastra yang digagas oleh aroma perilaku politikus yang menghalalkan segala cara kotor termasuk uang untuk membeli dukungan.
Melalui cara-cara kotor manipulative dengan melakukan persuasi kepada calon-calon “korban” yang diiming-imingi uang 5 juta sampai 10 juta rupiah, Denny JA hendak melegitimasi dirinya menjadi tokoh sastra (sejak polemik 33 TSPB, 2014) dan “pelopor puisi esei” dengan jumlah pengikut yang banyak. Sastrawan di seluruh Indonesia tentu saja marah dan melakukan perlawanan melalui berbagai respon di hampir semua media sosial dan beberapa media cetak. Gerakan perlawanan digagas pula oleh seluruh sastrawan yang “lurus” dan mencintai sastra dengan tulus. Forum Penyair Muda Indonesia membuat petisi Tolak Puisi Esai melalui change.org. Petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 3500 orang dari seluruh Indonesia, baik para sastrawan, pemerhati sastra bahkan simpatisan gerakan tersebut telah diteruskan kepada Kemendikbud untuk ditindaklanjuti. Gerakan manipulasi dilawan dengan gerakan anti manipulasi secara massal.
Dalam buku 33 TSPB (setelah saya baca seusai peluncuran) terdapat banyak nama yang pantas masuk dalam daftar tokoh tetapi ada pula yang asing bagi saya. Kemunculan nama Denny JA sebagai “pelopor puisi esai” -- demikian ia disebut di dalam buku itu, membuat saya dan warga sastra terkejut karena tidak ada satu pun warga sastra mengenal namanya sebagai sastrawan, apalagi “berpengaruh”! Menelisik kriteria yang ditulis dalam bab pendahuluan tentang metodologi penetapan keberpengaruhan, saya mendapati beberapa kejanggalan. Beberapa teman seperti Makyun Subuki, Krisna Pabhicara sudah menuliskan kriteria beserta turunan pertanyaan yang mengiringinya dan hampir semuanya mengandung cacat metodologis. Itu baru satu hal dari segi teknis penentuan “keberpengaruhan” tokoh sastra.
Dalam benak saya yang awam ini, “keberpengaruhan” dapat dilihat dalam karya-karya sesudahnya yang di antaranya mengandung intertekstualitas, atau epigonisme atau bahkan memadukan gaya modern dengan tanpa melepaskan diri dari konvensi lama. Pengaruh semacam itu bisa dibuktikan melalui pembacaan bertahun-tahun, berabad-abad. Para penyair Melayu Klasik seperti Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi dan Hamzah Fansuri, sebagai pelopor sastra Melayu, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan lain-lainnya sezaman, kemudian muncul nama Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra dan beberapa nama lainnya (dalam era yang lebih modern) bisa ditelusuri jejak pengaruhnya pada karya-karya sastra yang lahir di dasawarsa berikutnya. Bahkan beberapa penyair kontemporer yang kuat bisa melepaskan diri dari intertekstualitas atau epigonisme dan menemukan bentuk pengucapannya sendiri. Jika nama seorang Denny JA baru saja “dimunculkan”, dari mana saya atau public sastra bisa mengukur keberpengaruhannya?
Upaya seorang Denny JA dalam menasbihkan dirinya untuk minta “diakui” dalam daftar nama sastrawan berpengaruh tidaklah semelarat sastrawan yang bergelimang keringat dan upaya berdarah-darah untuk menunjukkan kecintaannya pada dunia sastra-- dalam hal ini puisi, melalui jalan yang benar. Denny JA dengan gelimang harta dan kuasa modalnya membayar orang-orang yang ditunjuk untuk membantu mengukuhkan namanya dalam sejarah sastra Indonesia. Pemaksaan kehendak untuk pengakuan melalui cara-cara manipulative itu membuat masyarakat sastra menjadi jengah, risih dan marah. Penyesatan sejarah dengan tanpa malu-malu adalah aib bagi kaum intelektual. Puisi adalah musuh abadi manipulasi. Bagaimana mungkin cara-cara manipulasi dilakukan untuk sebuah klaim “pembaharu genre sastra”? (Hikmat Gumelar).
Keberpengaruhan apakah yang bisa diukur, jika jejak epigonnya yang diklaim 170 orang dari 34 propinsi, baru mau berkarya jika melalui transaksi modal di atas kontrak perjanjian bermaterai? Apalagi, menurut beberapa sumber yang kemudian diketahui mengundurkan diri (11 orang), dalam mempersuasi penulis bayaran itu, mereka diminta untuk menyertakan catatan kaki dalam karyanya, harus 45 halaman, harus mengandung cerita tentang kondisi zaman dan kondisi daerahnya atau kejadian fenomenal di lingkungannya. Secara logika sederhana saya, bukan saja pengaruh ansich yang hendak diciptakannya tetapi pengikut yang bodoh dan buta untuk menjual isi kepala dan kreativitas orisinalnya dengan menulis puisi pesanan “prabayar” sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Denny sendiri, sekali lagi: demi membaptis dirinya untuk sebuah gelar “pembaharu sastra”.
Sebuah buku “pengakuan” yang diposisikan sebagai buku sejarah tidak lepas dari apa, mengapa dan siapa yang ditulis dan menuliskannya. Selayaknya validitas sebuah buku sejarah, adalah menjadi satu keharusan menuliskannya berdasarkan data-data yang akurat, akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan secara objektif. Setidak-tidaknya, sekali pun ada versi berbeda-beda tergantung pada sisi siapa yang menulisnya, tetapi ketepatan data tetap menjadi acuan utama. Pengukuhan Denny JA dalam buku 33 TPSB belum merupakan sebuah ketepatan sejarah sastra Indonesia. Tidak heran jika beberapa tokoh sastra yang dicantumkan dalam buku itu seperti Goenawan Mohamad dan Remy Silado menolak namanya dimasukkan ke dalam buku yang “rekayasa” itu.
Sepanjang sejarah sastra Indonesia, tidak ada satupun sastrawan yang sedemikian hinanya mengemis pengakuan pada khalayak dengan mengeluarkan uang ratusan juta rupiah. Selain itu, berbagai lomba menulis puisi esai dengan hadiah puluhan hingga ratusan juta rupiah juga diselenggarakan dengan kekuatan modalnya sendiri. Berbagai kritik dan esai tentang “puisi esai” dimintanya untuk dituliskan dengan bayaran tertentu yang hingga tulisan ini dibuat, seorang Narudin Pituin yang mendaku sebagai kritikus sastra (ngawur) ikut membelanya secara membabi buta (meskipun sebelumnya ia mengkritik habis-habisan). Kini ia tanpa malu-malu menyuarakan pembelaannya di jejaring social FB. Buku kritik Narudin atas puisi esei Denny JA Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang kemudian dibagikannya secara gratis. Publik sastra (termasuk saya) yang telah mencium bakal adanya gelagat rekayasa klaim “buku laris”, beramai-ramai mengembalikannya melalui alamat LSI. Sahlul Fuad, setelah menelusuri situs online Denny JA dan mengecek angka jutaan viewer puisi esai Denny JA, menemukan bahwa semua tampilan visual itu hanyalah rekayasa digital dunia internet. Sebuah dusta yang lain dari sepak terjang Denny JA. Dengan demikian saya masih berpikir positif bahwa para penggagas buku 33 TPSB itu barangkali telah salah mempercayai Denny JA perihal keberpengaruhannya.
Di sisi yang lain, sebagai sebuah karya, “puisi esai” sendiri bukanlah sebuah kebaruan dalam sejarah sastra. Puisi esai telah ditulis berabad-abad sebelumnya oleh Alexander Pope, dan bukan pula dalam bentuk “harus bercataan kaki”. Dalam genre sastra, esai tidak bercatatan kaki. Puisi juga tidak bercatatan kaki. Jika apa yang diklaim Denny JA sebagai kebaruan genre sastra, sesungguhnya ia telah menyesatkan publik dan merusak sejarah sastra Indonesia dengan klaim “pengakuan” itu. Sebagai awam, saya berpendapat jika Denny JA (dalam tulisannya) mengatakan bahwa puisi esai adalah jenis historical fiction, atau true story yang difiksikan, bagaimana mungkin antara kebenaran sejarah dan fiksi (cerita rekaan, khayalan) dijadikan satu dalam satu istilah? Jika Denny mengatakan bahwa puisi esai adalah potret zaman dengan menampilkan catatan kaki, bagaimana dengan W.S. Rendra, Wiji Thukul, Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem), nama-nama sastrawan yang selalu memotret kondisi sosial politik di zamannya? Jika Denny JA menganggap puisi-puisi mereka termasuk puisi naratif (dalam pleidoinya di jejaring sosial) mengapa tidak ia sebut saja puisinya sebagai puisi naratif dan tidak perlu mengemis pengakuan sebagai “puisi esai” melalui modalnya? Bahkan dari “puisi esai” nya yang saya baca, Saputangan Fang Yin, saya menilai tulisan itu lebih mirip reportase berita dari pada puisi. Tanpa catatan kaki pun pembaca segera tahu peristiwa yang melatarinya. Perbedaannya hanya terletak pada enjambemennya saja jika ingin menyebutnya puisi. Para kritikus sastra sejati seperti Ahda Imran, Ahmad Yulden Erwin, Hikmat Gumelar, Nuruddin Asyhadie, termasuk Saut Situmorang (yang dikriminalisasi) dan lain-lain telah menulis berbagai argument ilmiah.
Mencermati beberapa penyair senior yang telah lama bergulat di dunia kata-kata dan ikut ambil bagian menjadi penyair “prabayar”, saya memandangnya sebagai sebuah katarsis dari kegelisahan atas krisis popularitas. Bertumbuhnya penyair-penyair muda dengan karya-karya yang segar dan kemudian diakui kepenyairannya, maka kalangan “senior” seakan tidak mau minggir, melainkan ikut memainkan peran hingga mencapai nama sebagai “angkatan puisi esai” sebagaimana sering digaungkan oleh Denni JA. Sesungguhnya kerja sastra adalah kerja kejujuran. Jika ingin menulis puisi sesuai konteks zaman, tulislah puisi yang “puisi”, jika ingin menulis esai, tulislah esai. Mencampur adukkan dan mengaburkan kategori yang tidak ilmiah dan tidak bertanggung jawab adalah sebuah sikap hipokrit, apalagi dengan janji honorarium di atas kertas bermaterai.
Beberapa ungkapan Denny JA menyoal kecemburuan komunitas-komunitas sastra di setiap daerah yang dianggap masih sedikit, menimbulkan kelucuan tersendiri. Jika Denny JA begitu ngotot meminta diakui sebagai sastrawan berpengaruh dengan klaim “pelopor puisi esai” atau “pembaharu sastra”, mengapa dia begitu buta atas menjamurnya jumlah komunitas-komunitas sastra di setiap daerah, bukan hanya tingkat propinsi melainkan hingga wilayah kota, kabupaten, bahkan beberapa komunitas juga sering terdapat dalam satu propinsi. Bukankah mestinya Denny JA lebih hafal betul seluk beluk kantong-kantong sastra di semua daerah?
Hal lain yang juga menjadi catatan miris adalah ketika pro-kontra puisi esai dikategorikan sebagai “polemic sastra” atau “polemic kebudayaan”. Bagaimana mungkin sebuah klaim kosong yang sedang dilawan, disebut sebagai sebuah polemik? Polemik adalah perbedaan sudut pandang atas sesuatu yang diyakini dan tetap berdasarkan acuan berpikir yang tepat secara akademik. Tetapi dalam hal puisi esai dan pengukuhan Denny JA sebagai “pelopor puisi esai”, itu bukanlah sebuah polemik. Saya memandang tidak ada polemik. Yang terjadi adalah perlawanan dan penyudahan atas gerakan-gerakan manipulasi sejarah sastra Indonesia. Kita tentu mengharapkan, mengalirnya perubahan demi perubahan dalam sastra Indonesia akan turut memberi pembelajaran dan memberi andil dalam menciptakan peradaban melalui ranah pendidikan. Jika buku rekayasa dan segala klaim pengakuan melalui pesanan memasuki ranah sastra dalam pendidikan, alangkah sangat tidak bertanggung jawab secara akademis. Jadi sangat terang benderang bahwa bukan polemik yang terjadi, melainkan gerakan anti skandal penyesatan sejarah sastra Indonesia.
Tulisan ini hanya sekadar opini atas berbagai alasan penolakan terhadap perusakan sejarah sastra Indonesia. Semoga warga sastra tetap melangkah di jalan yang diridhai-Nya.
Bogor, 15 Maret 2018
___Weni Suryandari, lahir di Surabaya 4 Februari. Saat ini tinggal di Bekasi. Puisi-puisinya dimuat di Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Indopos, Batam Pos, Suara Karya, Suara Merdeka, Suara Merapi, Padang Ekspress, Story Magazine dan berbagai antologi bersama terbitan KosaKataKita; Perempuan Dalam Sajak, Fiksi Mini, Kartini 2012, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Puisi Titik Temu (Komunitas Kampoeng Jerami), Antologi puisi 6 th Sastra Reboan, Kumpulan Puisi 6 tahun Majelis Sastra Bandung (2015), Antologi Perempuan Laut, Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Madura (2016), Festival Puisi Bangkalan (2017), dan lain lain.
Buku Kumpulan Cerpen pertamanya “Kabin Pateh” terbit tahun 2013. Cerpen-cerpennya juga dimuat di beberapa media, majalah Kartini, Tabloid Masjid Nusantara, Jurnal Nasional, Suara Kary, Tabloid Nyata (Cerbung, 2008). Kumpulan Puisinya “Sisa Cium di Alun ALun (Taresi 2016)