Problematika Penulisan Populer (PenPop) di Kampus - Maman S. Mahayana
KAWACA.COM | Arswendo Atmowiloto, lewat buku tipisnya, Mengarang itu Gampang, membakar benang kusut itu. Intinya: belajar menulis (mengarang), ya menulis (mengarang). Titik! Tetapi, benang kusut itu tak juga hangus. Bagi para dosen, buku itu tak ilmiah. Fatwa Arswendo lemah secara metodologis. Maka, sejauh pengamatan, buku itu laris-manis di masyarakat, tetapi tidak di dunia pendidikan. Aneh bin ajaib!
Arswendo Atmowiloto—jika masih hidup— tentu saja boleh bicara: I don’t care yang dalam bahasa gaulnya: egp (emang gue pikirin)! Tetapi, kalangan akademis tidak mau kehilangan muka. Maka, dengan berkedok pada keilmiahan, buku Komposisi— Gorys Keraf yang sudah beranak-pinak menjadi buku sejenis dengan baju: penulisan karya ilmiah, tetaplah dipertahankan sebagai senjata pamungkas. Kesannya: gengsi ilmiah lebih penting dari apa pun, meski kenyataannya pelajaran mengarang tetaplah laksana belajar berenang di dalam kelas.
Entah siapa yang lebih dahulu, Ismail Marahimin –yang sealiran dengan fatwa Arswendo—terseok-seok memperkenalkan metode copy the master. Ia menanam mata kuliah Penulisan Populer (Penpop) tahun 1979 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI, kini Fakultas Ilmu Pengetahan Budaya UI—FIB-UI). Sebelumnya, Sapardi Djoko Damono mengangkut beberapa sastrawan, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Slamet Sukirnanto, Leon Agusta, dan entah siapa lagi, ke FSUI untuk mengajar Penulisan Kreatif (Creative Writing). Entah bagaimana duduk perkaranya, mata kuliah Penulisan Kreatif, seketika terpelanting: bubar jalan! Tinggallah Ismail Marahimin sendirian menghadapi kekerasan verbal: tidak ilmiah, dan kekerasan simbolik: nol sks. Jadilah mata kuliah itu tidak perlu diberi bobot kredit sks (sistem kredit semester).
Tetapi, Ismail Marahimin tahan banting. Ia tetap ngeyel, bersiteguh pada keyakinannya,bahwa belajar menulis, ya menulis, dan untuk itu, perlulah “meniru” secara kreatif karya para maestro. Penpop berjalan sendirian, tanpa kawan, tetapi disukai mahasiswa.
Perlahan tapi pasti, banyak mahasiswa yang mulai sadar pada ketersesatannya. Mereka mengambil jalan yang benar. Dari semester ke semester kelas Penpop makin digandrungi. Satu-dua dosen mulai insyaf dan bertobat, lalu ikut mengembangkan kelas Penpop. Buku Menulis secara Populer (1994) yang disusun Ismail Marahimin menjadi contoh kasus, bukan panduan. Meski –bagi saya—Bab Empat buku itu, “Eksposisi” menyimpan masalah, sebagai implementasi konsep copy the master, contoh-contoh berbagai jenis karangan dapat digunakan untuk melakukan peniruan kreatif.
Kini, mata kuliah Penpop—yang tidak ilmiah itu—paling banyak diikuti mahasiswa dari berbagai jurusan, dari berbagai fakultas. Kecuali Penpop, tidak ada mata kuliah yang diserbu mahasiswa berbagai penjuru fakultas. Bahkan, tidak jarang pula ada mahasiswa lain dari luar UI yang ikut nimbrung kelas Penpop. Cespleng! Tercetaklah sejumlah penulis dalam satu semester! Setidak-tidaknya, mahasiswa diberi obat mujarobat, resep mujarab untuk menjadi penulis: berlatih menulis sampai mampus dan membaca sampai akhir hayat!
Apa kuncinya dan bagaimana teknik pengajarannya?
Mata Kuliah Penpop memang tidak ilmiah. Ia menekankan pada proses menjadi penulis mahir untuk jenis karangan apa pun. Dengan bahan atau objek yang sama, seseorang dapat menulis jenis karangan apa pun. Deskripsi, narasi, eksposisi atau argumentasi hanya sekadar model. Kuncinya, ya menulis! Maka, abaikan konsep- konsep itu. Menulislah dengan riang gembira. Menulislah apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami. Menulislah kembali apa pun yang sudah dibaca atau didengar. Begitulah, jika keterampilan menulis itu sudah berada dalam genggaman, model jenis karangan apa pun, tinggal comot, kunyah, rasakan kerenyahannya, dan tumpahkan dalam bentuk tulisan. Nah, itu kuncinya! Lalu, bagaimana teknik pengajarannya? Nanti akan kita bongkar siasat dan muslihatnya.
____
Dikutip dari: "Memasabodohkan Teori", Maman S. Mahayana, Esai Pengantar Program Penulisan Esai, Mastera (Majelis Asia Tenggara), Bandung, Lembang, 19—25 Agustus 2019.