Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Bukit Kunang-Kunang - Muhtadi ZL

Bukit Kunang-Kunang - Muhtadi ZL

Bukit Kunang-Kunang
oleh Muhtadi.ZL

Bukit Kunang-Kunang - Muhtadi ZL

KAWACA.COM | Langit cerah dengan sinar matahari yang menyengat kulit, membakar amarah Rakmin yang tidak terima dengan kedatangan orang-orang berpakaian rapi membawa alat berat penghancur batu-batu besar.

“Untuk apa kalian kesini!” Ucap tokoh panutan warga Curah Emas lantang.
“Kami datang kesini untuk menggali emas yang tertimbun di bukit ini,”jawab pria bertubuh tegap yang berdiri tegak di samping buldoser.
“Kata siapa bukit ini ada emas?”
“Tim ahli kami meneliti tiga bulan lalu,”amarah pria itu naik pitam.
“Omong kosong! Kalian pasti ingin meratakan bukit ini dan menggantinya dengan perumahan. Dan kalian juga akan memaksa kami untuk menjual tanah disekitar bukit ini,”urat leher orang yang berani itu timbul ke permukaan.
“Lancang sekali kau bilang seperti itu!”
“Kami akan tetap lancang pada kalian, jika kalian tidak mengurungkan niat busuk itu.”
“Kurang ajar, kalian menentang kami.”
“Kami tidak takut pada siapapun, jika hal itu bersangkutan dengan bukit ini.”

Pertempuran terjadi begitu sengit antara warga Curah Emas dengan beberapa orang yang tak dikenal yang berusaha meratakan bukit kunang-kunang yang menyimpan sejuta kenangan bagi warga Curah Emas.

Karena kekompakan dan semangat juang warga Curah Emas, para kontraktor berhasil dipukul mundur, semua warga Curah Emas tidak lantas gembira, sebab tokoh yang menjadi panutan mereka gugur ketika bentrok berlangsung. Curah Emas pun berkabung selama 7 hari 7 malam, doa-doa panjang dilantunkan dalam musala dan masjid di seantero kampung Curah Emas selepas salat isya.

Rakmin, begitu panggilan orang-orang kampung. Tokoh panutan kampung yang gigih melawan para penjahat karena berusaha merusak bukit kunang-kunang. Bukit yang setiap bulan purnama selalu bersinar serupa lentera, karena ribuan kunang-kunang terbang lepas di sekitar bukit.

Konon, bukit kunang-kunang dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah penasaran, dan hal itu dikultuskan menjadi tempat pemujaan oleh warga Curah Emas yang percaya pada arwah penasaran.

Seiring kehadiran Rakmin, perlahan kepercayaan mereka luntur berganti pada kekaguman akan kekayaan hayati bukit kunang-kunang. Di bukit itu ada sendang yang airnya jernih dan sejuk, bahkan di musim kemarau sendang di bukit itu tak pernah surut.  

Dulu warga enggan untuk mandi atau sekadar mengambil air di sendang itu, setelah mendengar penjelasan Rakmin warga pun mulai berani mandi, mencuci dan meminum air di sendang yang berada tengah-tengah pohon yang menjulang. Bahkan di kemudian hari sendang itu menjadi tempat penyuci hati yang lusuh, jiwa yang rapuh, sungguh mujarab air di sendang itu.

Menjelang purnama tiba, warga berduyun-duyun menuju bukit untuk menyaksikan koreografi kunang-kunang. Semua mata terpana dalam doa-doa yang gegap-gempita berucap syukur pada yang Maha Kuasa. Sebab bukit itu menyimpan surga kecil yang cukup berharga.

Namun, setelah kematian Rakmin. Setiap kali purnama bertandang, orang-orang tak lagi terpana malah berduka. Mereka tersedu-sedu dalam doa, teringat pada tokoh panutan mereka begitu yang besar jasanya hingga tak terkira.

Terbayang di benak mereka, seandainya bukit itu rata dengan tanah, sawah-sawah akan mengering, kicau burung menghening, dan tidak akan ada lagi Kunang-kunang di bulan purnama dan hati yang lusuh, jiwa yang rapuh tak akan terbasuh.
***

Satu tahun sudah aku tidak ke rumah nenek, rumah sederhana yang  ketika pintu dibuka terdengar kernyit, bahkan cat tembok yang memudar akibat terkikis oleh waktu tampak ketika aku berada di halaman. Ditambah umur nenek yang semakin senja, membuat aku rindu terhadap nenek dan kenangan yang terurai dulu. Bila fajar bertandang kampung nenek akan hijau bersama bukit-bukit yang menjulang.

Benar, rumah nenek yang dikelilingi bukit-bukit dan sawah yang membentang luas bak samudera tampak ketika pagi menyapa bumi. Kesiur angin yang mendayu, menerpa daun padi hingga melambai-lambai.  Bila malam memeluk semesta, didaerah selatan akan nampak tonjolan bumi berwarna kuning keemasan, kendati demikian, hal itulah yang  ditunggu oleh banyak orang termasuk aku yang ketika berkunjung kerumah nenek. Semua orang di kampung nenek akrab dengan panggilan Bukit kunang-kunang. Bukit  itu indah dan tidak jauh dari rumah nenek. Namun sayang, untuk sampai ke tempat itu langkah tak lepas dari jalan terjal dengan batu cadas dan semak belukar yang siap menghadang.

Angin malam menyelusup lewat sela-sela baju, membangunkan bulu romaku. Suara burung hantu dan jangkrik berpadu menjadi paduan suara khas hutan. Langkah pelan tertatih, menuntun keselamatan demi melihat bukit kunang-kunang yang kata nenek hanya  akan nampak ketika bulan purnama tiba. Beruntung malam ini aku tidak sendiri, banyak orang yang juga rindu terhadap pemandangan di bukit itu. Tua-muda, laki dan wanita, beriringan dengan senter yang mereka pancarkan ke segala arah. Dari belakang aku mendengar parang dan pisau besar melibas semak-semak penghambat jalan, sekelebat terlihat semak-semak itu roboh bergantian. 

Kata nenek, orang-orang kampung sangat cinta kepada bukit kunang-kunang, bahkan orang kampung Curah Emas rela jika rohnya terbang dan menggantung di awang-awang, hal itu demi bukit itu. Aku juga membenarkan perkataan nenek, karena  berita yang beredar cepat—sempat kubaca—kalau di Nusantara hanya dua-tiga bukit kunang-kunang dan itu sudah tinggal separuh atau barangkali habis di satu kampung yang kulitnya hitam pekat.

Saat sampai, bukit kunang-kunang itu nampak indah, seindah surga yang dijelaskan guru Agama ketika SD tempo dulu.  Kulihat sekeliling, wajah orang-orang cerah kekuningan dengan gigi yang mengekori. Aku takjub tiada henti, bersyukur kepada Tuhan  atas kebaikan nafas untuk melihat pemandangan ini. Lamat-lamat orang sekeliling memegang dada dengan tangan kanan yang mengepal. Bahkan sebagian dari mereka merapal doa dengan—mungkin tebakanku—harapan agar bukit kunang-kunang sampai dilihat anak cucunya.
Pelan aku mengamini, karena aku yakin doa-doa mereka baik dan itu untuk kemaslahatan bersama, dan sebagai syukur, karena kampung mereka disinggahi bukit langka itu.
***

Pagi-pagi buta, saat tubuhku malas untuk bangun dari tidur, semua kenangan sewaktu liburan masih asyik bergelantungan dalam batok kepalaku, dan aku mencoba lari dari mimpi-mimpi itu, agar tidak menghantui aktivitasku. Sontak suara ibu terdengar keras memanggil namaku dari arah dapur. Di jendela pelan sinar mentari menyelusup lewat sela-sela gorden. Aku yang melihat agak terpicing-picing. 

“Nak! Ayo bangun sudah jam enam lewat,” aku bangun, kemudian duduk menunggu ingatan yang berkeliaran, sambil sesekali mengucek mata.
 “Iya, Bu, aku sudah bangun,” balasku sekuat tenaga.
Setelah selesai segala keperluan sekolah, aku makan. Di meja makan, nasi goreng dan tempe terhidang begitu menggoda nafsu. Ibu menatapku, “Sudah, makan cepat, nanti terlambat.” Ucap ibu tulus.

Sambil makan nasi goreng buatan ibu yang sungguh enak, ibu menatapku. “Gimana liburan ke rumah Nenek?” Entah angin apa, tiba-tiba ibu menanyakan liburan ke rumah nenek yang lewat sepekan.
 “Seru, Bu. Di sana sangat sejuk,” ibu tersenyum. Kurasa ibu pernah mengalami hal itu. Tebakku mengada.
 “Terus kamu dibawa kemana saja sama Nenek?” kejar ibu mengejar bicaraku. Sekelebat pikiranku langsung memutar waktu. 
“Di rumah Nenek banyak wisata, air terjun, kebun kopi, kebun karet dan ada pula bukit kunang-kunang yang sangat indah,” aku berhenti mengunyah dan bercerita sesuai pengalaman liburan di rumah nenek. Ibu tersenyum datar.
“O…iya, Bu. Sebenarnya aku mau nanyak sama Nenek, kenapa bukit itu di sebut bukit kunang-kunang. Tapi aku lupa. Ibu tahu?” Aku mencoba memeras rasa tidak tahuku kembali.
 “Jadi kamu ingin tahu kenapa bukit itu disebut seperti itu?” perkataan ibu menarik simpatiku untuk diam dan mencerna cerita ibu.

“Kamu mau mendengar?” lanjut ibu, aku mengangguk.
Ibu bercerita bak pendongeng handal, banyak kisah yang ibu paparkan, tentang kakek yang menjadi panutan kampung Curah Emas, dan perihal bukit yang—kata ibu—adalah tempat munajat, karena diyakini dihuni roh penasaran, yang kemudian di keyakinan itu di ubah oleh kakek.
***

Aku tahu siap nenek dan kakek, mereka orang yang berjasa pada kampung, karena dengan keberadaan mereka, orang-orang yang dulu memuja bukit itu, kini mereka memilih pilihan yang kakek Rakmin ajarkan. Begitu ibu bercerita.

Di dalam kelas aku termangu, meratapi masa lalu yang begitu mencekam, bahkan bisa dikatakan seram. Sebab kakek dan orang-orang  kampungnya melawan mereka  yang tak punya perasaan. Aku sempat heran ketika orang-orang berperilaku lain terhadapku. Nenek tak pernah memberi tahuku selama aku di rumahnya. Dia malah tersenyum, senyum yang keriput dan penuh juang itu tampak begitu memesona. 

Sekarang aku sadar, betapa  aku harus menyayangi bumi titipan ini, karena apa yang ada di atas bumi ini semua akan kembali kepada-Nya. 

Aku masih termangu, menatap entah. Mendengar cerita ibu di pagi ini membuat aku tidak fokus pada pelajaran, sebab cerita ini berkaitan dengan keluarga besarku. Dan aku harus tahu itu, karena tanpa mereka yang mempertahankan kampung dan bukit itu, aku tak akan pernah ada di dunia ini.

Tentang
Muhtadi ZL adalah santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa dan Pengurus Perpustakaan Lubangsa serta aktif di Komunitas Cinta Nulis (KCN) dan Komunitas Penulis Kreatif (KPK)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.