Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Buat Apa Milenial Kalau Radikal - Samsudin Adlawi

Buat Apa Milenial Kalau Radikal - Samsudin Adlawi

Buat Apa Milenial Kalau Radikal
oleh Samsudin Adlawi

KAWACA.COM | ZAMAN milenial belum tamat. Sudah muncul Generasi Z (Gen-Z). Disusul Industri 4.0. Semua berjalan cepat. Meninggalkan pemahaman banyak orang. Terutama bagi orang seusia saya. Yang mulai lemot rekaman di otaknya. 
Tapi ada untungnya telat paham. Setidaknya kami terhindar dari rasa takut. Ketakutan yang akut. Konon, mereka yang telanjur paham definisi milenial, Gen-Z, dan Industri 4.0 hidupnya tidak tenang. Selalu dihantui ketakutan. Takut tidak bisa bersaing. Takut ketinggalan zaman. Takut tidak berguna. Seakan-akan kiamat sudah dekat.
Padahal itu hanya ilusi. Takut yang berlebihan. Atau malah dilebih-lebihkan. Apa pun namanya –milenial, Gen-Z, dan Industri 4.0—harus diterima kehadirannya. Tapi tetap memakai akal sehat. Sejarah membuktikan era sudah berganti era. Tapi ada yang benar-benar mati akibat pergantian itu. 
Dulu ketika radio baru ditemukan, orang menganggap sebagai pertanda kehebatan sebuah zaman. Tapi setelah ditemukan televisi, orang ramai-ramai ”memuja” televisi. Orang keranjingan televisi. Dan revolusi televisi terus berjalan. Mulai hitam putih hingga era LCD. Sekarang ini. Matikah radio? Tidak. Radio tetap eksis. Masih digemari orang. Masih banyak orang menganggap bahwa mendengar radio lebih asyik tinimbang nongkrong di depan layar televisi.
Media tak luput dari perubahan zaman. Dulu orang beranggapan kehadiran televisi akan membunuh koran. Orang sekarang menganggap media online dan medsos akan menggerus media cetak. Nyatanya tidak. Televisi tidak terlalu sakti untuk membunuh media cetak. Sekalipun televisi berita. Yang menyajikan berita sekaligus gambar.
Pun media online dan medsos. Kehadirannya memang mengejutkan. Berpengaruh pada media cetak iya. Tapi tak sampai memberangus. Bahkan, ketika saat ini orang mulai kembali menggandrungi media mainstream. Ketika mereka tahu medsos menjadi surga fitnahtor. 
Perubahan adalah sunnatullah. Sesuatu yang selalu terjadi. Dan harus terjadi. Tidak bisa dihindari. Harus diterima. Dengan lapang dada. Arif. Dan bijaksana. Tidak pakai marah-marah. Atau berusaha mencegah kehadiran perubahan. Sekuat apa pun kita mencegahnya, perubahan akan tetap datang. Seperti roda dongkar yang digelindingkan di jalan menurun. Yang tidak boleh dilakukan ini: menyerah. 
Kita harus mencari cara bagaimana menghadapi perubahan. Orang tua pasti sedang berpikir keras: bagaimana membentengi anak-anaknya dari racun yang dibawa oleh perubahan. Yang cepat sekali menyebarnya. Di era disrupsi digital. Seperti saat ini.
Tidak salah orang membanggakan internetisasi. Digitalisasi. Menyambung antardesa dengan fiber optic. Sehingga koneksitas desa-kota teratasi. Apa yang dirasakan orang kota juga dirasakan orang di desa. Anak-anak desa bisa menikmati kemajuan/perubahan. Lewat fasilitas wi-fi. Gratis. Asal mau bergadang di sekitar di balai desa. Atau kantor kecamatan. 
Pendek kata, semua warga kini bisa mengakses informasi dengan mudah. Informasi apa pun. Di mana pun. Dan kapan pun. Dunia, benar-benar, dalam genggaman. Dalam kotak bernama handphone. Telepon genggam. Yang cukup dengan dua jempol tangan, dunia bisa dijelajah. Itulah buah dari sebuah perubahan!
Tapi perubahan tak selamanya membawa kemajuan. Seperti yang diinginkan banyak orang. Sebaliknya, dampak kemajuan informasi (lewat online dan medsos) sangat mengerikan. Banyak perbuatan kriminal terinspirasi dari online dan medsos. Pun perbuatan asusila. Dan ini yang paling bahaya: mulai terjadinya disrupsi. Tercerabutnya akar budaya. Bahkan agama! Terutama di kalangan anak muda. Anak-anak muda mulai aneh kelakuannya. Tidak rajin ngaji di pesantren. Tidak suka membaca dan meneliti terjemahan kitab suci.
Mereka lebih suka mondok dalam dunia maya. Di pesantren modern: Al-Googleyin. Padahal, tak semua ajaran Mbah Kiai Google benar. Bahkan, mulai banyak yang aspal. Kelihatan asli seperti ayat suci. Tapi artinya palsu: sudah ditambah dan dikurangi. Dengan maksud tertentu. Dengan tujuan untuk melemahkan semangat keagamaan dan kebangsaan.
Hasil penelitian cukup mencengangkan. Dan sulit dibantah. Era disrupsi digital ternyata berdampak negatif. Terutama terhadap pengembangan nilai-nilai kebangsaan. Bagi generasi milenial. 
Medsos justru menjadi media ampuh penyebaran radikalisme terhadap generasi milenial. Setidaknya itu tecermin dari hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah. Sebanyak 54 persen milenial mencari pengetahuan agama melalui blog, laman, dan media sosial.
Walhasil, 51 persen mahasiswa/siswa muslim beropini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, misalnya Syiah dan Ahmadiyah. Sebanyak 54 persen mahasiswa/siswa muslim memiliki pandangan keagamaan yang radikal. 
Wa ba’du. Masihkah kita menganggap diri kuno? Ketika tidak mengikuti perkembangan zaman. Masihkah kita merasa ketinggalan zaman? Ketika gagap terhadap dunia maya dengan anak turunnya: blog, laman, dan medsos.
Ah, gak pateken gak disebut milenial, Gen-Z, dan bagian Indusri 4.0. Daripada menjadi intoleran dan radikal. Kampanyekan sikap itu. Kepada generasi muda. Yang sedang dilanda galau berat. Dalam timangan zaman. (*)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.